Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Lainnya - irero

Blogger yang sedang mencari celah waktu untuk membaca buku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Dari Kopi hingga Wifi, Perjuangan Demi Tiket Mudik

7 Juni 2018   07:55 Diperbarui: 7 Juni 2018   09:34 892
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebagai anak perempuan tertua di rumah yang diboyong suami ke Ibu Kota, saya menjadi salah satu peserta yang menunggu- nunggu momen mudik tiba. Saat itulah di mana seluruh kerinduan akan kampung halaman dituntaskan.  Mudik tak hanya bertemu sapa dan silaturahmi dengan orang tua, mudik juga adalah cara perantau melepas rindu dengan kampung, suasana, teman lama, kuliner, spot kenangan yang dimiliki jauh sebelum berangkat ke perantauan.

Momen bertemu kembali dengan masa lalu selalu terdengar romantis dan mengharukan. Terlebih jika melihat bagaimana orang berjuang memperoleh tiket mudik yang cepat habis dari berbulan-bulan sebelumnya. 

Untuk bersaing pun tak asal beli langsung dapat, kami para mudikers, sedari H min 3 bulan lalu sudah mulai memantau tiket kereta. Sebelum jam 12 malam kami sudah menyiapkan berbagai macam piranti untuk berperang mendapatkan tiket contohnya saja laptop, Hp full charge, wifi atau saluran internet yang kecang, uang, kopi agar tidak mengantuk, internet banking dan tentu saja stamina yang baik. Tak hanya sehari dua hari, terkadang kami butuh banyak malam demi mendapatkannya.

Bagi yang mual jika naik bis seperti saya, tak ada pilihan lain selain berebut sinyal internet demi  mendapat jatah kursi kereta. Pasalnya, hanya itulah moda transportasi yang bisa saya gunakan. Jalur udara apalagi, harga tiket pesawat mahalnya naudzubillah!

Tahun ini kami berkesempatan menjajal program Kemenhub mudik motor gratis dengan menggunakan jalur kereta. Program mudik motor saya rasa akan sangat membantu mobilitas kami selama di kampung halaman. 

Beruntung kami masih kebagian jatah kursi meski mendaftar pada akhir-akhir sesi. Beberapa kota padat destinasi seperti Jogja dan Solo rupanya sudah tutup kuota lebih dini. Tiket yang semula sudah dibeli sejak beberapa bulan lalu pun kami batalkan diganti dengan tiket baru yang sudah diselaraskan dengan jadwal penyerahan motor. Kebetulan jadwal tiket pertama kami berbenturan dengan jadwal sisa kursi panitia.  

Di luar itu, kami sangat amat bersyukur, apalagi jika mengingat bagaimana kondisi mudik melalui jalur kereta tahun 2009 ke belakang, rasanya hanya mengucap kata mudik saja perlu tarikan napas yang panjang. 

Dulu semasih belum berlaku satu tiket satu orang, gerbong kereta sering kelebihan muatan, penuh dan sesak. Kondisi mudikers kini lebih nyaman dan aman karena identitas penumpang jelas.

Lain cerita dengan tetangga di sini, begitu kehabisan tiket kereta mereka sigap mengincar program mudik gratis dengan menggunakan bus. Tak boleh terlena, para pengincar bus pun harus sigap dan cepat jika tidak mau kehabisan kuota.  

Bahkan mereka harus rela berbondong-bondong dari Depok menuju ke titik pemberangkatan di Monas. Tak dipungkiri, harga tiket bus pun melambung tak karuan, naik berkali-kali lipat. Harga tiket travel pun sepakat naik, jika biasanya orang membayar 180 ke Semarang, harganya naik menjadi 400 ribu saat lebaran.

Begitulah mudik, tak sebatas keinginan dan niat saja tapi harus dituntaskan dengan usaha keras agar benar bisa terlaksana. Beruntung saya selalu bisa pulang samban tahun. Belum bisa membayangkan andaikata tidak mudik tahun ini akan ke mana. Tapi, apa salahnya membayangkan bagaimana andaikata benar tidak mudik. Mungkin saya akan menjajal hal-hal berikut:

Bersilaturahim dengan tetangga sekitar dan kerabat yang jaraknya masih bisa dijangkau

Tempat di mana kita tinggal selalu menyisihkan salah paham dan khilaf dengan orang di sekitar, saat tidak mudik tentu akan sangat tepat jika kita bermaaf-maafan dengan mereka. Hal ini justru penting karena sehari-hari kita tinggal di tempat itu. Biar pun jauh tapi pasti ada salah satu kerabat yang tinggal satu kota atau bersebelahan kota dengan kita. Alangkah baiknya saat tidak mudik mengunjungi mereka mengingat hari-hari biasa sama-sama sibuk.

Mengeksplorasi masakan lebaran ibu

Tak dipungkiri satu hal paling dirindukan saat lebaran di kampung adalah opor ayam dan sambel goreng buatan ibu. Saat tidak mudik tentu kita akan merindukan itu. Demi melebur rindu, saya pikir bagus juga untuk mencoba membuatnya, jika masih ragu-ragu kita bisa meminta bantuan ibu lewat telefon.

Mengeksplorasi kota tempat kita tinggal

Tinggal di suatu kota bertahun-tahun tidak berarti kita mengenal betul setiap sudut yang ada di sana. Kesibukan dan waktu adalah alasan kegiatan eksploarsi hanya sebatas wacana. Menurut info yang beredar, saat lebaran Ibu kota terasa sepi, jalanan lengang, hanya beberapa destinasi wisata saja yang ramai. Tak melulu ke tempat wisata, kita bisa menjajal spot-spot baru yang mungkin belum terdengar sebelumnya.

Mungkin begitulah yang akan saya lakukan andaikata tidak mudik. Tapi semoga hal-hal semacam itu akan menjadi wacana saja agar saya selalu bisa mudik setiap tahun. Karena mudik bagi saya adalah membayar lunas rindu terhadap kampung halaman.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun