Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Blogger - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cita-cita Anak, Tanggungjawab Siapa?

20 Januari 2018   19:51 Diperbarui: 20 Januari 2018   21:37 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judy Hoops seekor kelinci kecil dalam film Zootopia bercita-cita menjadi seorang polisi wanita. Semua orang menertawakannya, ke dua orang tuanya mencemaskannya. Pasalnya, di negeri Zootopia belum pernah ada polisi dari bangsa kelinci.

Ayah Judy : "Judy, apa kau pernah bertanya-tanya alasan Ayah dan Ibumu sangat gembira?"

Judy           : "Tidak."

Ayah Judy : "Kami menyerah pada impian kami dan berdiam diri, itulah keindahan berpuas diri."

Ibu Judy    : "Ini akan sulit, bahkan mustahil bagimu untuk jadi polisi."

Ayah Judy : "Benar. Tak pernah ada polisi kelinci."

Judy           : "Maka kurasa aku akan jadi yang pertama." Jawab Judy dengan penuh percaya diri.

Hal itu diucapkan oleh orang tua Judy agar anaknya mengurungkan niat menjadi polisi. Mereka tak ingin anaknya bekerja dengan bahaya. Mereka ingin anaknya hidup tentram dengan menjadi petani wortel seperti mereka.

Banyak cerita di dunia nyata, di mana orang tua yang seharusnya menjadi supporter utama sang anak dalam meraih cita-citanya malah menjadi penghalang terdini. Alasannya bermacam-macam, mulai dari soal keamanan dan kenyamanan, meneruskan garis profesi keluarga, meneruskan cita-cita orang tua yang belum tercapai dulu hingga persoalan nama baik dan pandangan masyarakat.

Kita harus mengakui bahwa tidak banyak orang tua yang mau berbesar hati menerima segala cita-cita anaknya. Seorang dokter akan sulit menerima anaknya yang berkata ingin menjadi Dancer. Dan berapa banyak orang tua yang masih memaksakan anaknya menjadi seorang PNS? Bagaimana lagi dengan cerita si Bunga yang ingin menjadi pelukis namun orang tuanya memaksa menjadi atlet renang yang berprestasi? Apakah mereka tidak berhak bercita-cita? Apa mereka bahagia dengan pilihan kita?

Dalam pemikiran orang tua, mereka hidup lebih dulu, jadi lebih tahu dan lebih berpengalaman dengan kondisi dunia. Mereka juga merasa memiliki si anak beserta kehidupannya. Bahkan, terkadang orang tua mendadak menjadi ahli nujum yang bisa meramal masa depan si anak.

Tapi, apakah orang tua sudah berlaku objektif saat menilai bakat anak?

Ada berapa Judy Hoobs di dunia ini? Beruntunglah si Judy yang orang tuanya masih bisa ditawar, tapi bagaimana dengan anak yang memiliki orang tua otoriter dan mereka tidak ber-bargaining power?

Memang pada masa usia dini, orang tua tidak semerta-merta menerima apapun yang dicita-citakan anak. Di masa tersebut, anak seringkali menjawab ngawur saat ditanya cita-cita. Ada yang menjawab ingin menjadi Hokage ke-6 (istilah dalam film kartun Naruto), ada yang ingin menjadi Ultramen, ada juga yang ingin menjadi Boboboi bahkan ada yang ingin jadi Ipin Upin.

Namun jawaban tersebut bukan landasan bagi orang tua untuk mengecap anak mereka tidak mengerti masa depan. Bukankah Tuhan tidak pernah menciptakan produk gagal dan setiap anak terlahir cerdas?

Sedikit mengerem diri dan memberi kesempatan kepada anak memunculkan bakat dan minatnya bisa jadi tindakan paling bijak yang bisa dilakukan orang tua.  Apalagi kalau orang tua sendiri yang berinisiatif untuk memancingnya.

Orang tua bisa menerapkan pola asuh otoritatif, yaitu memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak namun masih dalam sensor dan pengawasan orang tua.  Pola ini tentu berbeda dengan pola asuh otoriter yang sifatnya pemaksanaan dan kaku.

Punya orang tua otoriter pasti terasa berat bagi si anak. Jika dipaksakan anak bisa mengalami depresi. Menurut Danardi Sosrosumihardjo, dokter spesialis kejiwaan, depresi pada anak dan remaja dapat terjadi ketika daya tahan kejiwaan mereka tidak kuat menghadapi tekanan. (ccnindonesia.com 10/10/15).

Andai setiap orang tua mau mendengar sejenak dan memahami apa yang anak cita-citakan, niscaya anak akan lebih percaya diri dan bisa berkarya dengan maksimal. Anak pun siap menghadapi rintangan selanjutnya.

Seperti Judy Hoobs yang setelah tamat dari akademi kepolisian -dengan nilai tertinggi- harus bertugas ke Zootopia / kota pusat. Di sana ia harus berhadapan dengan kelicikan, kepalsuan, diremehkan sesama anggota polisi bahkan penghianatan dari penguasa Zootopia itu sendiri.

Di tengah rintangan yang akan di hadapi Judy Hoobs, bukankah baik apabila kita berada di barisan pelancar bukan penghalang, barisan yang memudahkan dan bukan mempersulit?

Kalau di Zootopia Judy Hoobs berhasil membuktikan bahwa tekad yang kuat dan usaha keras membuahkan hasil, lalu bagaimana dengan nasib anak kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun