Mohon tunggu...
Ire Rosana Ullail
Ire Rosana Ullail Mohon Tunggu... Blogger - irero

Content Writer | Sosial Budaya | Travel | Humaniora | Lifestyle | Bisnis | Sastra | Book Sniffer | Bibliophile | Bibliomania | Tsundoku | email : irerosana@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Cita-cita Anak, Tanggungjawab Siapa?

20 Januari 2018   19:51 Diperbarui: 20 Januari 2018   21:37 991
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tapi, apakah orang tua sudah berlaku objektif saat menilai bakat anak?

Ada berapa Judy Hoobs di dunia ini? Beruntunglah si Judy yang orang tuanya masih bisa ditawar, tapi bagaimana dengan anak yang memiliki orang tua otoriter dan mereka tidak ber-bargaining power?

Memang pada masa usia dini, orang tua tidak semerta-merta menerima apapun yang dicita-citakan anak. Di masa tersebut, anak seringkali menjawab ngawur saat ditanya cita-cita. Ada yang menjawab ingin menjadi Hokage ke-6 (istilah dalam film kartun Naruto), ada yang ingin menjadi Ultramen, ada juga yang ingin menjadi Boboboi bahkan ada yang ingin jadi Ipin Upin.

Namun jawaban tersebut bukan landasan bagi orang tua untuk mengecap anak mereka tidak mengerti masa depan. Bukankah Tuhan tidak pernah menciptakan produk gagal dan setiap anak terlahir cerdas?

Sedikit mengerem diri dan memberi kesempatan kepada anak memunculkan bakat dan minatnya bisa jadi tindakan paling bijak yang bisa dilakukan orang tua.  Apalagi kalau orang tua sendiri yang berinisiatif untuk memancingnya.

Orang tua bisa menerapkan pola asuh otoritatif, yaitu memberi kebebasan pada anak untuk berkreasi dan mengeksplorasi berbagai hal sesuai dengan kemampuan anak namun masih dalam sensor dan pengawasan orang tua.  Pola ini tentu berbeda dengan pola asuh otoriter yang sifatnya pemaksanaan dan kaku.

Punya orang tua otoriter pasti terasa berat bagi si anak. Jika dipaksakan anak bisa mengalami depresi. Menurut Danardi Sosrosumihardjo, dokter spesialis kejiwaan, depresi pada anak dan remaja dapat terjadi ketika daya tahan kejiwaan mereka tidak kuat menghadapi tekanan. (ccnindonesia.com 10/10/15).

Andai setiap orang tua mau mendengar sejenak dan memahami apa yang anak cita-citakan, niscaya anak akan lebih percaya diri dan bisa berkarya dengan maksimal. Anak pun siap menghadapi rintangan selanjutnya.

Seperti Judy Hoobs yang setelah tamat dari akademi kepolisian -dengan nilai tertinggi- harus bertugas ke Zootopia / kota pusat. Di sana ia harus berhadapan dengan kelicikan, kepalsuan, diremehkan sesama anggota polisi bahkan penghianatan dari penguasa Zootopia itu sendiri.

Di tengah rintangan yang akan di hadapi Judy Hoobs, bukankah baik apabila kita berada di barisan pelancar bukan penghalang, barisan yang memudahkan dan bukan mempersulit?

Kalau di Zootopia Judy Hoobs berhasil membuktikan bahwa tekad yang kuat dan usaha keras membuahkan hasil, lalu bagaimana dengan nasib anak kita?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun