Mohon tunggu...
Bayu Aristianto
Bayu Aristianto Mohon Tunggu... Human Resources - Kuasa atas diri adalah awal memahami eksistensi

Menulis, proses pengabadian diri di tengah kesemuan hidup

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Gerakan Tagar Desperate dan Gelombang PHK

16 Oktober 2024   15:20 Diperbarui: 16 Oktober 2024   15:34 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber : CNBC Indonesia

Seorang sejawat berkelakar di siang yang cukup terik di daerah pinggiran Bantul, sembari menyeruput kopi pahit , "anak milenial sekarang cari kerjaan saja susah, giliran telah mendapatkan pekerjaan, jadi bajing loncat (pindah sana-sini)"

Sebenarnya dia sedang menyuarakan kegelisahan atas maraknya gejala turnover (tingkat pengunduran diri) yang cukup tinggi, dan didominasi oleh generasi Z atau sering disingkat Gen Z, orang-orang yang lahir pada tahun 1997 hingga 2012 atau generasi Zoomer.  

Sembari ogah ikut-ikutan nelangsa, saya pun menjawab dengan sedikit guyonan "mungkin eranya anak muda sekarang kerjanya freelance, pingin tidak terkukung waktu kerja, dan gajinya minimal 2 kali penghasilanmu", kemudian ditimpali olehnya dengan jawaban filosofis "Uedannnn, cuk!!!"

Menanti surutnya gelombang PHK

Belakangan pemberitaan tentang tingginya pemutusan hubungan kerja, bikin dada sesak. 

Berarti dunia kerja di negeri ini sedang tidak baik-baik saja. Pengusaha sebagai leading sektor pengerak roda ekonomi masyarakat sedang berupaya untuk bertahan ditengah upaya pemerintah membenahi kondisi perekonomian domestik pasca terjangan pandemi Covid-19.

Lalu fenomena PHK disinyalir terus terjadi selepas pelantikan presiden baru. Padahal harapan besar warga indonesia terhadap pemulihan ekonomi dan kesempatan lapangan kerja yang luas, jadi prioritas pemerintahan Prabowo - Gibran. 

Jangan sampai terjadi huru-hara oleh serikat pekerja dalam meminta keadilan dan kesetaraan serta kesempatan yang adil bagi seluruh warga negara tanpa pengecualiaan.

Meskipun secara pendidikan formal, para pencari kerja didominasi oleh kelompok terdidik dengan gelar kesarjanaan, masih juga ditemukan besarnya angka pengganguran di kelompok usia produktif. 

Sulit dapat kerja, ditambah jam terbang pengalaman yang masih minim, dengan tingkat kompetisi antar kandidat, serta jumlah lowongan yang dibuka berbanding terbalik dengan banyaknya peminat.

Sampai muncul tagar "Desperate" ramai di LinkedIn, hal demikian dilakukan pencari kerja dengan memberikan tagar "Desperate" pada profil LinkedIn, agar dilirik perusahaan.

Padahal sebagai praktisi personalia, yang setiap saat berkutat melakukan seleksi dokumen pelamar kerja, adanya tagar tersebut sama sekali tidak berguna, malah akan jadi bumerang bagi calon pekerja, disebabkan penilaian inkompetensi, kurangnya kapasitas, dan kondisi psikologis yang tidak baik.

Yang jadi persoalan kemudian, mengapa tren ini seolah di justifikasi oleh para pencari kerja untuk mencantumkannya di kolom profil mereka, apakah hal demikian telah terbukti di beberapa orang yang akhirnya berhasil memperoleh pekerjaan, yang menurut analisis saya, penerimaan atau penolakan pekerja disebabkan oleh banyak faktor, dan tidak dapat di kerucutkan hanya oleh satu faktor dominan saja.

Yang sangat dibutuhkan perusahaan kepada calon pencari kerja adalah sebagai berikut : Pertama, Posisi kerja yang dibutuhkan, sesuai dengan latar belakang pendidikan, berpengalaman atau tidak, dan ketertarikan perusahaan maupun pencari kerja atas posisi tersebut.

 Kedua, Kapasitas dan Kompetensi, faktor ini menurut saja, cukup penting dalam menentukan pilihan diantara pelamar. 

Meskipun beberapa praktisi personalia / HRD juga mencantumkan sikap / attitude sebagai faktor penyeimbang dalam menentukan pilihan. Logikanya punya kompetensi namun punya sikap yang buruk dapat menurunkan penilaian terhadap kandidat, oleh karena itu perbaiki sikap / adab jauh lebih baik dibandingkan ilmu yang tinggi namun tidak beradab.

Ketiga, Integritas, artinya kesesuaian antara ucapan dengan praktik kerja. 

Banyak sekali ditemukan para pencari kerja yang hanya pintar di mulut, namun semuanya berbanding terbalik saat telah bekerja, istilahnya "tong kosong nyaring bunyinya". jangan sampai pencari kerja hanya pintar ngomong namun minus pada saat bekerja.

Dan terakhir, perusahaan akan melirik apabila memiliki kemauan tinggi untuk terus belajar (learning by doing) menjadi semakin maju bersama perusahaan. Hal ini memberikan kontribusi kemajuan bagi  pekerja sekaligus bagi pengusaha/perusahaan.

Jadi, sikap optimis dan mau terus belajar adalah bekal menghadapi tingginya tingkat persaingan di dunia usaha, terlebih memasuki era digital yang membutuhkan kemampuan penalaran, logika, dan integritas menyonsong perubahan zaman. Tabik !!!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun