Sampai muncul tagar "Desperate" ramai di LinkedIn, hal demikian dilakukan pencari kerja dengan memberikan tagar "Desperate" pada profil LinkedIn, agar dilirik perusahaan.
Padahal sebagai praktisi personalia, yang setiap saat berkutat melakukan seleksi dokumen pelamar kerja, adanya tagar tersebut sama sekali tidak berguna, malah akan jadi bumerang bagi calon pekerja, disebabkan penilaian inkompetensi, kurangnya kapasitas, dan kondisi psikologis yang tidak baik.
Yang jadi persoalan kemudian, mengapa tren ini seolah di justifikasi oleh para pencari kerja untuk mencantumkannya di kolom profil mereka, apakah hal demikian telah terbukti di beberapa orang yang akhirnya berhasil memperoleh pekerjaan, yang menurut analisis saya, penerimaan atau penolakan pekerja disebabkan oleh banyak faktor, dan tidak dapat di kerucutkan hanya oleh satu faktor dominan saja.
Yang sangat dibutuhkan perusahaan kepada calon pencari kerja adalah sebagai berikut : Pertama, Posisi kerja yang dibutuhkan, sesuai dengan latar belakang pendidikan, berpengalaman atau tidak, dan ketertarikan perusahaan maupun pencari kerja atas posisi tersebut.
 Kedua, Kapasitas dan Kompetensi, faktor ini menurut saja, cukup penting dalam menentukan pilihan diantara pelamar.Â
Meskipun beberapa praktisi personalia / HRD juga mencantumkan sikap / attitude sebagai faktor penyeimbang dalam menentukan pilihan. Logikanya punya kompetensi namun punya sikap yang buruk dapat menurunkan penilaian terhadap kandidat, oleh karena itu perbaiki sikap / adab jauh lebih baik dibandingkan ilmu yang tinggi namun tidak beradab.
Ketiga, Integritas, artinya kesesuaian antara ucapan dengan praktik kerja.Â
Banyak sekali ditemukan para pencari kerja yang hanya pintar di mulut, namun semuanya berbanding terbalik saat telah bekerja, istilahnya "tong kosong nyaring bunyinya". jangan sampai pencari kerja hanya pintar ngomong namun minus pada saat bekerja.
Dan terakhir, perusahaan akan melirik apabila memiliki kemauan tinggi untuk terus belajar (learning by doing) menjadi semakin maju bersama perusahaan. Hal ini memberikan kontribusi kemajuan bagi  pekerja sekaligus bagi pengusaha/perusahaan.
Jadi, sikap optimis dan mau terus belajar adalah bekal menghadapi tingginya tingkat persaingan di dunia usaha, terlebih memasuki era digital yang membutuhkan kemampuan penalaran, logika, dan integritas menyonsong perubahan zaman. Tabik !!!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H