Boleh jadi kekalahan Timnas Indonesia dari China di Qindao Youth Football Stadium, Selasa (15/10/2024) dengan skor akhir 2-1, memperlihatkan statistik bahwa merah putih di atas kertas sangat dominan dibandingkan  China yang hampir separuh permainan mengurung diri di sektor pertahanan.
Menarik mencermati laga matchday ke 4 kualifikasi round 3 Piala Dunia, yang mempertemukan Timnas Indonesia dengan China. Dinukil dari FotMob, Indonesia mampu membuat kocar kacir lini pertahanan China serta mendominasi jalannya pertandingan. Sepanjang dua babak, Jay Idzes dkk, menguasai 76% ball possesion. Dari segi pertahanan pun merah putih tidak kalah sanggar, memenangi 7 tekel dengan akurasi 88 persen, sedangkan China sukses 11 tekel, tapi dengan akurasi hanya 55 persen.
Melihat statistik tersebut, tidak heran jika timnas Indonesia lebih banyak melakukan serangan atas China. Akan tetapi serangan timnas Indonesia hanya berbuah gol semata wayang dipenghujung babak ke 2, berbanding dengan China yang mampu mengkonversi 2 shot on target menjadi gol dari 5 kali percobaan.
Di luar kekalahan semalam, sebenarnya kita patut bangga dengan perjuangan dan daya penetrasi para pemain, bayangkan saja ditengah euforia pendukung tuan rumah, Timnas mampu mengurung permainan China di seperempat waktu di babak kedua, ini membuktikan bahwa kapasitas dan mental para pemain sudah berada di level yang tepat. Tidak gegebah, dan kesalahan sendiri pun minim terjadi. Koodinasi antara sektor pertahanan dan lini tengah mulai menemukan ritme kembali, meskipun di menit-menit awal sempat kedodoran.
Indonesia Benahi Lini Serang
Barisan penyerang yang diisi oleh R. Oratmagoen (FCV Dender/Belgia), Rafael Struick (Brisbane Roar/Australia), Malik Risaldi (Persebaya/Indonesia), Dimas Drajat (Persib/Indonesia) dan  Hokky Caraka (PSS Sleman/Indonesia),
ditambah sokongan gelandang serang dan bertahan seperti Egy Maulana Vikri (Dewa United/Indonesia), Nathan Tjoe (Swansea City/Inggris), Thom Haye (Almere City/Belanda), Marcelino F. (Oxford United/Inggris), Ivan Jenner (FC Utrecht/Belanda), dan R. Kambuaya (Dewa United/Indonesia), Timnas Indonesia sudah memiliki komponen pemain yang cukup beragam dan berpengalaman main di kompetisi benua biru.
Keberanian untuk melakukan serangan terkoordinasi dan mengali potensi keunggulan di sektor serangan sayap tentu menjadi pembeda.
Permainan menyerang saat melawan Arab Saudi membuktikan bahwa kita juga unggul di long past dan bola-bola atas meskipun dari postur tubuh, pemain Indonesia masih lebih pendek, tapi daya juang pemain kita tidak kalah-kalah amat.
Begitupun saat mampu menyeimbangkan permainan Australia dengan hasil nir-gol, berakhir seri. Sekaliber Harry Souttar "Raksasa" mampu direndam oleh kepiawaian sektor pertahanan - tengah pada bola-bola mati.
Saat imbang melawan Bahrain, yang diselimuti sebagai laga penuh kontroversial dan akan dikenang sebagai laga "90+6=99", pun timnas kita memberikan seluruh "tetes darah" terakhir mereka kepada rakyat Indonesia. Begitu spartan nya barisan pertahanan kita, sirkulasi dari sektor gelandang mengalir sangat apik, dan daya gedor penyerang yang tidak kalah heroiknya.
Penting agar pertandingan selanjutnya ada koreksi dan evaluasi jajaran kepelatihan dan STY, agar meramu dan meracik formulasi yang tepat dalam menyeimbangkan lini pertahanan dan lini serang. Karena dimanapun yang jadi patokan keberhasilan timnas adalah hasil akhir sebuah pertandingan, Meskipun kita juga tidak dapat menutup mata bahwa kebangkitan Timnas Indonesia sudah menerbitkan asa di kalbu penikmat bola di tanah air.
Yang jadi penting adalah bahwa timnas Indonesia saat ini memiliki "Gairah" untuk meraup tiga poin baik di kandang lawan, lebih-lebih di rumah sendiri. Tanpa mengesampingkan upaya dan semangat pemain timnas terdahulu, kami mendukung dan optimis bahwa permainan Indonesia kini telah berjalan sesuai jalur yang diharapkan yaitu menghasilkan permainan kelas dunia yang diisi oleh pemain-pemain domestik dan internasional berdarah Indonesia.
Memadukan antara budaya, ego, dan kepribadian antara pemain Indonesia asli dengan pemain naturalisasi adalah pekerjaan rumah lainnya, yang sudah saatnya diperhatikan oleh federasi agar kesempatan untuk mentas di laga-laga internasional terbuka kepada seluruh anak bangsa dimanapun mereka berada, sebagai bentuk panggilan pengabdian kepada ibu pertiwi.
Paradoks Kekalahan
Ingat adagium bahwa "kekalahan yang tepat adalah langkah mundur agar dapat meloncat lebih jauh". pada alam bawah sadar, manusia sangat membenci kekalahan, karena kekalahan diartikan sebagai kelemahan. Apalagi memperbincangkan Timnas Bola Indonesia, jangan pernah berharap pendukung timnas, akan menerima, "legowo", dan pasrah atas kekalahan.
Pada kamus persepakbolaan Indonesia, keberadaan Tim Nasional merupakan representasi dari semangat garuda untuk membumbung tinggi. Kesombongan yang terasa nikmat saat melihat musuh tertunduk lesu dikalahkan oleh merah putih. Teriakan sampai ubun-ubun rela kita lakukan, sebagai bentuk persenyawaan diri dengan kehormatan bangsa di kancah olahraga sepakbola.
Kekalahan adalah aib, kelemahan, dan kerendahan. Bangsa ini sudah cukup merasakan "kekalahan" dalam hidupnya. Seperti kalah di medan pekerjaan, kalah menghadapi sulitnya memenuhi kebutuhan rumah tangga, kalah dihadapan oligarki politik yang sewenang-wenang, dan kalah untuk merasakan hidup yang sejahtera di bumi yang konon katanya "gemah ripah loh jinawi" ini.
Tapi urusan bola, kalah adalah sebuah perilaku tercela yang harus dibuang jauh-jauh. Kita ingin menangis bersama di gemuruhnya stadiun saat menyaksikan kemenangan timnas di laga apapun melawan negara manapun. Tertawa tanpa tedeng aling-aling karena kebahagian yang memuncak. Kebahagiaan yang terasa tulus dan penuh dengan kenikmatan. Cukup itu saja, kami tidak meminta apapun!!
Akhirnya, kekalahan adalah paradoks, kita tidak boleh kalah, namun kekalahan adalah sebuah keniscayaan dan kepastian sebagai prasyarat memperbaiki dan mengevaluasi kesalahan diri. Penerimaan atas kekalahan adalah level tertinggi dari rasa dukungan kepada perjuangan seluruh pemain, jajaran pelatih, dan federasi. Ikatan dukungan kita kepada Timnas tidak akan pernah longgar bahkan putus sekalipun, karena "harga mati" perjuangan rakyat Indonesia menyaksikan dan mendengarkan lagu "Indonesia Raya" dikumandangkan di level tertinggi, yaitu Piala Dunia!!! Tabik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H