Saat imbang melawan Bahrain, yang diselimuti sebagai laga penuh kontroversial dan akan dikenang sebagai laga "90+6=99", pun timnas kita memberikan seluruh "tetes darah" terakhir mereka kepada rakyat Indonesia. Begitu spartan nya barisan pertahanan kita, sirkulasi dari sektor gelandang mengalir sangat apik, dan daya gedor penyerang yang tidak kalah heroiknya.
Penting agar pertandingan selanjutnya ada koreksi dan evaluasi jajaran kepelatihan dan STY, agar meramu dan meracik formulasi yang tepat dalam menyeimbangkan lini pertahanan dan lini serang. Karena dimanapun yang jadi patokan keberhasilan timnas adalah hasil akhir sebuah pertandingan, Meskipun kita juga tidak dapat menutup mata bahwa kebangkitan Timnas Indonesia sudah menerbitkan asa di kalbu penikmat bola di tanah air.
Yang jadi penting adalah bahwa timnas Indonesia saat ini memiliki "Gairah" untuk meraup tiga poin baik di kandang lawan, lebih-lebih di rumah sendiri. Tanpa mengesampingkan upaya dan semangat pemain timnas terdahulu, kami mendukung dan optimis bahwa permainan Indonesia kini telah berjalan sesuai jalur yang diharapkan yaitu menghasilkan permainan kelas dunia yang diisi oleh pemain-pemain domestik dan internasional berdarah Indonesia.
Memadukan antara budaya, ego, dan kepribadian antara pemain Indonesia asli dengan pemain naturalisasi adalah pekerjaan rumah lainnya, yang sudah saatnya diperhatikan oleh federasi agar kesempatan untuk mentas di laga-laga internasional terbuka kepada seluruh anak bangsa dimanapun mereka berada, sebagai bentuk panggilan pengabdian kepada ibu pertiwi.
Paradoks Kekalahan
Ingat adagium bahwa "kekalahan yang tepat adalah langkah mundur agar dapat meloncat lebih jauh". pada alam bawah sadar, manusia sangat membenci kekalahan, karena kekalahan diartikan sebagai kelemahan. Apalagi memperbincangkan Timnas Bola Indonesia, jangan pernah berharap pendukung timnas, akan menerima, "legowo", dan pasrah atas kekalahan.
Pada kamus persepakbolaan Indonesia, keberadaan Tim Nasional merupakan representasi dari semangat garuda untuk membumbung tinggi. Kesombongan yang terasa nikmat saat melihat musuh tertunduk lesu dikalahkan oleh merah putih. Teriakan sampai ubun-ubun rela kita lakukan, sebagai bentuk persenyawaan diri dengan kehormatan bangsa di kancah olahraga sepakbola.
Kekalahan adalah aib, kelemahan, dan kerendahan. Bangsa ini sudah cukup merasakan "kekalahan" dalam hidupnya. Seperti kalah di medan pekerjaan, kalah menghadapi sulitnya memenuhi kebutuhan rumah tangga, kalah dihadapan oligarki politik yang sewenang-wenang, dan kalah untuk merasakan hidup yang sejahtera di bumi yang konon katanya "gemah ripah loh jinawi" ini.
Tapi urusan bola, kalah adalah sebuah perilaku tercela yang harus dibuang jauh-jauh. Kita ingin menangis bersama di gemuruhnya stadiun saat menyaksikan kemenangan timnas di laga apapun melawan negara manapun. Tertawa tanpa tedeng aling-aling karena kebahagian yang memuncak. Kebahagiaan yang terasa tulus dan penuh dengan kenikmatan. Cukup itu saja, kami tidak meminta apapun!!
Akhirnya, kekalahan adalah paradoks, kita tidak boleh kalah, namun kekalahan adalah sebuah keniscayaan dan kepastian sebagai prasyarat memperbaiki dan mengevaluasi kesalahan diri. Penerimaan atas kekalahan adalah level tertinggi dari rasa dukungan kepada perjuangan seluruh pemain, jajaran pelatih, dan federasi. Ikatan dukungan kita kepada Timnas tidak akan pernah longgar bahkan putus sekalipun, karena "harga mati" perjuangan rakyat Indonesia menyaksikan dan mendengarkan lagu "Indonesia Raya" dikumandangkan di level tertinggi, yaitu Piala Dunia!!! Tabik
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H