Mohon tunggu...
Bayu Aristianto
Bayu Aristianto Mohon Tunggu... Dosen - Kuasa atas diri adalah awal memahami eksistensi

Menulis, proses pengabadian diri di tengah kesemuan hidup

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Demokrasi dalam Bingkai Sentimentalitas

20 Juli 2023   11:20 Diperbarui: 20 Juli 2023   11:26 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Gelombang pasang politik identitas deskruktif di berbagai belahan bumi menunjukan gejala ketergagapan demokrasi dalam menangani kecenderungan pluralisasi etno-kultural. Perkembangan demokrasi pun patut ditelaah dalam ruang dialektika lintas identitas. 

Untuk menjawabnya, demokrasi harus menjalani proses ekperimentasi baru. Demokrasi kian perlu mengembangkan budaya kewargaan multikultural dengan menghormati perbedaan secara setara seraya mengupayakan kerangka titik temu. 

Perjumpaan demokrasi dengan identitas golongan adalah keniscayan, kemutlakan, dan kepastian. Meskipun keduanya kerap melahirkan benturan dan gesekan yang saling menegasikan. Perlu upaya berkesinambungan untuk bisa hidup berdampingan dalam harmoni, sembari mengikis seruan fasistik. 

Sejauh ingatan manusia, sentimentalitas adalah instrumen utama memupuk soliditas, persaudaraan, dan kerukunan disamping berfungsi sebagai barometer pembeda dengan identitas lainnya. Walaupun benih kekacauan dan permusuhan juga hadir bersamaan dengan menguatkan corak identitas, untuk mempertahankan kehidupan (survival of the fittest), nilai hidup (value of life), dan wilayah teritorial (landscape of power). 

Sebagai identitas kolektif, sentimentalitas menjadi sumber persekutuan dan berpotensi menciderai netralitas demokrasi. Oleh karena itu merukunkan demokrasi dengan sentimentalitas perlu melibatkan kesadaran pemahaman bahwa sentimentalitas tidak melulu bernilai peyoratif, sebaliknya demokrasi selayaknya melibatkan penalaran publik pada tiap aspek kebijakan yang dibuat bersama.

Memperbincangkan Demokrasi tentu bermakna menawarkan peran kuasa tertinggi berada di tangan rakyat, sehingga suara mayoritas mensubordinasi yang lain (the other/liyan). Masyarakat homogen dalam lingkup kehidupan demokrasi jadi sebuah utopia dan nir-makna, karena hakikatnya kehidupan manusia adalah heterogen dalam berbagai kepentingan. 

Tentu yang paling dikhawatirkan adalah demokrasi melahirkan "melting pot" yang memaksa golongan minoritas berasimilasi pada kelompok dominan, atau membentuk "Salad Bowl" yang memberi kapling-kapling terpisah bagi setiap identitas atau golongan tanpa adanya ruang peleburan. Bentuk idealnya demokrasi sebagai "public area" yang memberi ruang riungan bagi masing-masing identitas seraya menyediakan arena bermain Bersama, ajang berbagai kelompok identitas bisa terlibat dan melebur.

Adapun demokrasi an sich menghindari ragam prasangka-prasangka, stigmatisasi, diskriminasi, pengadilan massa, primordialisme, dan ujaran kebencian. Padahal gangguan-gangguan tersebut seringkali berangkat dari dalam, atau bersumber dari identitas kolektif.

Jalan keluar dari kemelut demokrasi dan sentimentalitas diatas dapat diarahkan dengan beberapa pendekatan : Pertama, Menjalankan iklim demokratisasi seutuhnya. Demokrasi adalah proses, rangkaian perjalanan menuju kedaulatan rakyat, meninggalkan segala bentuk kediktatoran dan oligarki, menumbuhkan budaya otokritik yang konstruktif, menjalankan prosedur elektoral yang adil, serta menumbuhkan demokrasi deliberatif dan inklusif bagi semua.

Kedua, Mengukuhkan Hak Asasi Manusia.  Demokrasi bukanlah format kosong yang dapat diisi oleh apa saja, melainkan sudah mengandung isi normatif yang diproteksi dengan hak asasi manusia dan dilandasi oleh toleransi, kebebasan dan kesetaraan.

Ketiga, Agama bukanlah ancaman demokrasi. Diktum ini berlandaskan bahwa agama memiliki kekuatan yang dapat mengantar warga negara pada nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan. Menguatkan penalaran publik terhadap keadilan bagi semua. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun