Mohon tunggu...
Bayu Aristianto
Bayu Aristianto Mohon Tunggu... Dosen - Kuasa atas diri adalah awal memahami eksistensi

Menulis, proses pengabadian diri di tengah kesemuan hidup

Selanjutnya

Tutup

Olahraga Pilihan

Euforia Pesohor Miliki Klub: Prestasi atau Sekedar Budaya Latah

9 Juni 2021   13:09 Diperbarui: 9 Juni 2021   13:25 210
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Olahraga. Sumber ilustrasi: FREEPIK

Sudah sekian purnama, keinginan menulis problematika olahraga dan sekelumit cerita dibaliknya terpendam, pertimbangannya tentu saya bukan insan kamil di ranah olahraga bal-balan, sekedar pernah menyukai olahraga ini, tidak serta merta jadi justifikasi bahwa saya punya kompetensi. Lalu, panggilan daya kritis selalu berseloroh "tuh artis negeri kamu rame-rame pada beli klub, ada apa ya?, mereka biasanya pamer supercar, eh sekarang tetiban sudah akuisisi klub bola, sudah sultan beneran kayanya", tunggu dulu sebelum segudang pertanyaan ghibah mengelayuti imajinasi ini, saya dengan upaya tersisa kembali menalar dengan seksama, menggunakan korespondensi akal yang terberi dan verifikasi faktual atas dasar substansi persoalan.

Mari lanjut, selama dua dekade terakhir, siapa yang tidak mengenal Roman Abramovich, Taipan Raja Minyak asal Rusia mengakuisisi Chelsea pada Juli 2003 senilai 140 juta Pounds atau 2,6 Triliun diakui sebagai pertaruhan segudang resiko. Deretan pemain sebelum era Abramovich seperti Carlo Cudicini, William Gallas, Emanuel Petit, Gianfranco Zola, Frank Lampard, hingga penyerang Bengal Floyd Hasselbaink tidak banyak berbicara di kancah kompetisi domestik apalagi pada level benua biru. Bermimpi merengkuh piala Premier League saat itu pun hanya "malu-malu kucing", takut jatuh terlalu tinggi, istilah bekennya.

Bak Penyihir, Roman Abramovich hadir dengan mantera ajaibnya yaitu gelontoran modal, rajin membeli pemain anyar terealisasi dengan adanya mantra kasat mata ini, Bintang pun hadir sekelas Didier Drogba yang digaet dari klub Marseille dengan harga 24 juta pounds, Jiri Jarosik (CSKA Moskow), Mateja Kezman, Arjen Robben (PSV Endhoven), dan Petr Cech (Rennes), dan keputusan paling fenomenal saat membawa Jose Mourinho berlabuh ke London Barat dari Porto yang sebelumnya The Special One menghadirkan piala Champion ke klub asal Portugal tersebut.

Gayung pun bersambut, tidak membutuhkan waktu lama, Chelsea mampu merengkuh kasta tertinggi pada kompetisi domestik Liga Inggris dengan keluar sebagai juara musim 2004/2005. Roman Abramovich pun sesumbar akan menjadikan Chelsea klub terbaik di tanah britania raya, baik dari aspek bisnis maupun marwah klub, Songgong Amat !! (fans Manchester United nitip komentar).

Setali tiga uang, kehadiran Emir Qatar, Sheikh Tamim bin Hamad Al Thani bersama Nasser Al Khelaifi lewat Qatar Sport Invesments, yang merupakan wadah investasi di bidang olahraga sekaligus wadah "rekreasi" milik Emir Qatar, berhasil mengambil alih kepemilikan klub berjuluk Les Parisiens (Orang Perancis) pada tahun 2011.

Siapa yang tidak kenal Ibrahimovic, Edison Cavani, Marco Verrati, Javier Pastore, Thiago Silva, mereka adalah generasi awal kepemimpinan Emir Qatar, lalu muncul Kylian Mbappe, Neymar, Angel Di Maria, Keylor Navas, dan Mauro Icardi. PSG bertransformasi dari klub "wujudiha ka adamiha" (ada atau tiada, emang gue pikirin) menjadi klub elit di muka bumi.

Torehan prestasi tidak henti dicapai klub seperti 7 kali juara Ligue 1 (Liga dometik) dari periode awal Emir berada di kursi kepemimpinan PSG, 6 kali juara Coupe de France, 6 kali juara Coupe de la Ligue, 1 kali runner up UEFA Champion League. Sampai ini saya menarik nafas panjang, sambil lirih berujar "Gelontoran modal dan kepemimpinan jadi resep paling mantab meramu sajian klub bertabur prestasi". 

Masih banyak contoh klub yang setelah dimiliki oleh investor asing atau lokal plus kemampuan finansial tidak terbatas, akhirnya bisa melahirkan klub "semenjana" jadi klub "jumawa". Bolehlah kalau kita berandai-andai klub di Indonesia mampu menorehkan prestasi dengan display deretan pemain mancanegara.

Saya kadang bermimpi ingin melihat Cristiano Ronaldo merumput memakai jersey Arema, Mohammad Salah berselebrasi atas golnya ke gawang Persija bersama klub Persib Bandung, atau Son Heung Min ditandu keluar lapangan di Stadion Maguwoharjo akibat tekel keras Ruben Dias di pertandingan antara PSS Sleman dengan Persipura, kenapa ? kalian mulai tertawa kecut atau membathin "ini artikel yang mulai mengada-ada", terserah, kalian mau berargumentasi apa, tapi intinya saya berandai kalau suatu saat liga Indonesia bisa jadi barometer bahkan episentrum sepakbola di Dunia, minimal dipelototi di TV mereka yang ada di Jeman atau Belanda sana.

Pesohor dan Kebanggaan Klub  

Fenomena akuisisi dan merger dalam industri olahraga adalah lumrah karena rumusnya Investasi akan menghadirkan Prestasi. Memang tidak sampai seratus persen hakkul yakin pasti juara, tapi kemungkinan dan potensi meraih panggung tertinggi akan semakin kencang dengan adanya kesehatan finansial.

Termasuk Industri Sepakbola Tanah Air, dimana bahtera klub ditentukan oleh kompas "modal" untuk menunjang prestasi di lapangan hijau. Tidak ada kekeliruan saat kita menilai bahwa klub "kaya" akan lebih berprestasi dibanding klub "gurem". Sehandal apapun klub mencari bibit-bibit potensial pemain pasti akan selalu tertinggal beberapa langkah dengan klub yang mampu "membeli" pemain professional secara instan. Kalian boleh saja tidak sependapat dengan pernyataan ini, karena masih ada contoh beberapa klub dengan modal "cetek" mampu bersaing secara kompetitif. Tapi ingat itu perbandingannya seperi 1 berbanding 1.000 klub bola yang ada.

Rata-rata klub gurem hanya berada pada lapis kedua bahkan lapis ketiga level kompetisi profesional di sebuah Negara. Untuk mampu naik ke kasta tertinggi, klub dengan modal terbatas biasa melakukan "jual diri" ke investor yang berminat. Saya tekankan pada aspek kemampuan finansial, klub tidak hanya dilihat dari aspek profesionalitas mengejar prestasi an sich,  namun lebih jauh klub telah bermetamorfosis ke arah industri bisnis yang kudu musti menghasilkan profit / keuntungan. Artinya klub dinilai dari lini profitabilitas dan sustainabilitas, lalu passion dan gairah murni menjaga nama baik klub di depan kompetitor akhirnya berada pada tataran permukaan yang kerapkali bersifat normatif-idealitas semata.

Yang selanjutnya berbicara adalah "seberapa untung klub ini 5 tahun kedepan?", "berapa market harga setiap pemain kita?", "keuntungan apa yang kita peroleh dari penjualan hak siar apabila pemain X kita beli dari klub Y dengan harga Z?", "Skema pinjaman seperti apa yang bisa kita jalankan agar bisa membawa pemain A dari Klub B?" dan masih banyak pertanyaan business approach lainnya muncul.

Berita pesohor negeri ini mengakuisisi klub seperti Cilegon FC oleh Raffi Ahmad dan Rudi Salim ,Gading Marten merapat ke Persikota Tangerang, Rizky Billar yang ingin menanamkan saham di PSMS Medan, dan teranyar Atta "King of Youtuber" Halilintar memperkenalkan klub bola AHHA PS Pati. Apresiasi dan rasa hormat, patut kita sampaikan kepada pesohor negeri ini yang memberikan atensi dalam memajukan dunia sepakbola tanah air.

Melow dan risau saya rasakan ketika beberapa hari lalu Indonesia "dipastikan" dibantai  4-0 tanpa balas oleh Vietnam di laga kualifikasi piala dunia 2022  bahkan saya sampai harus menyadarkan diri apakah Channel TV yang saya tonton Hoax. Karena satu dekade silam Vietnam adalah Negara lumbung gol Indonesia bersama Filipina, Laos, dan Kamboja. Miris banget, kayak luka yang ditaburi alkohol, perih tapi tetap harus dirasakan.

Selayaknya kita jangan menilai klub apa yang dibeli atau diakuisisi oleh beberapa pesohor negeri ini. Amati nawaitu serta effort mereka untuk memajukan dunia persepakbolaan. Dalam beberapa kesempatan Raffi, Gading, dan Atta mengutarakan bahwa impian masa kecilnya adalah jadi pemain sepakbola, passion ini terakumulasi oleh kemampuan secara materi, pada akhirnya mereka wujudkan dengan membantu membentuk iklim sepakbola nasional pada lingkup terkecil yaitu memajukan klub di daerah.

Ditanya kenapa tidak membeli klub liga 1, yang secara struktur bisnis akan mendatangkan laba yang lebih tinggi dan pengaruh ke dunia persepabolaan akan jauh terasa di tim nasional, Jawabannya pertama tentu modal yang lebih besar dan kedua potensi memajukan klub di daerah sebenarnya akan jauh berpengaruh terhadap niat mulia para pemilik klub baru.

Bayangkan klub yang sebelumnya tidak pernah ada dalam perbincangkan masyarakat baik di warung kopi atau di tribun penonton. Kalian Tahu Cilegon FC, Pati FC, Persikota, atau klub-klub divisi kasta bawah lainnya? Saya pastikan tidak ada diantara kita yang mengenal klub-klub ini bahwa diantara kita berujar "wah ternyata ada yang klub itu" lugas tapi menyakitkan.

Kalau bukan gara-gara dibeli oleh pesohor, mungkin saja klub hanya beredar pada ingatan warga lokal setempat, namun ketika mereka diperkenalkan oleh pemilik barunya yang notabene pesohor atau influencer secara sekejap keterkenalan klub hampir setara dengan anggota dewan yang saat ini duduk manis sebagai "wakil rakyat" (ilmu harmonisasi masalah ya kayak gini, DPR dengan klub, dihubung-hubungkan) kalau kalian serius membacanya, saya kasih kesempatan untuk sekedar rileks.

Tidak jadi masalah saat klub dimiliki pesohor, pengusaha, artis, gubernur, hakim, youtuber, tik-toker, bahkan presiden sekalipun berhak memiliki klub dengan catatan kemampuan modal dibarengi oleh restu para pemangku kepentingan klub tersebut. Ingat siapapun punya tanggungjawab untuk membangun negeri ini, dengan cara dan langkah masing-masing. Kalau dengan memiliki klub lalu kita bisa meningkatkan harga diri bangsa minimal daerah setempat, bisa jadi kita lebih patriot dibandingkan pertanyaan-pertanyaan dalam test TWK. 

Akhirul Kalam, negeri ini sudah pantas memiliki klub dengan sejuta ide dari pemilik muda, apakah ini sebuah prestasi ? saya dengan sepenuh hati menjawab iya, kita jangan terus berada pada ruang stigmatisasi, anggapan-anggapan liar, bahkan pikiran picik, sepantasnya dukungan kita dan monitoring terus jadi palang pengatur agar pemilik klub baru ini menjalankan niat sucinya untuk membantu infrastruktur klub dan mempromosikan bibit-bibit muda di kasta sepakbola profesional.

Kemudian apakah ini bentuk "kelatahan" ? kalau benar ini kelatahan atau sekedar ikut-ikutan tren, mestinya kita kembali bertanya, "latah dalam proses membangun negeri apakah salah" nah loh, bingung sendiri, Ya Sudahlah kita hanya berdoa bagi kebaikan kita bersama, kebaikan dunia olahraga kita, kebaikan sepakbola bangsa Indonesia, dan do'a terakhir lekas balaskan dendam kita terhadap Vietnam. Semoga.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Olahraga Selengkapnya
Lihat Olahraga Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun