Coba ketik kata "Emmanuel Macron" pada kotak jelajah Google. Selain muncul penjelasan tentang sepak terjang dia di dunia politik sampai menjabat Presiden Prancis, belakangan Presiden Prancis ini menyulut keriuhan akibat pernyataan bernada diskriminatif dan terkesan rasis terhadap agama lain.
Menerka bagaimana petunjuk pemimpin mengejawantah guna merekatkan kohesi sosial, bukan partikularitas -- keberbedaan yang ditampilkan. Arah kepemimpinan selayaknya jadi mercusuar menyatukan, diksi perpecahan bahkan dikotomi adalah mantra yang patut dihindari.Â
Kemudian bercermin pada sikap Emmanuel Marcon yang menyebut Islam "Dalam Krisis" serta  kembali memperteguh kebijakan sekularitas -- Agama dan Negara adalah dua lokus yang berbeda -- serta merta melahirkan gejolak berupa patalogi chauvanistik (ketertutupan dan xenophobia).
Pada titik ini, sikap pemimpin sebuah Negara yang menjunjung kebebasan berbicara, apalagi Prancis sebagai candradimuka lahirnya prinsip Kebebasan (Liberty), Kesetaraan (Egality) dan Persaudaraan (Fraternity) sejatinya mampu meredam gejolak sentimen etnosentris dalam ruang yang lebih luas.Â
Kewajaran saat pemimpin merepresentasikan sikap moderasi diatas perbedaan, meskipun gairah kepentingan sektoral tetap tumbuh, keberpihakan terhadap kemanusiaan dan menjaga keterhubungan dan perjumpaan warga jadi ukuran prioritas.
Lautan protes atas laku minus kebijakan Macron ditengah lemahnya kesatuan warga akibat pagebluk korona, apalagi simpul-simpul warga dunia masih diuji untuk menghadapi krisis kesehatan dan ekonomi, tentu mengkhawatirkan.
Gejala hilangnya semangat emansipatoris warga semakin mendapat justifikasi, selain ruang inetraksi sosial terbatasi, munculnya stigmatisasi terhadap kelompok lain, tentu jadi preseden buruk dalam upaya menuntaskan krisis kekinian.Â
Lalu apa yang salah dari pernyataan Emmanuel Macron yang menyebut Islam "Dalam Krisis"? sedangkan pada konteks kebebasan berbicara, pendapat seseorang dihormati dan dijunjung tinggi guna menciptakan iklim kebebasan.
Pandangan saya, jauh melihat peradigma kebebasan berpendapat / berbicara (Freedom of Speech) sebagai syarat mutlak menegakan prinsip berdemokrasi, namun perlu disimak secara utuh bahwa kebebasan berpendapat akan selalu dibatasi oleh kebebasan orang lain.Â
Ilustrasi singkat, sebagai pengemudi mobil, kita bebas mengemudikan kendaraan dengan tujuan sesuai keinginan, namun ketika berkendaraan kebebasaan selama dalam perjalanan akan dibatasi oleh kebebasan pengguna lainnya seperti pejalan kaki, pesepeda, penguna kendaraan lainnya, bahwa hewan sekalipun.
Artinya, sepenuhnya kebebasan adalah mekanisme menjalankan proses pemaknaan diri tanpa mencederai prinsip kemanusiaan yang berkeadilan dan setara.
Charlie Hebdo, Satire tapi melukai
Singkat penuh ilustrasi dan sarat akan interpretasi, inilah kesan saya saat pertama membaca online majalah mingguan Charlie Hebdo. Saya tidak akan menjelaskan panjang lebar terkait sejarah kontroversi yang selama ini mengelayuti majalah satire ini (Silahkan membaca banyak artikel terkait keberdaaan majalah Charlie Hebdo).
Atas dasar mewujudkan kebebasan menyuarakan pendapat, Majalah Charlie Hebdo memantik kecemasan. Ragam kritik disampaikan baik politik, budaya, sosial bahkan menyudutkan Agama Kristen, Yahudi, dan termutahir Islam.
Sensitifitasan dikemukan, privatisasi agama dikritik habis-habisan, personalitas nabi ditampilkan baik ilustrasi kartun maupun sindiran pedas namun dangkal verifikasi dan alpanya keberpihakan terhadap prinsip beragama.Â
Lantas kebenaran apa yang ingin disampaikan, saat kegetiran dan kegaduhan saja yang muncul. Bukankah kebebasan sesungguhnya akan selalu mampu menghadirkan kebaikan bagi semua. Lalu yang kemudian terjadi menyeruak sebagai bentuk segregasi sosial.Â
Memantik dikotomi atas dasar perbedaan prinsip, yang kemudian menghabiskan nafas persatuan dan toleransi. Kerapkali kita sesumbar menyatakan bahwa apa yang saat ini banyak dilakukan oleh media arus utama, membentuk cara kita berfikir, berprilaku, menyikapi isu adalah bentuk mengkritalisasikan wacana dalam framing kepentingan sekelompok pihak.
Kadang saya menduga, apa yang sekarang terlihat bahwa kebebasan mengutarakn pendapat apabila tidak dikemukan dengan mengedepankan keadilan dan kesetaraan serta persaudaraan hanya akan melahirkan polarisasi dan ekstrimisme atas dasar pengukuhan keyakinan.
Langkah perbaikan secara terpadu, konsisten, dan persisten sungguh harus diunggulkan. Betapa secara substansial kebebasan adalah karunia untuk dijaga dan dilestarikan namun kurangnya kepedulian menjaga kesatuan dan keutuhan, pada akhirnya cuma meretas kebebasanan semu, yang hanya mencipta kekerasan, ketidakadilan, dan sikap ketertutupan akan perbedaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H