Sebentar dulu, jangan langsung timbul anggapan kalau judul di atas adalah pernyataan agitatif, propaganda, atau hasutan. Adalah kekeliruan apabila sebuah lontaran pernyataan disikapi hanya lewat satu perspektif, boleh jadi hal berbeda akan terjadi jika kita mau menela'ahnya melalui cara pandang berbeda.Â
Mengapa Demokrasi yang harus disalahkan? Disalahkan karena apa dan kenapa, lalu bisa saja yang membuat kesalahan tersebut "hanya" oknum berkedok demokrasi.
Pada dasarnya Demokrasi adalah panduan hidup atas dasar consensus bersama, tanpa sekat dan paksaan menentukan pilihan. Demokrasi ibarat wadah air, betapapun deras atau kecilnya air yang kita tuangkan dalam wadah tersebut, semakin lama maka air akan merembes keluar dari wadah, karena ia memiliki takaran dan ukuran.Â
Kesesuaian dan keselarasan adalah nilai paling substantif dalam sebuah iklim berdemokrasi. Boleh jadi ketika kita hidup berdemokrasi dengan kesesuaian yang berlebihan dan keselarasan tanpa jeda, maka yang terjadi bukanlah demokrasi namun mengejawantah jadi sebuah ideologi "kebeblasan".Â
Akhirnya jargon "ini atas nama menjunjung demokrasi" hanya diksi nir-makna karena disampaikan dan dilakukan tidak berdasarkan pada kesesuaian dan keselarasan.
Ada kasus menarik untuk dicermati bersama, di tengah agenda pilkada tahun 2020, masyarakat kembali disodorkan oleh drama politik. Barangkali boleh saja kita sebagai penikmat drama mengeluarkan ekspresi haru biru, kesal, sedih, gembira tak berkesudahan, atau cuek bebek karena kita tahu drama tersebut telah terskenariokan, singkatnya sudah tahu ending-nya.
 Tapi naf kalau politik pemilihan kepada daerah lalu seluruhnya dianggap drama. Tunggu dulu bukankah masyarakat kita sudah sangat cinta dengan hal-hal bernuansakan drama, apa-apa harus diterjemahkan sebagai intrik, ada protagonis sebagai kelompok tertindas ada antagonis sebagai kelmpok penindas.Â
Baru-baru ini pemilihan kandidat calon wakil rakyat sebagai perwakilan rakyat di eksekutif diwarnai oleh politik kekerabatan atau bahasa kerennya politik dinasti.Â
Incumbent (Petahana) punya sirkulasi kuasa untuk dapat mengerakkan dan memobilisasi preferensi elektablitas seseorang, apalagi keluarga tentu daya ungkit untuk membantu terpilihnya semakin kuat.
Tapi kenapa harus repot-repot mempermasalahkan politik kekerabatan alasan paling kuat, semua orang tanpa pengecualiaan mempunyai hak konstitusi dipilih dan memilih.Â
Memasang teralis untuk menghambat anggota keluarga penguasa untuk dipilih sama saja mengekang dan membatasi hak berkonstitusi dan tentu saja melanggar mandat human right (hak asasi manusia).Â
Sebenarnya tidak jadi soal siapa yang akhirnya terpilih untuk berada pada posisi sebagai pemimpin. Karena rakyat saat ini suka tidak suka sudah semakin cerdas dan paham bahwa masa depan bangsa ini bukan sebatas omongan palsu tanpa realitas dan bukti nyata. Rakyat sudah bosan mengagung-agungkan seseorang yang belum merealisasikan janji-janji politiknya.
Politik kekerabatan pada lingkup yang lebih luas, mengambarkan bahwa fungsi kaderisasi partai sebagai lumbung mencetak calon-calon pemimpin bangsa tidak berjalan lurus dengan masih cukup tingginya Negara ini mengalami disorientasi pemimpin.Â
Profesionalitas, akuntabilitas, integritas dan amanah adalah sedikit dari banyak karakter yang jadi standar kualifikasi pemimpin, lalu partai juga punya tanggungjawab melahiran calon pemimpin masa depan yang punya kesatuan visi dan ideologi.Â
Akhirnya partai dapat berfungsi sebagai muara dari seluruh penjuru mata angin dalam mencari dan melahirkan sosok pemimpin kharismatik dan negarawan berwawasan nusantara.
Apa yang terjadi saat ini, boleh dikata jauh dari harapan kita bersama. Partai seolah hanya mengejar bagaimana kekuasaan dapat diraih dengan mengeliminasi fungsi kadersasi. Yang timbul adalah calon diusung dari "orang luar".Â
Pragmatisme partai yang hanya mengejar popularitasan kandidat, punya kemampuan capital mumpuni, dan ada pertalian keluarga dengan penguasa jadi mantra abadi untuk mencari pemimpin "instan" di negeri ini.
Optimisme akan selalu ada disaat badai menerjang, percayalah badai akan berlalu dan mentari menanti disana. Semoga ungkapan ini bukan utopia saja. Harapan perubahan akan selalu ada meskipun perjalanananya masi cukup panjang dan melelahkan. Huff...!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H