Lalu gadis kecil itu pun tertidur dan bermimpi tentang London. Dia bermimpi tentang jam yang tinggi dan sungai yang lebar; dia membayangkan seorang lelaki tua memakai topi, wanita dengan paying, bis berwarna merah dan rumah besar dimana sang ratu tinggal dengan semua penjaganya yang memakai topi bulu yang tinggi dan sepatu boots.
Tapi ketika ia tiba di bandara di London tidaklah sesuai apa yang dibayangkannya. Langitnya berwarna abu-abu dan sangat berangin dan hujan. Ruri berharap jika dia tidak memakai sandal karena jari-jari kakinya menjadi sangat dingin. Dan yang paling buruk adalah perasaan bahwa semua orang melihatnya dengan aneh.
Ruri menyadari bahwa dia adalah satu-satunya yang memakai hijab. Seorang gadis yang berada di dekatnya menunjuk kepadanya dan tertawa sambil bertanya kepada ibunya: “Kenapa dia memakai kain itu dan diselipkan di kepalanya?”
Si ibu menarik anak gadis tersebut dan memberitahunya bahwa tidak sopan untuk menunjuk ke seseorang. Ruri ingin memberitahu gadis tersebut jika itu bukanlah sebuah kain, tapi merupakan hijab dan di Jakarta, banyak gadis-gadis, ibu-ibu yang mengenakan hijab karena itu sudah menjadi bagian dari budaya.
Tentu saja, Ruri ingin membuka hijabnya karena dia tidak suka dipandangi secara aneh seperti itu dan dia berharap dia berada di Jakarta yang cerah dan jari kakinya akan merasa hangat.
“Ayo kita pulang,” kata si bibi sambil menuntunnya ke taksi berwarna hitam dengan lampu berwarna oranye diatasnya.
Ruri merasa bahwa supir taksi tersebut terdengar lucu. Tidak seperti guru inggrisnya, supir tersebut sering berkata “Blimey” dan “awright Love, where to?” Ruri kecil tidak mengerti kata-kata tersebut, tapi untungnya si bibi mengrti dan mereka segera melesat melalui kota menuju rumah barunya.
Ruri ingin bertanya kepada bibinya mengapa dia tidak memakai hijab di Inggris meskipun dia selalu mengenakannya ketika berkunjung ke Jakarta. “Dia pasti sedang menyamar,” piker si gadis kecil. Tapi Ruri juga ingat bahwa ibunya selalu berkata untuk tidak menyembunyikan dirinya yang sesungguhnya dari orang lain, maka Ruri merasa bingung mengapa bibinya memilih untuk menyamar di Inggris.
Ternyata London adalah tempat yang sangat aneh. Tiada hari tanpa hujan selama minggu pertamanya disana dan Ruri tidak berpikir tentang musim panas sama sekali. Dia kesulitan untuk mengerti apa yang dikatakan oleh orang-orang, meskipun semua orang bilang bahwa bahasa inggrisnya sangat baik. Dia juga menyadari bahwa tidak sembarang orang yang dapat menyapa ratu di rumahnya yang besar meskipun ada ratusan kamar untuk menyambut tamu.
Gadis muda itu sangat kecewa atas rumah barunya dan dia merindukan ibunya, ayahnya dan temannya. Bahkan makanannya terasa berbeda: warnanya abu-abu seperti cuaca disana dan berasal dari sebuah kotak yang diambil dari freezer, tidak seperti ibunya yang sering memasak rendang, gado-gado dan kue nastar.
Ketika tiba saatnya bagi Ruri untuk pergi ke sekolah barunya, dia merasa sangat cemas dan berusaha untuk meyakinkan bibinya bahwa dia terlalu lemah untuk bangun dari tempat tidur.