Mohon tunggu...
2Aji Setiawan
2Aji Setiawan Mohon Tunggu... Jurnalis - Simpedes BRI a/n Aji Setiawan ST KCP Bukateja no cc: 372001029009535
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

www.ajisetiawan1.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir

4 Februari 2018   10:29 Diperbarui: 4 Februari 2018   10:39 7600
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Sudah menjadi suatu mitos yang berkembang ditengah-tengah masyarakat bahwa Indonesia memiliki kekayaan laut yang berlimpah, baik sumber hayatinya maupun non hayatinya, walaupun mitos seperti itu perlu dibuktikan dengan penelitian yang lebih mendalam dan komprehensif.  Terlepas dari mitos tersebut, kenyataannya Indonesia adalah negara maritim dengan 70% wilayahnya adalah laut, namun sangatlah ironis sejak 32 tahun yang lalu kebijakan pembangunan perikanan tidak pernah mendapat perhatian yang serius dari pemerintah.

Implikasi dari tidak adanya prioritas kebijakan pembangunan perikanan tersebut, mengakibatkan sangat minimnya prasarana perikanan di wilayah pesisir, terjadinya abrasi wilayah pesisir dan pantai, pengrusakan ekosistim laut dan terumbuh karang, serta belum teroptimalkannya pemanfaatan sumber daya perikanan dan kelautan.

Banyak sekali kasus-kasus nelayan miskin di wilayah Indonesia, bahkan hingga diangkat dalam berbagai tulisan dan penelitian. Salah satu contoh penelitian yang pernah dilakukan ialah penelitian yang dilakukan oleh Mubyarto (1984), penelitian tersebut menganalisis perekonomian masyarakat nelayan miskin di Jepara. 

Menurut Mubyarto dkk, kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan struktur yaitu nelayan terbagi atas kelompok kaya dan kaya sekali di satu pihak, miskin dan miskin sekali di satu pihak.  Penelitian ini menunjukkan adanya dominasi/eksploitasi dari nelayan kaya terhadap nelayan miskin.  Hampir sama dengan penelitian di atas selanjutnya Mubyarto dan Sutrisno (1988) juga melihat kemiskinan nelayan di Kepulauan Riau. Menurut Mubyarto dkk, kemiskinan nelayan lebih banyak disebabkan oleh adanya tekanan struktur, yaitu nelayan kaya/penguasa yang menekan nelayan miskin.

Hasil-hasil penelitian seperti yang telah disebutkan beberapa di atas, menunjukkan adanya ketidakberdayaan para nelayan miskin terhadap kondisi sosioal, ekonomi, dan politik, yang berlaku terhadap mereka di tiaap-tiap daerahnya. Hal tersebut kemudian mengakibatkan kemiskinan semakin menjadi-jadi dan menekan mereka untuk tetap hidup di dalam garis kemiskinan. Diperlukan sebuah upaya dari pemerintah daerah dan pusat untuk memberian dukungan kepada para nelayan miskin ini, sehingga dapat meningkatkan taraf hidup mereka dan kemudian menjadi mandiri secara ekonomi karena kemapanan mereka.

Untuk mengentaskan kemiskinan masyarakat pesisir, terutama para nelayan miskin, pemerintah telah melakukan berbagai program pemberdayaan masyarakat. Salah satunya adalah program Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir (PEMP) yang dikembangkan secara nasional. Program PEMP ini bertujuan meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir melalui pendekatan ekonomi dan kelembagaan sosial. 

Dalam position paper pemberdayaan masyarakat pesisir Departemen Kelautan dan Perikanan  disebutkan, bahwa berdasarkan karakteristik masyarakat pesisir (nelayan) dan cakupan pemberdayaan, maka pemberdayaan nelayan patut dilakukan secara komprehensif. Pembangunan yang komprehensif, yakni pembangunan dengan memiliki ciri-ciri: 

  1. berbasis lokal (melibatkan sumberdaya lokal sehingga return to local resource dapat dinikmati oleh masyarakat lokal. Sumberdaya lokal yang patut digunakan adalah sumberdaya manusia dan sumberdaya alam,
  2.  berorientasi pada peningkatan kesejahteraan (menitikberatkan kesejahteraan masyarakat dan bukannya peningkatan produksi), 
  3. berbasis kemitraan (kemitraan yang mutualistis antara orang lokal atau orang miskin dengan orang yang lebih mampu, untuk membuka akses terhadap teknologi, pasar, pengetahuan, modal, manajemen yang lebih baik atau profesional, serta pergaulan bisnis yang lebih luas,
  4. secara holistik atau multi aspek (pembangunan mencapai semua aspek, setiap sumberdaya lokal patut diketahui dan didayagunakan), 
  5. berkelanjutan (keberlanjutan dari pembangunan itu sendiri, mencakup aspek ekonomi dan sosial) (DKP 2002).

Program PEMP yang dibentuk oleh pemerintah pusat memberikan dampak yang positif bagi para nelayan miskin di daerah pesisir. Beberapa aspek yang berubah setelah adanya pemberlakuan program ini antara lain seperti aspek pendapatan para nelayan. Contoh kasusnya adalah aspek pendapatan para nelayan di daerah Halmahera Utara. Sebelum diberlakukannya strategi pemberdayaan dalam bentuk PEMP ini, para nelayan memperoleh pendapatan yang rendah dikarenakan pedagang ikan lebih memiliki nilai tawar yang tinggi dibanding nelayan dalam menentukan harga ikan hasil tangkapan. Ketergantungan nelayan terhadap para pedagang ikan mengakibatkan kesulitan bagi mereka, bahkan bisa disebut sebagai bentuk patron-client diantara nelayan dan pedagang ikan. Maka setelah PEMP berjalan, pendapatan nelayan mengalami peningkatan yang  sangat signifikan antara 100-288%.

Tidak hanya melalui PEMP, pemberdayaan masyarakat pesisir terutama para nelayan miskin juga bisa dilakukan dengan bentuk-bentuk program lainnya yang berasal dari pemerintah ataupun dari komunitas nelayan itu sendiri. Beberapa aspek yang bisa diperhatikan dan dijadikan prioritas dalam perencanaan dan formulasi strategi pemberdayaan nelayan miskin antara lain seperti permodalan, pengembangan teknologi dan skala usaha perikanan, pengembangan akses pemasaran, penguatan kelembagaan para nelayan dan masyarakat pesisir, pengelolaan sumberdaya perikanan berbasis masyarakat,pembangunan sarana dan prasarana penunjang usaha perikanan.

Salah satu persoalan mendasar dalam pembangunan perikanan adalah lemahnya akurasi data statistik perikanan. Data perikanan di berbagai wilayah di Indonesia biasanya berdasarkan perkiraan kasar dari laporan dinas perikanan setempat. Belum ada metode baku yang handal untuk dijadikan panduan dinas-dinas di daerah setempat dalam pengumpulan data perikanan ini.

Bagi daerah-daerah yang memiliki tempat atau pelabuhan pendaratan ikan biasanya mempunyai data produksi perikanan tangkap yang lebih akurat karena berdasarkan pada catatan jumlah ikan yang didaratkan. Namun demikian akurasi data produksi ikan tersebut pun masih dipertanyakan berkaitan dengan adanya fenomena transaksi penjualan ikan tanpa melalui pendaratan atau transaksi ditengah laut. Pola transaksi penjualan semacam ini menyulitkan aparat dalam menaksir jumlah/nilai ikan yang ditangkap di peraiaran laut di daerahnya. Apalagi dengan daerah-daerah yang tidak memiliki tempat pendaratan ikan seperti di kawasan pulau-pulau kecil di Indonesia maupun berkembangnya tempat-tempat pendaratan ikan swasta atau 'TPI Swasta' yang sering disebut tangkahan-tangkahan seperti yang berkembang di Sumatera Utara.

Bagaimana pemerintah akan menerapkan kebijakan pengembangan perikanan bila tidak didukung dengan data-data yang akurat. Apakah ada jaminan pemerintah mampu  membongkar sistem penangkapan ikan yang carut-marut dan tiap-tiap daerah yang mempunyai bentuk dan pola yang berbeda-beda. Keadaan sistem yang mampu memonitor setiap aktivitas penangkapan di daerah-daerah menjadi satu kelemahan yang terpelihara sejak dulu. Celah kelemahan inilah yang kemudian dimanfaatkan oleh pihak-pihak yang terkait untuk memperkaya diri dari hasil perikanan tangkap. Sehingga isu kebocoran devisa dengan adanya pencurian ikan menggambarkan kelemahan sistemmanajemen pengelolaan perikanan nasional.

Tanpa mengetahui karakter atau pola/jaringan bisnis penangkapan ikan yang dilakukan masyarakat atau para nelayan yang bermodal diberbagai daerah atau sentra-

sentra penangkapan ikan, maka kebijakan perijinan ulang terhadap usaha penangkapan ikan ini akan terdapat peluang korupsi dan kolusi. Ditengarai dengan pola/jaringan bisnis perikanan tangkap sudah terbiasa dengan budaya KKN, maka mekanisme kolusi dan korupsi di dalam bisnis penangkapan ikan ini harus diatasi secara sistematis. Kebijakan pembangunan perikanan pada masa yang akan datang hendaknya didasarkan pada landasan pemahaman yang benar tentang peta permasalahan pembangunan perikanan itu sendiri, yaitu mulai dari permasalahan mikro sampai pada permasalahan di tingkat makro yang mengarah pada pemberdayaan masyarakat nelayan.

Permasalahan mikro yang dimaksudkan adalah pensoalan internal masyarakat nelayan dan petani ikan menyangkut aspek sosial budaya seperti pendidikan, mentalitas, dan sebagainya. Aspek ini yang mempengaruhi sifat dan karakteristik masyarakat nelayan dan petani ikan. Sifat dan karakteristik tersebut dipengaruhi oleh jenis kegiatan usaha seperti usaha perikanan tangkap, usaha perikanan tambak, dan usaha pengolahan hasil perikanan. Kelompok masyarakat ini memiliki sifat unik berkaitan dengan usaha yang dilakukannya. Karena usaha perikanan sangat bergantung pada musim, harga dan pasar.

Gagasan tentang pembangunan ekonomi (local economic development) berdasarkan sumberdaya lokal atau dalam bahasanya Dawam Rahardjo sebagai "pembangunan ekonomi setempat", dikemukakan oleh beberapa pemikir pembangunan yaitu Helena Norberg dan Hodge, David Morris dan Satish Kumar dalam sebuah buku kumpulan tulisan yang berjudul "The Case Against the Global Economy and for a Turn Toward the Lokal" dan di edit oleh Jerry Mander dan Edward Goldsmith (2040). Halena Norberg dan Hodge dalam tulisan mereka yang berjudul "Shifting Direction from Global Dependence to Local lnterdependence",menggambarkan bahwa ciri dan pengembangan ekonomi lokal yang merupakan sebuah kebijakan ekonomi baru yang berbasis masyarakat (new community -- Cased economic).

Dengan demikian akan tercipta interdependesi ekonomi lokal dalam konteks ekonomi global. Untuk mengembangkan kegiatan ekonomi lokal tersebut,menekankan perlunya tiga landasan utama yang mendukung yakni (i) adanya kewenangan (authority), (ii)pertanggungjawaban (responsibility), dan (iii) kapasitas produksi masyarakat (productive capacity) yang menjamin keberdayaan masyarakat dalam menentukan masa depan kebijakan ekonomi.Sehingga arah dan tujuan pengembangan ekonomi lokal diharapkan agar mampu menciptakan peningkatan semangat masyarakat (community spirit), hubungan masyarakat (community relationship) dan kesejahteraan masyarakat (well-being).

Sumberdaya Kelautan memiliki potensi yang besar untuk pengembangan ekonomi nasional menyongsong abad 21, namun demikian pemanfaatannya harus dilaksanakan secara hati-hati agar tidak terjadi kerusakkan ekosistemnya seperti yang terjadi pada sumberdaya daratan. Dalam rangka menjadikan bidang kelautan sebagai sektor unggulan dalam memperkokoh perekonomian nasional, maka diperlukan suatu formulasi kebijakan kelautan (ocean policy) yang integral dan komprehensif yang nantinya menjadi payung politik bagi semua institusi negara yang memperkuat pembangunan perekomian kelautan (ocean economy).

Pengembangan formulasi kebijakan tersebut tidak terlepas dengan sejarah kemajuan peradaban bangsa Indonesia yang dibangun dari kehidupan masyarakat yang sangat tergantung dengan sumberdaya pesisir dan lautan. Namun demikian dari era kemerdekaan sampai dengan saat ini belum ada kebijakan mengelola sumberdaya kelautan secara terpadu dibawah satu koordinasi lembaga Negara yang sinergis. 

Diketahui bahwa fokus pernbangunan bidang kelautan cukup luas yaitu terdiri dari berbagai sektor ekonomi. Namun selama ini pembangunan yang memanfaatkan potensi sumberdaya kelautan tidak dilakukan oleh satu koordinasi lembaga negara tetapi dilakukan secara parsial oleh beberapa lembaga negara seperti departemen pertahanan, dalam negeri, luar negeri, perhubungan, energi, pariwisata, industri dan perdagangan, lingkungan hidup, kelautan dan Perikanan.

Banyak sudah program pemberdayaan yang dilaksanakan pemerintah, salah satunya adalah pemberdayaan ekonomi masyarakat pesisir (PEMP).  Pada intinya program ini dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu: Kelembagaan. Bahwa untuk memperkuat posisi tawar masyarakat, mereka haruslah terhimpun dalam suatu kelembagaan yang kokoh, sehingga segala aspirasi dan tuntutan mereka dapat disalurkan secara baik. Kelembagaan ini juga dapat menjadi penghubung (intermediate) antara pemerintah dan swasta. Selain itu kelembagaan ini juga dapat menjadi suatu forum untuk menjamin terjadinya perguliran dana produktif diantara kelompok lainnya.  

Kedua, Pendampingan. Keberadaan pendamping memang dirasakan sangat dibutuhkan dalam setiap program pemberdayaan. Masyarakat belum dapat berjalan sendiri mungkin karena kekurangtauan, tingkat penguasaan ilmu pengetahuan yang rendah, atau mungkin masih kuatnya tingkat ketergantungan mereka karena belum pulihnya rasa percaya diri mereka akibat paradigma-paradigma pembangunan masa lalu.  Terlepas dari itu semua, peran pendamping sangatlah vital terutama mendapingi masyarakat menjalankan aktivitas usahanya. Namun yang terpenting dari pendampingan ini adalah menempatkan orang yang tepat pada kelompok yang tepat pula.

Yang terakhir, ketiga: Dana Usaha Produktif Bergulir. Pada program PEMP juga disediakan dana untuk mengembangkan usaha-usaha produktif yang menjadi pilihan dari masyarakat itu sendiri. Setelah kelompok pemanfaat dana tersebut berhasil, mereka harus menyisihkan keuntungannya untuk digulirkan kepada kelompok masyarakat lain yang membutuhkannya.  Pengaturan pergulirannya akan disepakati di dalam forum atau lembaga yang dibentuk oleh masyarakat sendiri dengan fasilitasi pemerintah setempat dan tenaga pendamping. (*****) Aji Setiawan, Penulis tinggal di Purbalingga

Nama               : Aji Setiawan, ST
TTL                 : Purbalingga, 1 Oktober 1978
Hp                   : 081229667400
Pekerjaan         : SwastaAlamat             : Cipawon RT 06/Rw 01 Bukateja Purbalingga 53382
No rekening    : Simpedes BRI no : 372001029009535

Peneliti Masalah Nelayan Tradisional di Pesisir Pantai Utara Jawa tahun 1998-2000, Artikel pernah dimuat di Lipsus Majalah Himmah Edisi I (Tahun 1999) dan Majalah Himmah Edisi II (Tahun 2000).

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun