Dari sekian kasus yang menimpa wartawan itu, barangkali sampai sekarang yang tidak ada yang mampu menandingi tragisnya kematian Fuad Muhammad Safrudin, akrab dipanggil Udin, yang bekerja sebagai wartawan Bernas. Sejak penganiayaan yang terjadi pada 13 Agustus 1996 yang berbuntut tewasnya Udin, kasus tersebut belum terungkap jelas. Memang ada tersangka tunggal, Dwi Sumaji alias Iwik, namun Iwik didudukan di kursi terdakwa karena penyidik yakin ada latar love affair yang melibatkan Iwik dalam kasus pembunuhan tersebut. Sehingga latar belakang rekayasa dalam penanganan kasus semakin jelas. Padahal kasusnya bisa dianggap kadaluarsa pada 16 Agustus 2014.
Masalahnya, sejak awal, masyarakat dan kalangan Pers yakin bahwa terbunuhnya Udin lebih banyak berkaitan dengan masalah pemberitaan. Keyakinan ini pula yang dipegang Tim Pencari Fakta PWI Yogyakarta yang dibentuk khusus untuk menelusuri latar belakang peristiwa penganiyaan tersebut.
Tak pelak, kontroversi yang menyelimuti kasus yang terjadi di daerah Bantul pada kurun dekade 1996 dengan cepat masuk ke agenda Internasional. Sebab, ternyata, tak cuma kalangan pers dalam negeri yang menyorot kasus tersebut. Lembaga –lembaga internasional semacam : Internasional Federation of Journalists (Brussels), Commite to Protec Journalists (New York), Article 19 (London) dan Reportour Sans Frontier (Paris) pun menaruh harapan besar agar pelaku sebenarnya terungkap.
Tekanan terhadap pers dan jatuhnya korban di kalangan wartawan, sebagaimana sedikit diceritakan dalam kasus-kasus di atas, sebenarnya ironis dengan “nasib sejarah”yang dialami dunia pers saat ini. Di tengah gencarnya gelombang kompetisi antar pers yang semata-mata ditujukan untuk meningkatkan jumlah oplah, pers ternyata masih dipandang , setidaknya oleh sebagian pejabat pemerintah , sebagai sumber gangguan. Mitos pers sebagai pilar demokrasi keempat (sesudah lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif) yang sudah terlanjur melekat agaknya sulit dieliminasi begitu saja.
Tekanan terhadap pers dan jatuhnya korban di kalangan wartawan, sebagaimana sedikit diceritakan dalam kasus-kasus di atas, sebenarnya ironis dengan “nasib sejarah”yang dialami dunia pers saat ini. Di tengah gencarnya gelombang kompetisi antar pers yang semata-mata ditujukan untuk meningkatkan jumlah oplah, pers ternyata masih dipandang , setidaknya oleh sebagian pejabat pemerintah , sebagai sumber gangguan. Mitos pers sebagai pilar demokrasi keempat (sesudah lembaga eksekutif, yudikatif, legislatif) yang sudah terlanjur melekat agaknya sulit dieliminasi begitu saja.
Ini sebenarnya paradoks: di satu sisi pers dihadapkan pada kenyataan historis sebagai sebuah industri yang harus memperhitungkan segala bentuk perhitungan untung rugi, tapi di sisi lain, tak seperti lembaga –lembaga bisnis lainnya, ia juga tak mungkin menepis fitrahnya sebagai pencari dan penyebar informasi yang acapkali menghasilkan benturan-benturan kepentingan.
Justru di titik inilah letak kekuatan sekaligus kelemahan pers. Ia menjadi kekuatan informasi yang disebarkan sanggup menjadi penggalang opini publik, tapi di saat lain juga menjadi titik lemah yang dengan mudah menjadi alasan untuk membunuhnya—terutama yang datang dari kekuasaan.
Dari segi profesi, peran wartawan pun cap dianggap berbeda dengan jenis-jenis profesi lainnya. Padahal, kalau melihat output, yang dihasilkan: pekerjaan ini sama sekali tidak ada istimewanya. Yang diperlukan seseorang untuk menjadi seorang wartawan hanyalah ketrampilan menulis. Tapi karena profesi ini berhubungan dengan pemaparan fakta (yang sering identik dengan kebenaran) yang terjadi di tengah masyarakat, persoalan pun lantas menjadi lebih rumit.
Sebab tidak semua pemaparan fakta disukai setiap orang. Di sinilah letak resiko itu: ketika kebenaran itu menjadi musuh bagi mereka yang merasa dirugikan dengan adanya aliran informasi yang bebas. Tak heran, bahkan seorang Arief Budiman pun tak segan menggolongkan wartawan sebagai bagian dari barisan intelegensia.
Paradigma kritis adalah sebuah pilihan dari Jurnalisme kritis yang sebenarnya telah lahir sejak munculnya jurnalisme pada abad 15-an. Rentangan sejarah panjang jurnalis merupakan sebuah tugas mulia dimana pers adalah sebuah institusi sosial yang pasti di dalamnya adalah fungsi komunikasi. Dan lebih spesifik lagi sebagai bagian pers nasional, pers menurut UU no 40 tahun 1999 mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan , hiburan dan kontrol sosial.
Kekerasan terhadap wartawan adalah perbuatan melanggar Undang Undang UU No 40 Pasal 2, dimana Kemerdekaan Pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang berasaskan prinsip-prinsip demokrasi , keadilan dan supermasi hukum. Dan Pers dijamin sebagai hak asasi warga negara. Kematian Udin sungguh misteri sampai kini. Kekerasan yang diterimanya jelas menciderai kemerdekaan setiap warga negara untuk melakukan kontrol sosial. Maka untuk melaksanakan dan menegakan hukum–rule of law diperlukan lembaga-lembaga tertentu yang mempunyai kekuasaan yang diakui. Karena itu maka kekuasaan dan hukum menjadi jaminan bagi yang berlaku atau demi tegaknya hukum.