Mohon tunggu...
Hasbi Zainuddin
Hasbi Zainuddin Mohon Tunggu... profesional -

Sedang menjalani rutinitas sebagai jurnalis. dan selalu berusaha menyajikan berita yang mencerahkan dan mencerdaskan. Setidaknya, melanjutkan tradisi para nabi dan rasul yang dijuluki "pembawa kabar gembira."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Raungan Kematian

30 Juli 2016   23:50 Diperbarui: 31 Juli 2016   15:18 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - gagak (kfk.kompas.com/Fiqman Sunandar)

“Ini bukan soal kematian saya. Toh kematian itu akan dialami semua orang. Proses kematian saya juga singkat, asyik. Saya bersyukur, bisa mati setelah bertobat. Saya juga berterima kasih sama kamu, karena melakukannya dengan hati yang bersih.” Begitu tutur Somba, kepada Herman, malam itu. Suara yang sayup-sayup, lalu perlahan terdengar jelas, sangat nyata.

“Jadi masalahnya bukan kematianku. Tuhan itu maha pengampun. Tetapi manusia tidak. Saya tersiksa. Rasanya seperti tersayat berulang kali. Irisan dan sayatan itu terus diulang sesuai seberapa sering mereka, manusia-manusia itu, mengumpat dan mengutuk perbuatanku,” curhat Somba.

Ya, Herman tahu, dari koran-koran, media sosial, dan cerita-cerita rekannya anggota intelijen. Perbuatan Mendiang Somba tak termaafkan. Dia berperan menyebar puluhan kilogram pil ekstasi, heroin, kokain, kepada ratusan bahkan ribuan orang di negeri ini.

Mereka, keluarga-keluarga korban, tentu saja sudah melempar kutukan, umpatan, dan caci maki yang banyak, kepada Somba, dan para penyebar barang narkoba itu. Mereka, para keluarga pemakai, putus asa dan kehabisan uang untuk mengobati anaknya yang sakau, hingga ikut tenggelam dalam kematian.

Herman terus menyelam dalam mimpinya. Kali ini dia berdialog dengan Sahrul. Terpidana mati yang ikut dieksekusi bersama Somba, sehari sebelumnya. “Ketahuilah, perbuatan jahat yang tidak termaafkan itu sungguh sangat menyakitkan,” tutur Sahrul. Kepada Herman, Sahrul bercerita tentang telinganya yang tidak berhenti mendengar erangan, tangisan, hingga hujatan para korbannya. Suara-suara itu seperti air sianida, yang tumpah, dan menciprat sekujur tubuhnya. Hingga seluruh kulitnya terkelupas, melepuh.

Herman terjaga dari tidurnya. Sudah pukul 04.00. Empat puluh menit lagi Subuh. Sebuah sajadah yang mengalasi badannya, dia rapikan. Ada Alquran di situ. Beberapa lembarannya kusut karena tertindih lengannya saat tertidur. Herman bersyukur bisa terlelap, setelah menghabiskan banyak waktu untuk bersujud. Dalam beberapa malam sebelumnya, matanya tidak mau terpejam.

Herman tidak tahu bagaimana Tuhan menilai pekerjaannya sebagai anggota brimob, dan eksekutor terpidana mati. Seperti halnya dia tidak tahu, apakah salat taubat dan sujud yang dia lakukan setiap usai mengeksekusi itu, diterima atau tidak oleh Tuhan.

“Kamu mimpi lagi ketemu orang mati?” tanya rekan Herman sesama eksekutor. “Aneh ya, kenapa mereka cuma curhat sama kamu. Padahal saya juga ikut menembak,” lanjut teman Herman itu. “Oh ya, kalau hantu Somba dan kawan-kawannya itu datang lagi dalam mimpimu, cobalah kau bertanya lebih banyak. Misalnya orang-orang yang terlibat, dan siapa-siapa yang jadi bandarnya,” saran rekan Herman yang lain.

Herman menghela nafas panjang. “Kamu ingatkan lagi sebentar malam,” balasnya, singkat. Salah satu pertanyaan teman Herman, juga acapkali berdecak dari dalam hatinya. Mengapa curhat arwah para pendosa itu, tervisualisasi dengan gamblang di dalam mimpinya, setiap kali usai mengeksekusi. Sudah banyak yang hinggap menjadi bunga-bunga tidur Herman. Mulai dari lima orang teroris, yang dia eksekusi enam bulan lalu, hingga pelaku pembantaian sadis yang harus ikhlas beberapa butir amunisi menerjang dan mengoyak jantungnya. Pernah juga ada arwah orang yang bukan terpidana mati, atau kenalan Herman, ikut menjadi tamu dalam mimpinya.

“Tubuhku cepat bereaksi menjadi mayat. Seperti cepatnya laju timah panasmu menembus jantungku. Deritaku saat sekarat, lebih singkat. Berbeda dengan mereka, para pengidap penyakit leukimia, kanker, atau prostat. Mereka meraung menahan perih, dan berbulan-bulan menahan derita sebelum maut itu datang. Tetapi, perbuatan baiknya telah mengangkat derita itu saat dia mati. Ketahuilah Herman, deritaku dan derita mereka tidak lebih menyakitkan… dari orang itu…” Herman terjaga. Curhat Somba kali ini belum selesai.

Herman tahu, Somba cuma distributor barang haram jadah itu. Ada yang lebih jahat dari Somba. Orang-orang yang memproduksi massal barang candu itu, atau petinggi-petinggi negara yang menyalahgunakan posisinya, membantu memuluskan jalur masuk narkoba, lalu mengeruk untung lebih besar, dan dihabiskan sendiri. Lebih banyak dari Somba. Mungkin deritanya lebih perih.

***

“Narkoba itu seperti kanker. Kamu tidak bisa menghentikannya,” ujar Taufik, setelah setahun berlalu. Taufik adalah terpidana mati selanjutnya. Jaringannya terbongkar setelah pengembangan kasus Somba. Seorang mafia, dan pengedar besar. Lebih kakap dari Somba. Ratusan kilogram narkoba sudah mengalir dari bawah kendalinya.

“Kanker bisa disembuhkan. Jika semua sel-nya diangkat,” jawab Herman, sambil mengikat tangan Taufik. Sebagai eksekutor, kali ini Herman mendapat tugas sebagai penjemput terpidana, mengikatnya di tiang eksekusi, lalu, memberi pilihan apakah mata terpidana ditutup atau tidak. “Hey bung. Jangan kira kau lebih suci dari saya. Kamu tidak serius memberantas semua sel dan jaringannya. Kamu dan teman-temanmu sama saja. Sama-sama memakan uang dari saya. Kamu terlanjur suka mengeksekusi pengedar-pengedar seperti saya. Kamu dan orang-orangmulah yang menciptakan orang seperti saya. Makanya, orang-orang seperti saya akan terus ada. Saya tidak akan mati. Haha, ahahaha… huhu…” ujar Taufik, terkekeh. Lalu kemudian wajahnya pucat, dan menangis. Herman memilih bisu. Kali ini dia memilih patuh pada kode etiknya untuk tidak berbicara dengan terpidana.

 “Maafkan saya. Saya cuma menjalankan tugas,” gumam Herman. Dia pun membayangkan, besok malam Taufik akan hadir dalam mimpinya, dan mungkin mengaku merasakan perih. Lebih perih dari Somba.

Malam itu, eksekusi untuk Taufik dan beberapa terpidana lainnya, sempat ditunda. Sejumlah penggiat HAM, dari pelbagai ormas dan LSM, mengajukan protes. Beberapa di antaranya mendesak, supaya eksekusi ditunda. Banyak informasi penting yang bisa digali dari Taufik. Kepolisian diminta mengembangkan kasus Taufik, dari pengakuan dan pledoinya saat diadili di depan hakim. Tetapi aparat tidak menggubris.

“Perintah komandan, eksekusi tetap dilaksanakan. Kita segera mulai,” perintah atasan Herman. Berselang beberapa menit, 12 eksekutor sudah berdiri, dengan M16S yang diarahkan ke tubuh Taufik, dari jarak 10 meter. Beberapa peluru kemudian melesat, menghujam tubuhnya. Darah bercucuran, deras, dan segera hilang digerus air hujan yang deras. Taufik sudah tiada.

Malam itu, Herman duduk dengan tenang di sebuah sofa. Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri.  Sebuah bayangan dari jauh, berjalan dengan tertatih. Herman bergidik. Bayangan itu makin jelas. Sesosok manusia muncul, seperti nyata. Sosok itu bukan Taufik, gumam Herman.

Sosok itu dia kenal jelas. Beberapa guratan wajahnya yang lebih tua, dan lemak di pinggulnya, membuat Herman sangat yakin. Pria itu, memakai seragam polisi yang lusuh, koyak, dengan sebuah pangkat bintang di pundaknya. “Ko.. komandan?” sahut Herman, sedikit gemetar.

“Toolong saya… ” teriak Pria Berpangkat Jenderal itu, dengan suara parau. Badannya penuh dengan bekas sayatan sembilu, dan irisan pisau berkarat. Tangannya kemudian diikat di sebuah tiang. Seorang lelaki kekar menyiraminya dengan air keras. Pria itu berteriak perih. Lalu sebuah martil merah membara mendarat di kepalanya. Dia berteriak sekencang-kencangnya. Sebuah tombak, tetiba terhunus dari bawah selangkannya, menusuk duburnya, dan tembus ke jantung. Berselang beberapa waktu, badannya kembali normal. Lalu sayatan, irisan, siraman air keras, menghantam tubuhnya berulang-ulang kali, bertubi-tubi. Dia meraung kesakitan menahan derita. Begitu terus, berulang-ulang kali.

Herman terbangun dari tidurnya. Adzan subuh berkumandang. Dia mengecek ponselnya, dan puluhan pesan broadcast masuk. Sebuah informasi kematian seorang jenderal. Meninggal akibat serangan jantung, sekitar tiga jam lalu.

Makassar, 31 Juli 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun