Mohon tunggu...
Hasbi Zainuddin
Hasbi Zainuddin Mohon Tunggu... profesional -

Sedang menjalani rutinitas sebagai jurnalis. dan selalu berusaha menyajikan berita yang mencerahkan dan mencerdaskan. Setidaknya, melanjutkan tradisi para nabi dan rasul yang dijuluki "pembawa kabar gembira."

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

[Cerpen] Raungan Kematian

30 Juli 2016   23:50 Diperbarui: 31 Juli 2016   15:18 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi - gagak (kfk.kompas.com/Fiqman Sunandar)

***

“Narkoba itu seperti kanker. Kamu tidak bisa menghentikannya,” ujar Taufik, setelah setahun berlalu. Taufik adalah terpidana mati selanjutnya. Jaringannya terbongkar setelah pengembangan kasus Somba. Seorang mafia, dan pengedar besar. Lebih kakap dari Somba. Ratusan kilogram narkoba sudah mengalir dari bawah kendalinya.

“Kanker bisa disembuhkan. Jika semua sel-nya diangkat,” jawab Herman, sambil mengikat tangan Taufik. Sebagai eksekutor, kali ini Herman mendapat tugas sebagai penjemput terpidana, mengikatnya di tiang eksekusi, lalu, memberi pilihan apakah mata terpidana ditutup atau tidak. “Hey bung. Jangan kira kau lebih suci dari saya. Kamu tidak serius memberantas semua sel dan jaringannya. Kamu dan teman-temanmu sama saja. Sama-sama memakan uang dari saya. Kamu terlanjur suka mengeksekusi pengedar-pengedar seperti saya. Kamu dan orang-orangmulah yang menciptakan orang seperti saya. Makanya, orang-orang seperti saya akan terus ada. Saya tidak akan mati. Haha, ahahaha… huhu…” ujar Taufik, terkekeh. Lalu kemudian wajahnya pucat, dan menangis. Herman memilih bisu. Kali ini dia memilih patuh pada kode etiknya untuk tidak berbicara dengan terpidana.

 “Maafkan saya. Saya cuma menjalankan tugas,” gumam Herman. Dia pun membayangkan, besok malam Taufik akan hadir dalam mimpinya, dan mungkin mengaku merasakan perih. Lebih perih dari Somba.

Malam itu, eksekusi untuk Taufik dan beberapa terpidana lainnya, sempat ditunda. Sejumlah penggiat HAM, dari pelbagai ormas dan LSM, mengajukan protes. Beberapa di antaranya mendesak, supaya eksekusi ditunda. Banyak informasi penting yang bisa digali dari Taufik. Kepolisian diminta mengembangkan kasus Taufik, dari pengakuan dan pledoinya saat diadili di depan hakim. Tetapi aparat tidak menggubris.

“Perintah komandan, eksekusi tetap dilaksanakan. Kita segera mulai,” perintah atasan Herman. Berselang beberapa menit, 12 eksekutor sudah berdiri, dengan M16S yang diarahkan ke tubuh Taufik, dari jarak 10 meter. Beberapa peluru kemudian melesat, menghujam tubuhnya. Darah bercucuran, deras, dan segera hilang digerus air hujan yang deras. Taufik sudah tiada.

Malam itu, Herman duduk dengan tenang di sebuah sofa. Bulu kuduknya tiba-tiba berdiri.  Sebuah bayangan dari jauh, berjalan dengan tertatih. Herman bergidik. Bayangan itu makin jelas. Sesosok manusia muncul, seperti nyata. Sosok itu bukan Taufik, gumam Herman.

Sosok itu dia kenal jelas. Beberapa guratan wajahnya yang lebih tua, dan lemak di pinggulnya, membuat Herman sangat yakin. Pria itu, memakai seragam polisi yang lusuh, koyak, dengan sebuah pangkat bintang di pundaknya. “Ko.. komandan?” sahut Herman, sedikit gemetar.

“Toolong saya… ” teriak Pria Berpangkat Jenderal itu, dengan suara parau. Badannya penuh dengan bekas sayatan sembilu, dan irisan pisau berkarat. Tangannya kemudian diikat di sebuah tiang. Seorang lelaki kekar menyiraminya dengan air keras. Pria itu berteriak perih. Lalu sebuah martil merah membara mendarat di kepalanya. Dia berteriak sekencang-kencangnya. Sebuah tombak, tetiba terhunus dari bawah selangkannya, menusuk duburnya, dan tembus ke jantung. Berselang beberapa waktu, badannya kembali normal. Lalu sayatan, irisan, siraman air keras, menghantam tubuhnya berulang-ulang kali, bertubi-tubi. Dia meraung kesakitan menahan derita. Begitu terus, berulang-ulang kali.

Herman terbangun dari tidurnya. Adzan subuh berkumandang. Dia mengecek ponselnya, dan puluhan pesan broadcast masuk. Sebuah informasi kematian seorang jenderal. Meninggal akibat serangan jantung, sekitar tiga jam lalu.

Makassar, 31 Juli 2016

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun