Mohon tunggu...
Hasbi Zainuddin
Hasbi Zainuddin Mohon Tunggu... profesional -

Sedang menjalani rutinitas sebagai jurnalis. dan selalu berusaha menyajikan berita yang mencerahkan dan mencerdaskan. Setidaknya, melanjutkan tradisi para nabi dan rasul yang dijuluki "pembawa kabar gembira."

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Tahun Baru, Nikita Mirzani dan Baper

31 Desember 2015   12:30 Diperbarui: 31 Desember 2015   15:01 148
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

KARENA mencurahkan isi hati dan pikiran itu katanya lebih baik daripada disimpan dan dibiarkan membebani kepala, ya sudah saya pun memilih mengalihwujudkannya dalam tulisan ini. Saya dan Anda mungkin punya kegelisahan sama, tentang negeri ini.

Dari banyak fenomena yang ada, di sepanjang tahun 2015 ini, saya mau menggarisbawahi dua saja. Yaitu Nikita Mirzani dan Baper. Di mana hubungan keduanya? Ya, mungkin karena banyak yang baper gara-gara membaca berita skandal Nikita, dan tarifnya yang selangit.

Siapa yang tidak kenal si Nikita. Artis ini sempat ditahan karena dugaan prostitusi. Tarifnya Rp65 juta sekali kencan! Hadeh. Siapa yang tidak kaget, tarif ini sama besarnya dengan biaya mempersunting gadis, di Sulawesi Selatan.

Lebih kaget lagi, kita menyaksikan skandal prostitusi artis lain yang tarifnya kurang lebih sama, dan peminatnya banyak. Wah, duit sebesar itu cuma dipakai untuk menikmati seks semalam (malah bisa lebih cepat). Menunjukkan sungguh sangat besarnya duit dan kekayaan para pria yang katanya dari kalangan pejabat itu.

Budget yang besar itu tentu bikin baper. Bagi para jomblowan muda miskin yang mencari jodoh, hatinya mungkin sakit tersayat teriris sembilu melihat berita itu. Masalahnya, untuk mendapat duit sebesar itu (untuk biaya nikah dan mempersunting wanita), mereka harus bekerja keras banting tulang yang pengorbananya luar biasa beratnya.

Sambil membaca berita skandal si Nikita, si jomblowan ini mungkin bergumam, "tuhan, betapa lebarnya kesenjangan sosial di negeri ini. Saya tidak tahan lagi tuhan (sambil mengelus dada, dan jongkok menekuri nasibnya, di sudut ruangan yang muram, dengan lampu remang, sementara di luar sana sang mantan bersama kekasih barunya menikmati kembang api tahun baru yang bertaburan di angkasa)".

Tapi kasus Nikita ini sudah cukup banyak menyita perhatian, dengan persepsi berbeda-beda dalam dunia perpolitikan dan ekonomi di negeri ini. Bagi para Jokowi haters, mereka mungkin bilang itu cuma pengalihan isu, supaya skandal kasus "Papa Minta Saham" di DPR yang meluber ke tudingan kecurangan Pilpres lalu, tidak bikin heboh, atau lain-lain.

Menariknya, pejabat yang berkomentar tentang kasus ini, selalu dicurigai. Seperti komentar salah satu salah kepala daerah, yang bilang begini: "kasus Nikita itu biasa, tidak perlu dibesar-besarkan, apalagi diusut pejabat-pejabat yang masuk daftar pelanggannya. Tidak perlu!" Masyarakat langsung berkomentar, "hayo pak, jangan-jangan bapak salah satu pelanggannya."

Nah, ada sisi positif dari skandal Si Nikita ini. Mungkin dia menjadi ancaman bagi para penikmat jasa seks komersial. Ya, tarif selangit itu sungguh merusak harga pasar jasa prostitusi kelas elit.

Sesuai teori ekonomi klasik, harga itu selalu mengikuti tingkat permintaan penawaran yang daya jualnya lebih kuat. Para penjaja seks komersial berkelas, tentu harus menyesuaikan (tepatnya menaikkan) tarifnya, paling tidak mendekati tarif si Nikita dan artis-artis lainnya yang lagi populer di pasaran. Tarif jasa prostitusi akan semakin mahal dong? Ya begitulah kurang lebih pengamatan saya. Apalagi ini tahun baru. Sesuai hukum permintaan-penawaran, permintaan yang besar juga memicu tarif melonjak (kok saya sok jadi pengamat prostitusi sih #*"%~ ).

Tapi sudahlah. Saya tertarik dengan baper, karena kata ini sedang populer sepanjang 2015. Sebagai contoh, ketika kita nulis status di facebook, dan di dalamnya mengandung unsur kata "jomblo", "mantan", "sendiri lagi", selalu mendapat perhatian besar, komentar banyak, likers berkali kali. Tapi kalau kita nulis status yang lebih serius, mengandung kata-kata "idealisme", "mahasiswa sebagai agent of change", atau apalah yang berbau ilmiah dan gerakan untuk perubahan bangsa dan negara, itu pembacanya sepi! Miris kan, para aktivis idealis itu rupanya kalah populer dari orang-orang baper di media sosial.

Intinya banyak yang tertarik dengan baper. Mungkin karena sudah terlalu lama sendiri sudah terlalu lama asyik sendiri lama tak ada yang menemani (kok kayak lagunya siapa gitu), sampai akhirnya semua temannya sudah nikah. Akhirnya galau. Ujung-ujungnya, segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya selalu dikait-kaitkan dengan perasaan, alias baper (bawa perasaan). Sampai-sampai ada dialog orang baper dengan mbak kasir di Alfamart yang begini:

+ Mau isi pulsa mbak
- Mohon menunggu ya Mas, servernya sedikit gangguan
+ Sudahlah mbak
- Maksudnya?
+ Sudahlah, saya sudah terlalu lama menunggu jawaban yang tak pasti. Semuanya cuma memberi janji lalu pergi begitu saja
- Dasar jomblo

Yups, itu salah satu contohnya. Tapi yang di atas sepertinya terlalu menghamba pada perasaannya. Dari banyak orang yang jomblo, saya lebih salut dengan orang yang bapernya itu bisa diwujudkan menjadi nasihat positif. Seperti yang diajarkan analisis SWOT, kata "jomblo" yang sering distigma sebagai hal negatif, kelemahan, diubah menjadi kekuatan; energi positif. Si jomblo jenis ini misalnya dengan percaya diri bilang begini:

"Malam tahun baru pasangan kekasih malam ini, tidak akan seindah malamnya para jomblowan, yang bertahan jomblo karena doa-doa seorang jomblowati solehah yang menginginkannya tetap jomblo. Agar kelak, si jomblowan ini halal baginya."

Keren kan!

Nah, lebih khusus di Sulawesi Selatan, jumlah orang jomblo dan baper di daerah ini juga banyak. Ya, seperti saya bilang tadi, budget untuk mempersunting gadis terkenal karena mahalnya. Saya punya asumsi, itu bisa jadi pemicu orang jomblo yang tinggi.

Ngomong-ngomong soal biaya nikah yang mahal ini, justru memunculkan kekhawatiran saya. Ada disparitas harga (nah, lagi-lagi soal ekonomi). Ada perbedaan biaya yang jauh berbeda, antara Jawa dan Sulawesi. Atau antar daerah-daerah di dalam Sulsel. Khawatirnya kita, daerah-daerah dengan biaya nikah paling tinggi, gadisnya banyak menjadi jomblo sampai tua, karena para cowok memilih menyisir ke daerah-daerah dengan biaya nikah murah.

Tapi tesis ini tidak sepenuhnya benar. Karena cowok-cowok di Sulsel juga punya siri' alias harga diri. Harga diri itu pulalah yang membuat mereka siap berapapun biayanya. Sekalipun harus dicicil. Eh!

Tapi ini benar juga. Saya punya kenalan, seorang Dirut salah satu bank. Katanya, uang panaik (duit mempersunting gadis) yang mahal itu menjadi peluang bisnis bagi bank, untuk menggenjot produk kreditnya!

Kenalan saya ini bilang, bank-bank kini banyak menyiapkan fasilitas kredit. Jadi, kalau uang panaiknya Rp65 juta, tinggal cairkan kredit sebesar itu di bank, dan dicicil kemudian hari. Lalu saya tanya, bagaimana dengan anggunannya? Atau jaminan? Apakah si cowok ini harus menjaminkan/menganggunkan istrinya itu di bank (seperti cicil rumah)? Katanya tentu tidak. Yang penting istrinya tahu, karena kredit itu jenis tanpa anggunan. Syarat kredit ini tentu saja orang-orang dengan pekerjan tetap.

Kata kenalan saya ini, peminatnya rupanya banyak. Wah, dengan kredit nikah ini, mungkin suatu hari, di suatu rumah tangga, ada seorang istri berujar ke suaminya bilang begini:

Mama: Pa, coba lihat tetangga kita itu. Suaminya sayang sekali sama istri. Keningnya selalu dikecup setiap keluar kantor. Suaminya sangat perhatian kalau ada sedikit masalah sama istrinya.

Papa: Tenang ma, tetangga kita itu istrinya masih di-kredit. Jadi terlalu sayang. Beda dengan kita. Kamu itu sudah saya bayar cash!

Mama: \"~#"*$

Ah, sudahlah, tulisan ini semakin ngawur. Akhirnya, di akhir tahun ini, saya cuma sampaikan semua yang masih galau, segala harapannya bisa terpenuhi di 2016 nanti. Ya kalau belum tercapai, sabar, masih ada 2017, 2018 dan seterusnya.

Makassar, 31 Desember 2015

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun