Intinya banyak yang tertarik dengan baper. Mungkin karena sudah terlalu lama sendiri sudah terlalu lama asyik sendiri lama tak ada yang menemani (kok kayak lagunya siapa gitu), sampai akhirnya semua temannya sudah nikah. Akhirnya galau. Ujung-ujungnya, segala sesuatu yang terjadi dalam hidupnya selalu dikait-kaitkan dengan perasaan, alias baper (bawa perasaan). Sampai-sampai ada dialog orang baper dengan mbak kasir di Alfamart yang begini:
+ Mau isi pulsa mbak
- Mohon menunggu ya Mas, servernya sedikit gangguan
+ Sudahlah mbak
- Maksudnya?
+ Sudahlah, saya sudah terlalu lama menunggu jawaban yang tak pasti. Semuanya cuma memberi janji lalu pergi begitu saja
- Dasar jomblo
Yups, itu salah satu contohnya. Tapi yang di atas sepertinya terlalu menghamba pada perasaannya. Dari banyak orang yang jomblo, saya lebih salut dengan orang yang bapernya itu bisa diwujudkan menjadi nasihat positif. Seperti yang diajarkan analisis SWOT, kata "jomblo" yang sering distigma sebagai hal negatif, kelemahan, diubah menjadi kekuatan; energi positif. Si jomblo jenis ini misalnya dengan percaya diri bilang begini:
"Malam tahun baru pasangan kekasih malam ini, tidak akan seindah malamnya para jomblowan, yang bertahan jomblo karena doa-doa seorang jomblowati solehah yang menginginkannya tetap jomblo. Agar kelak, si jomblowan ini halal baginya."
Keren kan!
Nah, lebih khusus di Sulawesi Selatan, jumlah orang jomblo dan baper di daerah ini juga banyak. Ya, seperti saya bilang tadi, budget untuk mempersunting gadis terkenal karena mahalnya. Saya punya asumsi, itu bisa jadi pemicu orang jomblo yang tinggi.
Ngomong-ngomong soal biaya nikah yang mahal ini, justru memunculkan kekhawatiran saya. Ada disparitas harga (nah, lagi-lagi soal ekonomi). Ada perbedaan biaya yang jauh berbeda, antara Jawa dan Sulawesi. Atau antar daerah-daerah di dalam Sulsel. Khawatirnya kita, daerah-daerah dengan biaya nikah paling tinggi, gadisnya banyak menjadi jomblo sampai tua, karena para cowok memilih menyisir ke daerah-daerah dengan biaya nikah murah.
Tapi tesis ini tidak sepenuhnya benar. Karena cowok-cowok di Sulsel juga punya siri' alias harga diri. Harga diri itu pulalah yang membuat mereka siap berapapun biayanya. Sekalipun harus dicicil. Eh!
Tapi ini benar juga. Saya punya kenalan, seorang Dirut salah satu bank. Katanya, uang panaik (duit mempersunting gadis) yang mahal itu menjadi peluang bisnis bagi bank, untuk menggenjot produk kreditnya!
Kenalan saya ini bilang, bank-bank kini banyak menyiapkan fasilitas kredit. Jadi, kalau uang panaiknya Rp65 juta, tinggal cairkan kredit sebesar itu di bank, dan dicicil kemudian hari. Lalu saya tanya, bagaimana dengan anggunannya? Atau jaminan? Apakah si cowok ini harus menjaminkan/menganggunkan istrinya itu di bank (seperti cicil rumah)? Katanya tentu tidak. Yang penting istrinya tahu, karena kredit itu jenis tanpa anggunan. Syarat kredit ini tentu saja orang-orang dengan pekerjan tetap.
Kata kenalan saya ini, peminatnya rupanya banyak. Wah, dengan kredit nikah ini, mungkin suatu hari, di suatu rumah tangga, ada seorang istri berujar ke suaminya bilang begini: