Mohon tunggu...
26_Amalia Eka Oktarina
26_Amalia Eka Oktarina Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Menjadi member kompasiana berawal dari tugas kuliah

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kekerasan oleh Remaja: Analisis dari Perspektif Psikologi

5 Desember 2023   11:15 Diperbarui: 5 Desember 2023   11:18 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Penangkapan Pelaku Penembakan Massal di Robb Elementary School . Sumber: tribunnews.com 

Kasus kekerasan pada remaja seringkali terjadi. Mulai dari pelecehan seksual, pemerkosaan, tawuran, sampai penembakan. Kekerasan yang dilakukan oleh para remaja dapat menjadikan korban trauma, depresi, bahkan meninggal. Beberapa kasus seperti penembakan oleh remaja ternyata sering terjadi di Amerika Serikat.

Dikutip dari CNBC Indonesia, kasus penembakan massal di sekolah Amerika Serikat salah satunya terjadi di SD Robb di Uvalde yang terletak kurang lebih 83 mil di barat San Antonio. Kejadian yang terjadi pada Selasa, 24 Mei 2022 ini menewaskan dua orang dewasa dan 19 anak-anak. Menurut beberapa sumber atau saksi, pelaku dikenal sebagai Salvador Ramos yang berusia 18 tahun. Ketika ditangkap, pelaku sudah terluka parah karena sepat melawan kemudian meninggal. Tidak ada pelaku lain dari kasus penembakan ini. 

Dari kasus tersebut, ternyata banyak remaja yang terlibat dalam kekerasan. Hal ini terjadi karena remaja belum memiliki pemikiran yang dewasa. Pemikiran remaja akan dilakukan oleh bagian otak yang bernama prefrontal cortex dimana bagian ini belum berkembang penuh dalam melakukan penilaian terhadap kekerasan. Selain itu, kekerasan pada remaja juga dapat terjadi karena remaja terlalu mendramatisir mainan senjata, menyalahgunakan obat terlarang, kegiatan gangster, aktivitas seksual dini, dll.

Menurut American Psychological Association and American Academy of Pediatrics (1966), remaja yang memiliki kecenderungan melakukan kekerasan memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

  1. Tidak mau mendengarkan nasihat Guru dan orang tua;

  2. Tidak menghargai hak orang lain;

  3. Semena-mena terhadap orang lain;

  4. Selalu menyelesaikan persoalan dengan kekerasan;

  5. Selalu menganggap kehidupan tidak adil kepada mereka;

  6. Secara visual tampak lebih tua daripada teman sebayanya;

  7. Berkelakuan buruk di sekolah;

  8. Bolos kelas/ sekolah;

  9. Tidak naik kelas atau dropout;

  10. Memakai alkohol dan narkoba;

  11. Bergabung dengan gangster;

  12. dan berbuat anarkis.

Mayoritas tersangka pembunuhan adalah anggota gangster. Hal ini ditunjukkan oleh penelitian yang dilakukan oleh American Psychological Association yang menyatakan bahwa 75% pembunuhan oleh remaja dilakukan oleh anggota gangster. Partisipasi remaja dalam gang disebabkan oleh perasaan bahwa mereka memiliki jati diri dan koneksi dalam gang tersebut. Gang menggantikan peran keluarga terutama bagi remaja yang broken home. Kekerasan yang dilakukan kepada gang lain atau orang lain merupakan bentuk kesetiaan dan solidaritas kepada gang yang mereka ikuti. 

Lalu, apakah kekerasan pada masa remaja memiliki keterkaitan dengan peristiwa di masa kecil?

Jawabannya adalah iya. Akar dari kekerasan yang dilakukan oleh remaja dipengaruhi oleh peristiwa-peristiwa di masa anak-anak. Lingkungan tempat anak-anak tumbuh akan menyebabkan mereka di masa remajanya memiliki perilaku agresif, jika mereka dibesarkan di lingkungan yang keras. Selain itu, kurangnya keterlibatan orang tua pada pengasuhan anak atau dapat dikatakan orang tua terlalu acuh untuk mendidik anak akan menyebabkan anak menyukai tindak kekerasan. Selain itu, tingkat keberanian atau impulsif dan rendahnya IQ pada remaja juga dapat menyebabkan kecenderungan seorang remaja melakukan kekerasan lebih intens.

Tindakan kekerasan pada remaja dapat terjadi jika remaja memiliki sosok yang menjadi role model. Selain itu, terdapat faktor lain yang menyebabkan kekerasan pada remaja yaitu jika mereka pernah menjadi korban kekerasan. Contohnya adalah pemerkosaan, sodomi, pelecehan seksual, atau tawuran. Menurut Strasburger & Donnerstein (1999), perilaku menormalisasikan kekerasan dapat dipengaruhi oleh tontonan. Hal ini selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Nabila & Sugandi (2020), bahwa sebanyak 65,93% remaja DKI Jakarta memiliki sikap agresif yang dipengaruhi oleh tayangan kekerasan.

Sumber Rujukan:

American Psychological Association and American Academy of Pediatrics. (1966). Raising Children to resist violence: What you can do [On-line, Brochure]. Available: http:/www.apa.org/pubinfo/apaaap.html

CNBC Indonesia. (2022). Mengintip Sejarah Kelam Kasus Penembakan di Sekolah AS. 25 May 2022 17.55. https://www.cnbcindonesia.com/news/20220525160819-4-341909/mengintip-sejarah-kelam-kasus-penembakan-di-sekolah-as  Diakses pada 4 Desember 15.43. 

Nabila, A. R., & Sugandi, M. S. (2020). Pengaruh Perilaku Menonton Tayangan Kekerasan Terhadap Agresivitas Penonton Remaja (Studi Eksplanatif Menonton Tayangan Kekerasan dalam Film "Joker" Terhadap Agresivitas Penonton Remaja di DKI Jakarta). Scriptura, 10(2), 77--84. https://doi.org/10.9744/scriptura.10.2.77-84 

Strasburger, V. C., & Donnerstein, E. (1999). Children, adolescents, and the media: Issues and solutions. Pediatrics. 103, 129-139.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun