Deflasi adalah fenomena ekonomi di mana harga barang dan jasa secara umum mengalami penurunan dalam jangka waktu tertentu. Berbeda dengan inflasi, yang merupakan kenaikan harga secara terus-menerus, deflasi menunjukkan kebalikan dari tren tersebut. Meski sekilas terdengar penurunan harga ini tampak menguntungkan bagi konsumen, deflasi sering kali menandakan masalah serius dalam perekonomian. Fenomena deflasi yang berkelanjutan ini menjadi indikator bahwa "pendapatan atau uang di masyarakat sudah semakin langka didapatkan". Secara sederhana, hal ini menunjukkan bahwa jumlah masyarakat yang memiliki uang semakin sedikit. Hal ini bukan disebabkan oleh keengganan masyarakat untuk berbelanja, melainkan karena pendapatan mereka yang telah mengalami penurunan signifikan. Kondisi ini merupakan tanda yang sangat jelas dari situasi deflasi yang terjadi saat ini. Karena hal tersebut permintaan konsumen juga ikut menurun dan pasokan barang semakin berlebihan, atau deflasi ini bisa juga diakibatkan oleh kebijakan moneter yang terlalu ketat. Akibatnya, perusahaan-perusahaan atau produsen mungkin menghadapi pendapatan yang lebih rendah, sehingga banyak produsen terpaksa mengurangi produksi, memangkas biaya, termasuk upah pekerja, melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK), atau bahkan bangkrut. Kondisi ini dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan, karena daya beli masyarakat menurun seiring dengan berkurangnya pendapatan dan pekerjaan. Lebih lanjut, deflasi sering kali memicu krisis kepercayaan di kalangan konsumen dan investor, yang akan semakin memperparah kondisi ekonomi.
Dalam lima bulan terakhir, Indonesia menghadapai deflasi yang tak kunjung henti. Tentu saja kondisi ini dapat mengganggu stabilitas ekonomi dan menciptakan ketidak pastian. Sejak Mei 2024 hingga September 2024, laju deflasi semakin dalam dan presentase nya semakin tinggi, menggambarkan adanya penurunan permintaan di masyarakat. Tercatat pada bulan Mei deflasi mencapai 0,03%, dan terus memburuk di bulan-bulan selanjutnya yaitu pada bulan Juni menyentuh 0,08% serta di bulan Juli sebesar 0,18%. Meskipun sempat membaik di bulan Agustus dengan presentase 0,03% namun deflasi kembali merosot pada September yang mencapai 0,12%. Fenomena ini bukan hanya soal penurunan harga, tetapi juga menjadi tanda bahwa masyarakat kelas pekerja atau pegawai semakin kehilangan daya beli karena tak lagi mampu berbelanja secara normal dengan keterbatasan ekonomi yang didapat dari gaji dan pendapatan.
Tercatat sebanyak 24 provinsi dari 38 provinsi di Indonesia mengalami deflasi parah. Sementara sisanya sebanyak 14 provinsi justru malah mengalami inflasi dengan kenaikan harga barangnya. Deflasi terdalam terjadi di Papua Barat dengan presentase 0,92%. Sedangkan inflasi tertinggi sebesar 0,56% terjadi di Maluku Utara.
Deflasi yang terus-terusan terjadi ini menandakan bahwa kondisi ekonomi semakin tertekan dan banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Salah satunya ialah penurunan peredaran uang di pasar yang dipicu oleh kebijakan suku bunga yang tinggi. Ketika Bank Indonesia menaikkan suku bunga, masyarakat kebanyakan lebih memilih menyimpan uangnya di bank daripada menggunakannya untuk belanja atau investasi. Hal ini secara langsung mengurangi jumlah uang yang beredar di pasar sehingga mengakibatkan penurunan daya beli. Memang pada awalnya kebijakan suku bunga ini bertujuan untuk menjaga stabilitas nilai rupiah, namun pada akhirnya memperlemah konsumsi rumah tangga dan memicu terjadinya deflasi.
Selain itu, permintaan barang dan jasa yang mengalami penurunan juga menjadi pendorong utama deflasi. Kondisi ekonomi yang semakin memburuk ini memaksa konsumen untuk menahan pengeluaran dan hanya berfokus pada kebutuhan pokok yang mendesak saja. Dengan demikian permintaan menjadi melemah, sehingga para produsen menghadapi tantangan yang cukup besar karena stok barang yang tersedia di gudang tidak laku di pasaran. Akibatnya, barang-barang yang menumpuk di gudang memicu penurunan harga. Para pelaku usaha terpaksa menurunkan harga agar barang mereka tetap laku terjual. Hal tersebut tentu saja sangat merugikan para produsen.
Fenomena ini semakin diperburuk oleh fakta bahwa sektor manufaktur, yang selama ini menjadi tulang punggung ekonomi di banyak wilayah, mengalami lonjakan angka PHK. Data dari Kementrian Ketenagakerjaan (Kemnaker) menunjukkan peningkatan angka PHK sebesar 23,72% pada Agustus 2024 dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Jumlah pekerja yang terkena PHK kurang lebih 46.240 jiwa. Mayoritas dari mereka berasal dari sektor manufaktur di Jawa Tengah, Banten, dan Jakarta. Gelombang PHK ini menciptakan dampak yang luar biasa di mana ribuan keluarga kehilangan sumber pendapatan utama dan mengakibatkan mengkerutnya daya beli masyarakat kelas pekerja.
Tak hanya itu, kondisi pasar tenaga kerja juga mengalami stagnasi, khususnya di sektor padat karya. Lapangan pekerjaan baru hampir tidak terbuka dalam lima tahun terakhir dan semakin memperburuk situasi ekonomi. Padahal sektor padat karya seperti tekstil, garmen, dan kosmetik biasanya menjadi penyerap tenaga kerja dalam jumlah yang cukup besar. Namun, beberapa tahun terakhir, kebijakan pemerintah yang lebih mengutamakan investasi di sektor padat modal, seperti pertambangan dan infrastruktur, justru mengesampingkan sektor padat karya. Sehingga kesempatan masyarakat untuk mendapatkan pekerjaan yang layak semakin mengecil. Hal ini tentu saja berpengaruh pada turunnya kelas menengah Indonesia. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah kelas menengah turun dari 9,48 juta jiwa menjadi 47,85 juta dalam lima tahun terakhir. Ini membuktikan bahwa banyak masyarakat yang sebelumnya berada dalam kategori kelas menengah jatuh kembali ke kelas bawah karena kehilangan pekerjaan dan pendapatan mereka menjadi berkurang.
Melihat kondisi ekonomi yang semakin memburuk, pemerintah mengambil berbagai langkah solusi untuk memutus siklus deflasi ini. Salah satunya yaitu memperkuat sektor padar karya dengan memberikan insentif bagi perusahaan yang membuka lapangan pekerjaan. Kebijakan ini tentu saja akan membantu mengurangi angka pengangguran dan menyerap tenaga kerja dalam jumlah yang besar. Selain itu Pemerintah dan Bank Indonesia (BI) mengambil beberapa langkah strategis untuk memutus dampak deflasi ini. Tindakan awal yang dilakukan BI yaitu menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) September 2024, sehingga BI Rate turun sebesar 6,00%.
Langkah ini diharapkan dapat merangsang dunia usaha dan masyarakat untuk memanfaatkan kredit dengan bunga lebih rendah, mendorong peningkatan investasi serta konsumsi, sehingga dapat mempercepat pertumbuhan ekonomi.
Pemerintah juga memfokuskan pada peningkatan belanja publik di sektor-sektor prioritas seperti infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Misalnya anggaran untuk kesehatan dinaikkan menjadi Rp. 186,4 triliun sehingga dapat menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.