[caption caption="Langitlahi.com"][/caption]
Aku Masih Ada, Tuhan
 "Kita akan membiarkan rindu ini menguning, Nay. Sampai renta benar-benar berada di titik pikun, lalu puisimu abadi sebagai pendampingku." Kata August-ku dari seberang sana sesaat sebelum kami menyelesaikan percakapan melalui ponsel.
***
Sedang saat itu hatiku tidak baik-baik saja. Aku dan tahun-tahun penantian, menyaksikan perlakuan Tuhan yang seolah-olah telah mementahkan doa dan harapan agar cinta kami bersatu. Lalu beberapa orang mengatai kami naif.
Lantas kalian pikir aku peduli? Aku sudah cukup lelah diabaikan, dikhianati dan dibenarkan kalau kepergian Ayah itu karena takdir. Tidak ada sangkut pautnya dengan penghianatan Zoe. Kupikir tidak sesederhana itu. Dan pastilah kalian tidak tahu bagaimana rasanya kehilangan dua orang sekaligus dalam waktu dekat. Menanggung malu akibat gagalnya sebuah pernikahan, lalu berujung pada kematian Ayah.
Dan jikapun sampai saat ini aku masih baik-baik saja. Itu karena beberapa kali aku telah gagal mencoba mengakhiri hidup. Beberapa kali membuat Ibu jatuh pingsan dan melihat dukanya yang miris sekali. Berkata-kata banyak hal tentang kekuatan, tentang nasib yang setelahnya akan berbaik hati dengan bahagia bersama yang lain.
Juga perihal menyintai, itu tidak mudah. Dan itu pula yang akhirnya mau tidak mau harus kuterima pinangan sahabatku sendiri.
"Kita malu mendengar kasak-kusuk tetangga, Nay. Kau itu seperti perempuan tak laku saja sampai harus melajang di usia yang sudah kepala tiga begini." Kata Bang Nur waktu itu.
"Terus?"
"Iya--menikahlah!"
"Sama kambing?" Selorohku.
"Ro menyintaimu. Apa itu kurang?"
"Tapi aku tidak sayang dia, Bang. Abang ngerti nggak sih!" Jawabku ketus pada Abang sepupuku itu.
"Tahu--tahu! Karena kau menyintai Lelaki yang sudah beristri itu kan? Mau jadi apa kau, Nay! Bikin malu saja!" Bang Nur berlalu. Meninggalkanku sendirian dan membiarkan aku menelan mentah-mentah ketidak setujuannya atas hubunganku dengan August.