Hamil. Lututmu mendadak gemetar, matamu nanar tapi kau tetap menahan agar air mata itu tidak jatuh di depan suamimu. 'Kau bersedih, Wei? Untuk apa? Bukankah sedari awal kau telah mengizinkan ia menikah lagi agar memiliki keturunan? Meskipun hati kecilmu tidak pernah rela. Tapi kau bosan dengan perdebatan, muak dengan hinaan Mami Ink tentang kemandulan yang sering ia tuduhkan buatmu.'
"Selamat." Kau melangkah kearahnya, menyalami dan mengecup keningnya.
Koilo memelukmu erat, menangis tergugu, dan itu membuatmu kebingungan.
"Kau menangis, Hun? Untuk apa? Seharusnya kau bahagia. Lalu kapan ia melahirkan?" Sekuat tenaga kau melepaskan pelukan suamimu, dan berhasil.
"Aku tidak tahu, Sayang. Tapi aku harus menunggunya sampai ia melahirkan sebelum menceraikannya." Jawab Koilo serak.
"Bukankan Papi minta sepasang sebelum kalian bercerai?" Kali ini kata-katamu seperti angin. Seperti hujan. Tajam tapi mengambang.
"Tidak."
"Alasannya?"
"Dia, janin itu bukan anakku, Wei. Yaa Tuhaaan." Koilo kembali memelukmu erat di tengah kebingunganmu.
Setelah peristiwa malam itu, Suamimu tidak pernah datang lagi. Tidak juga menelphone atau sekedar memberimu kabar tentang kelanjutan berita itu.
Kau telah beberapa kali datang ke rumah Mertuamu, bahkan ke rumah tinggal Koilo dan Ester. Tetapi kau tak pernah bisa menemui mereka, selain para pengurus rumah itu yang selalu memberikan jawaban sama, "Ke singapura, Nyonya." Jawab pak Daslim dan Mas Wasono, pengurus rumah mertua juga suamimu.
Tentang berapa lama dan ada urusan apa, mereka hanya menggeleng.
Lalu seperti pagi ini, kau menyempatkan diri membaca koran di sela-sela sarapan sebelum berangkat ke kantor. Terbelalak dengan menahan batuk hebat lantaran nasi goreng yang kau santap tiba-tiba berhenti di tenggorokan. Matamu meneliti sekali lagi berita di halaman koran depan itu, sekali lagi, dan kau ulang terus menerus.