Filsafat Pancasila merupakan fondasi ideologis yang telah membentuk karakter dan kepribadian bangsa Indonesia. Sebagai landasan negara, Pancasila tidak hanya berperan sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, tetapi juga menjadi titik temu dari keragaman nilai, budaya, dan agama yang hidup di Nusantara.Â
Namun, seiring perkembangan zaman, tantangan dalam mengembangkan Filsafat Pancasila menjadi semakin kompleks. Di satu sisi, Pancasila harus tetap relevan dalam menghadapi arus globalisasi dan perubahan zaman.Â
Disisi lain, ia harus menjaga akar filosofis dan historisnya agar tetap terhubung dengan keindonesiaan yang autentik. Salah satu aspek penting dalam dinamika pengembangan Filsafat Pancasila adalah cara ia didefinisikan dan dimaknai oleh berbagai lapisan masyarakat.Â
Dalam dunia akademis, Pancasila sering dikaji sebagai sistem filsafat yang mencakup lima nilai fundamental: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Demokrasi, dan Keadilan. Nilai-nilai ini dirancang sebagai kerangka besar yang dapat diterapkan dalam berbagai aspek kehidupan.Â
Namun, dalam implementasinya, sering terjadi distorsi akibat pengaruh politik, ekonomi, dan kepentingan tertentu. Akibatnya, nilai-nilai Pancasila terkadang terkesan jauh dari kehidupan sehari-hari masyarakat.Â
Pergeseran generasi menambah tantangan dalam mempertahankan relevansi Filsafat Pancasila. Generasi muda yang lahir di era digital memiliki pandangan dunia yang berbeda dibandingkan generasi sebelumnya.Â
Mereka lebih terbuka terhadap nilai-nilai global seperti kebebasan individu, kesetaraan gender, dan hak asasi manusia nilai-nilai yang sering kali dipersepsikan tidak sejalan dengan tafsir tradisional Pancasila. Situasi ini memunculkan pertanyaan mendasar: bagaimana Pancasila dapat tetap relevan tanpa kehilangan jati dirinya sebagai ideologi kebangsaan?.
Selain itu, globalisasi dan digitalisasi menghadirkan tantangan tersendiri. Globalisasi membawa berbagai ideologi baru, seperti individualisme dan materialisme, yang secara perlahan merasuki pola pikir masyarakat Indonesia, terutama di kawasan perkotaan. Digitalisasi menciptakan ruang diskusi yang luas, namun berisiko melahirkan penyalahpahaman tentang nilai-nilai Pancasila.Â
Media sosial, yang seharusnya menjadi platform edukasi, sering kali berubah menjadi medan perdebatan tanpa arah. Akibatnya, Pancasila kerap direduksi menjadi sekadar slogan politik yang kehilangan makna mendalamnya.Â
Salah satu persoalan krusial dalam pengembangan Filsafat Pancasila adalah pendekatannya dalam sistem pendidikan. Kurikulum pendidikan Pancasila sering terlalu teoritis dan kurang kontekstual.Â
Anak-anak dan remaja diperkenalkan kepada Pancasila sebagai konsep yang abstrak, tanpa diberikan contoh nyata bagaimana nilai-nilainya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Akibatnya, banyak generasi muda yang merasa nilai-nilai Pancasila tidak relevan dengan kehidupan mereka.
Di tengah keberagaman masyarakat Indonesia, Pancasila seharusnya menjadi alat pemersatu. Namun, dalam beberapa kasus, pemahaman sempit terhadap nilai-nilai Pancasila justru melahirkan diskriminasi. Contohnya, penafsiran eksklusif terhadap sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, kerap menjadi alasan untuk membatasi hak-hak kelompok agama minoritas.Â
Hal ini berlawanan dengan semangat asli Pancasila sebagai payung yang menaungi semua perbedaan dalam masyarakat Indonesia. Untuk mengatasi tantangan ini, revitalisasi Pancasila menjadi kebutuhan mendesak. Revitalisasi ini harus dimulai dari pembaruan kurikulum pendidikan yang lebih aplikatif dan relevan.Â
Pembelajaran Pancasila dapat disajikan melalui studi kasus nyata yang sesuai dengan pengalaman generasi muda saat ini. Dengan demikian, nilai-nilai Pancasila tidak hanya menjadi hafalan, tetapi juga panduan dalam menghadapi tantangan hidup. Selain itu, ruang digital dapat dimanfaatkan untuk mempromosikan Filsafat Pancasila secara kreatif dan inovatif.Â
Media sosial, misalnya, dapat menjadi platform untuk menyebarluaskan konten edukasi Pancasila dalam format menarik seperti video pendek, infografis, dan podcast. Pendekatan ini tidak hanya meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap Pancasila tetapi juga membuatnya lebih mudah diterima oleh generasi muda.
Dalam ranah politik, pemimpin bangsa harus menjadi teladan nyata dalam menerapkan nilai-nilai Pancasila. Pengambilan kebijakan yang berlandaskan keadilan, persatuan, dan demokrasi inklusif akan memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap Pancasila sebagai ideologi yang relevan dan dapat diandalkan. Kontekstualisasi Pancasila juga diperlukan agar ia tetap fleksibel dalam menghadapi perubahan zaman.Â
Kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan masyarakat menjadi kunci untuk memastikan Pancasila dapat berkembang secara dinamis. Dialog yang terbuka dan inklusif tentang Pancasila perlu digalakkan, sehingga ideologi ini dapat terus relevan dengan kebutuhan bangsa.Â
Pada akhirnya, pengembangan Filsafat Pancasila adalah bagian dari upaya merajut keindonesiaan yang berkeadilan, inklusif, dan berkelanjutan. Kompleksitas tantangan yang dihadapi Pancasila mencerminkan dinamika bangsa Indonesia yang beragam. Dengan komitmen bersama untuk menjaga dan mengembangkan Pancasila, Indonesia dapat tetap berdiri kokoh sebagai bangsa yang berdaulat, bersatu, dan berkeadilan sosial.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI