Mohon tunggu...
24044010019 Ibrahim Rafsanjani
24044010019 Ibrahim Rafsanjani Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Hubungan Internasional UPNVJT

Saya menyukai futsal

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Menganalisa Kepemimpinan Bashar Al-Assad Hingga Runtuh

23 Desember 2024   06:00 Diperbarui: 22 Desember 2024   17:13 19
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Latar Belakang

Bashar al-Assad lahir pada 11 September 1965 di Damaskus, Suriah. Bashar adalah anak ketiga dari Hafez al-Assad, seorang perwira militer Suriah yang menjadi presiden melalui kudeta pada tahun 1971. Pada tahun 2024, setelah 13 tahun perang saudara, Bashar al-Assad digulingkan oleh serangan pemberontak yang berhasil menguasai Damaskus. Bashar kemudian melarikan diri ke Rusia. Bashar awalnya tidak dipersiapkan untuk menjadi presiden, Bashar belajar kedokteran dan menjadi dokter mata di London sebelum kembali ke Suriah setelah kematian kakaknya, Basil, pada tahun 1994. Setelah kematian ayahnya pada tahun 2000, Bashar diangkat menjadi presiden Suriah. Pada awal masa jabatannya, Bashar diharapkan membawa reformasi demokratis dan kebangkitan ekonomi dengan menerapkan Pernyataan 99 dan 1000 yaitu 99 intelektual Suriah menandatangani petisi yang menyerukan reformasi politik. Kemudian, 1000 intelektual lainnya menandatangani petisi yang lebih rinci. Akan tetapi Bashar melanjutkan metode otoriter ayahnya. Bashar al-Asad telah mengubah retorika pemerintah Suriah terkait "terorisme" dari pandangan yang menganggapnya sebagai konsep Barat atau Israel menjadi alat untuk melegitimasi kebijakan kontra-pemberontakan selama konflik saat ini. Perubahan ini terlihat jelas dalam cara rezim menangani berbagai pemberontakan di Suriah, terutama setelah peristiwa 9/11 (Lee,2024). Asad berusaha untuk memodernisasi otoritarianisme dengan mengintegrasikan Suriah ke dalam pasar kapitalis global sambil mempertahankan legitimasi nasionalis. Namun, perubahan ini, termasuk pergeseran basis sosial rezim ke kelas kapitalis kroni baru, menimbulkan kerentanan yang akhirnya memicu protes Arab Spring pada tahun 2011 dengan kekerasan menyebabkan perang saudara yang berkepanjangan di Suriah. Pada Maret 2011, protes damai menuntut reformasi politik dan kebebasan sipil. Pemerintah merespons dengan tindakan keras, yang memicu pemberontakan bersenjata. Kelompok-kelompok seperti Free Syrian Army (FSA) mulai terbentuk untuk melawan pasukan pemerintah. Seiring berjalannya waktu, perang saudara melibatkan banyak faksi, termasuk Free Syrian Army (FSA), kelompok Islamis seperti Hayat Tahrir al-Sham (HTS), dan kelompok Kurdi seperti Pasukan Demokratik Suriah (SDF). Konflik ini juga menarik perhatian internasional, dengan negara-negara seperti Rusia dan Iran memberikan dukungan kepada rezim Assad, sementara negara-negara Barat dan Turki mendukung kelompok oposisi. Perang saudara di Suriah telah mengakibatkan lebih dari 500.000 kematian dan jutaan orang terpaksa mengungsi baik secara internal maupun ke negara-negara tetangga. Kota-kota besar seperti Aleppo dan Homs mengalami kerusakan parah akibat pertempuran yang berkepanjangan. Selain itu, konflik ini juga menciptakan krisis kemanusiaan yang mendalam, dengan jutaan orang membutuhkan bantuan kemanusiaan. Setelah lebih dari satu dekade konflik, pada 8 Desember 2024, rezim Assad yang telah berkuasa selama lebih dari 24 tahun akhirnya tumbang setelah serangan besar-besaran oleh Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan faksi-faksi pemberontak lainnya yang berhasil merebut Damaskus. Kejatuhan ini menandai akhir dari kekuasaan keluarga Assad yang telah berlangsung selama lebih dari lima dekade. Bashar al-Assad melarikan diri ke Rusia setelah ibu kota Suriah, Damaskus jatuh ke tangan pemberontak.

Kerangka Konseptual

Pada penulisan ini, digunakan empat teori konseptual dalam upaya menemukan jawaban dari permasalahan yang telah diuraikan sebelumnya, yakni:

1.Teori Realisme adalah salah satu teori utama dalam hubungan internasional yang fokus pada kekuatan dan kepentingan negara sebagai elemen utama dalam interaksi antar negara. Prinsip dasar dari teori Realisme yaitu menekankan pentingnya kekuatan militer sebagai alat utama untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan.

2.Teori Realisme Klasik menyatakan bahwa memang sudah sifat manusia untuk memaksa negara dan individu mengutamakan kepentingan di atas ideologi. Realisme klasik adalah ideologi yang memandang bahwa "pencarian kekuasaan dan niat untuk mendominasi adalah aspek mendasar sifat manusia" (Baylis, Smith, & Owens, 2020).

3.Teori Civil Society sering didefinisikan sebagai kumpulan organisasi yang bersifat non-pemerintah, termasuk lembaga swadaya masyarakat (LSM), kelompok komunitas, organisasi keagamaan, serikat pekerja, dan gerakan sosial. Organisasi-organisasi ini beroperasi di luar kontrol langsung pemerintah dan berfungsi untuk memperjuangkan kepentingan publik, meningkatkan partisipasi politik, serta mendorong transparansi dan akuntabilitas dalam pemerintahan (Asrida, Marta, & Hadi, 2021, p. 26).

4.Teori Non-State Actors dalam hubungan internasional menjelaskan peran aktor-aktor yang bukan negara dalam dinamika politik global. Non-state actors (NSA) mencakup berbagai entitas seperti organisasi internasional, perusahaan multinasional, organisasi non-pemerintah (NGO), kelompok teroris, dan bahkan individu berpengaruh.

Pembahasan

Awal Kepemimpinan Bashar Al-Assad

Semenjak Bashar Al-Assad diangkat menjadi presiden Suriah pada tahun 2000 menggantikan ayahnya, Hafez al-Assad, Bashar dianggap sebagai potensial reformer yang mungkin akan membawa perubahan positif di Suriah. Namun, pemerintahannya dengan cepat berubah menjadi rezim otoriter yang keras. Lantaran terjadi periode yang dikenal sebagai Damascus Spring yang di mana terdapat upaya untuk meningkatkan transparansi dan demokrasi. Akan tetapi ini berakhir dengan penindasan keras oleh pemerintah. Dikaitakan dengan materi Hubungan Internasional di perkulihan, peristiwa tersebut dapat dikaitkan dengan teori realisme yang dimana pada prinsip dasar teori realisme mengacu pada kekuatan militer sebagai alat utama untuk mencapai dan mempertahankan kekuasaan seperti yang dilakukan oleh rezim Bashar Al-Assad yaitu melakukan penindasan.

Konflik Tanpa Henti

Konflik dimulai pada Maret 2011 sebagai bagian dari gelombang protes yang lebih luas selama Arab Spring, ketika rakyat Suriah menuntut reformasi politik dan pengakhiran rezim otoriter Bashar al-Assad. Tindakan represif pemerintah, termasuk penangkapan dan pembunuhan demonstran, memicu kekerasan yang lebih besar dan perlawanan bersenjata dari kelompok oposisi. Pada awal tahun 2012, kekerasan meningkat secara signifikan. Pemerintah Suriah melancarkan operasi militer besar-besaran di kota-kota seperti Homs dan Hama, yang menjadi pusat perlawanan. Serangan ini sering kali melibatkan penggunaan senjata berat dan menyebabkan banyak korban jiwa di kalangan warga sipil. Pada bulan April 2012, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi untuk mengirim tim pemantau ke Suriah, tetapi gencatan senjata yang dijanjikan tidak pernah terwujud. Pada Agustus 2013, serangan senjata kimia terjadi di pinggiran kota Ghouta, menewaskan ratusan orang. Insiden ini menarik perhatian internasional dan meningkatkan tekanan terhadap rezim Assad. Amerika Serikat mengancam akan melakukan intervensi militer jika pemerintah Suriah terbukti menggunakan senjata kimia lagi. Meskipun ada tuduhan terhadap pemerintah Suriah, penyelidikan tidak dapat memastikan pelaku yang bertanggung jawab secara tegas. Pada 29 Juni 2014, Islamic State of Iraq and Syria atau yang dikenal sebagai ISIS mendeklarasikan diri sebagai negara Islam dan menetapkan Raqqa sebagai ibu kota kekhalifahan mereka di Suriah. Pada saat itu, mereka telah menguasai berbagai wilayah di Irak dan Suriah, termasuk Mosul dan Tikrit. Ekspansi ini dimulai dengan mengambil alih kota Fallujah pada awal tahun 2014, yang kemudian diikuti oleh serangan ke Mosul pada bulan Juni yang sama. Dalam waktu singkat, ISIS berhasil menguasai lebih dari 70.000 km wilayah di kedua negara. Peristiwa ini mendapatkan respon internasional salah satunya adalah pembentukan koalisi anti-ISIS Pada September 2014, Amerika Serikat membentuk koalisi internasional untuk melawan ISIS, yang terdiri dari lebih dari 60 negara. Koalisi ini bertujuan untuk melakukan serangan udara terhadap posisi ISIS, memberikan dukungan kepada pasukan lokal, dan membantu dalam upaya kemanusiaan. Memasuki tahun 2016, ISIS mulai kehilangan kontrol atas beberapa wilayah penting. Pasukan Irak berhasil merebut kembali Fallujah pada bulan Juni, sedangkan SDF merebut Manbij pada bulan Agustus. Meskipun mengalami kerugian besar, ISIS tetap aktif melakukan serangan di berbagai tempat pada tahun 2017, terjadi pertempuran sengit merebut kembali Mosul berlangsung hingga bulan Juli, menandai salah satu kekalahan terbesar bagi kelompok tersebut. Dikaji melalui teori hubungan internasional, terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan fenomena-fenomena tersebut yaitu teori civil society yang dimana terdapat gerakan sosial yang dilakukan oleh rakyat Suriah untuk menuntut reformasi politik. Selanjutnya terdapat teori state actors yaitu Amerika Serikat, Irak, dan Suriah dan non-state actors yang meliputi PBB, ISIS, dan SDF.

Runtuhnya Rezim Bashar Al-Assad

Runtuhnya rezim Bashar al-Assad di Suriah adalah momen penting dalam sejarah. Pada 8 Desember 2024, Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan faksi-faksi pemberontak lainnya yang berhasil merebut Damaskus, mengakhiri pemerintahan Assad yang telah berlangsung selama lebih dari 24 tahun. Pada akhirnya, Bashar al-Assad melarikan diri ke Rusia dan diberikan suaka politik. Meskipun rezim ini didukung oleh Iran dan Rusia, dukungan tersebut akhirnya melemah, yang menyebabkan kalahnya Assad. Runtuhnya Rezim Bashar Al-Assad terdapat teori state actors dan non-state actors. State actors yang meliputi negara Iran dan Rusia, non-state actors yang meliputi Bashar Al-Assad dan pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS).

Kesimpulan

Meskipun Bashar al-Assad tampaknya berhasil bertahan dalam menghadapi tekanan domestik dan internasional, berbagai faktor seperti krisis ekonomi, hilangnya legitimasi politik, keterlibatan asing, pemberontakan dalam negeri, dan kehancuran sosial dapat berujung pada keruntuhan kekuasaannya. Keberhasilan Assad dalam mempertahankan posisi selama ini tidak menutupi kenyataan bahwa masa depan kekuasaannya semakin tidak pasti. Suriah yang terfragmentasi dan penuh dengan ketidakpastian politik dan sosial menghadirkan tantangan besar bagi setiap pemimpin, termasuk Assad. Runtuhnya rezim Assad bukanlah hal yang dapat diprediksi dengan pasti, tetapi semakin jelas bahwa masa depan Suriah sangat tergantung pada bagaimana konflik ini berakhir dan bagaimana negara ini dapat dibangun kembali.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun