Konflik Tanpa Henti
Konflik dimulai pada Maret 2011 sebagai bagian dari gelombang protes yang lebih luas selama Arab Spring, ketika rakyat Suriah menuntut reformasi politik dan pengakhiran rezim otoriter Bashar al-Assad. Tindakan represif pemerintah, termasuk penangkapan dan pembunuhan demonstran, memicu kekerasan yang lebih besar dan perlawanan bersenjata dari kelompok oposisi. Pada awal tahun 2012, kekerasan meningkat secara signifikan. Pemerintah Suriah melancarkan operasi militer besar-besaran di kota-kota seperti Homs dan Hama, yang menjadi pusat perlawanan. Serangan ini sering kali melibatkan penggunaan senjata berat dan menyebabkan banyak korban jiwa di kalangan warga sipil. Pada bulan April 2012, Dewan Keamanan PBB mengeluarkan resolusi untuk mengirim tim pemantau ke Suriah, tetapi gencatan senjata yang dijanjikan tidak pernah terwujud. Pada Agustus 2013, serangan senjata kimia terjadi di pinggiran kota Ghouta, menewaskan ratusan orang. Insiden ini menarik perhatian internasional dan meningkatkan tekanan terhadap rezim Assad. Amerika Serikat mengancam akan melakukan intervensi militer jika pemerintah Suriah terbukti menggunakan senjata kimia lagi. Meskipun ada tuduhan terhadap pemerintah Suriah, penyelidikan tidak dapat memastikan pelaku yang bertanggung jawab secara tegas. Pada 29 Juni 2014, Islamic State of Iraq and Syria atau yang dikenal sebagai ISIS mendeklarasikan diri sebagai negara Islam dan menetapkan Raqqa sebagai ibu kota kekhalifahan mereka di Suriah. Pada saat itu, mereka telah menguasai berbagai wilayah di Irak dan Suriah, termasuk Mosul dan Tikrit. Ekspansi ini dimulai dengan mengambil alih kota Fallujah pada awal tahun 2014, yang kemudian diikuti oleh serangan ke Mosul pada bulan Juni yang sama. Dalam waktu singkat, ISIS berhasil menguasai lebih dari 70.000 km wilayah di kedua negara. Peristiwa ini mendapatkan respon internasional salah satunya adalah pembentukan koalisi anti-ISIS Pada September 2014, Amerika Serikat membentuk koalisi internasional untuk melawan ISIS, yang terdiri dari lebih dari 60 negara. Koalisi ini bertujuan untuk melakukan serangan udara terhadap posisi ISIS, memberikan dukungan kepada pasukan lokal, dan membantu dalam upaya kemanusiaan. Memasuki tahun 2016, ISIS mulai kehilangan kontrol atas beberapa wilayah penting. Pasukan Irak berhasil merebut kembali Fallujah pada bulan Juni, sedangkan SDF merebut Manbij pada bulan Agustus. Meskipun mengalami kerugian besar, ISIS tetap aktif melakukan serangan di berbagai tempat pada tahun 2017, terjadi pertempuran sengit merebut kembali Mosul berlangsung hingga bulan Juli, menandai salah satu kekalahan terbesar bagi kelompok tersebut. Dikaji melalui teori hubungan internasional, terdapat beberapa teori yang berkaitan dengan fenomena-fenomena tersebut yaitu teori civil society yang dimana terdapat gerakan sosial yang dilakukan oleh rakyat Suriah untuk menuntut reformasi politik. Selanjutnya terdapat teori state actors yaitu Amerika Serikat, Irak, dan Suriah dan non-state actors yang meliputi PBB, ISIS, dan SDF.
Runtuhnya Rezim Bashar Al-Assad
Runtuhnya rezim Bashar al-Assad di Suriah adalah momen penting dalam sejarah. Pada 8 Desember 2024, Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dan faksi-faksi pemberontak lainnya yang berhasil merebut Damaskus, mengakhiri pemerintahan Assad yang telah berlangsung selama lebih dari 24 tahun. Pada akhirnya, Bashar al-Assad melarikan diri ke Rusia dan diberikan suaka politik. Meskipun rezim ini didukung oleh Iran dan Rusia, dukungan tersebut akhirnya melemah, yang menyebabkan kalahnya Assad. Runtuhnya Rezim Bashar Al-Assad terdapat teori state actors dan non-state actors. State actors yang meliputi negara Iran dan Rusia, non-state actors yang meliputi Bashar Al-Assad dan pemberontak Hayat Tahrir al-Sham (HTS).
Kesimpulan
Meskipun Bashar al-Assad tampaknya berhasil bertahan dalam menghadapi tekanan domestik dan internasional, berbagai faktor seperti krisis ekonomi, hilangnya legitimasi politik, keterlibatan asing, pemberontakan dalam negeri, dan kehancuran sosial dapat berujung pada keruntuhan kekuasaannya. Keberhasilan Assad dalam mempertahankan posisi selama ini tidak menutupi kenyataan bahwa masa depan kekuasaannya semakin tidak pasti. Suriah yang terfragmentasi dan penuh dengan ketidakpastian politik dan sosial menghadirkan tantangan besar bagi setiap pemimpin, termasuk Assad. Runtuhnya rezim Assad bukanlah hal yang dapat diprediksi dengan pasti, tetapi semakin jelas bahwa masa depan Suriah sangat tergantung pada bagaimana konflik ini berakhir dan bagaimana negara ini dapat dibangun kembali.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H