Cinta dapat mengajarkan berbagai kualitas unggul kemanusiaan, seperti kesabaran dan pengorbanan, oleh karena itu cinta dapat memanusiakan manusia (menjadikan manusia lebih baik lagi). Dan, cinta juga memberi sense of purpose dalam hidup, sehingga membuat hidup menjadi lebih bermakna. Inilah cinta yang dimaksud oleh Kierkegaard sebagai amanat kehidupan. Sifat Tuhan yang ada dalam diri manusia yang membuat hidup manusia tidak kering tanpa makna.
Dua hal ini, cinta dan patah hati, sangatlah dekat. Ya, tentu cinta dekat dengan kebahagiaan, namun di sisi lain cinta juga dekat dengan kekecewaan (patah hati).
Masalahnya ada pada sikap manusia yang sering membayangi cinta dengan berbagai keinginan, bahkan menurut Schopenhauer, cinta itu sendiri adalah kemasan keinginan. Sebagaimana Schopenhauer menjelaskan bahwa, dalam banyak kasus yang disebut jatuh cinta sering kali bukan masalah hubungan timbal balik antara dua manusia, namun masalah pokoknya adalah "keinginan" untuk memiliki apa yang tidak dimiliki.
Manusia memilih hidup bersama karena kebutuhan akan keinginan. Misalnya, dalam cinta romantik, laki-laki memilih hidup bersama perempuan karena keinginan untuk memenuhi hasrat seksual, sebaliknya perempuan memilih hidup bersama laki-laki karena kebutuhan akan pendamping hidup.
Selanjutnya, keinginan itu mendukung dorongan biologis manusia untuk meneruskan spesies. Sesuatu yang dalam istilah Schopenhauer disebut sebagai "the will to life". Menurutnya, cinta hanyalah ilusi yang diciptakan oleh manusia sebagai jalan memenuhi kebutuhan "the will to life".
Oleh karena cinta yang seperti ini lekat dengan keinginan, sedangkan di balik keinginan ada keberhasilan atau kegagalan, maka cinta dapat berhulu pada kebahagiaan apabila berhasil, dan berakhir dengan kekecewaan apabila gagal.
Dalam kasus cinta romantik untuk memenuhi kebutuhan "the will to life", seperti yang dijelaskan sebelumnya, ketika satu pasangan mendapatkan buah hati (anak), mereka akan merasa gembira. Sebaliknya, ketika sudah menikah bertahun-tahun dan tak kunjung mendapatkan buah hati, mereka akan merasa sedih.
Bahkan, sebab fokusnya hanya pada keinginan, sehingga rasa kecewa (patah hati) kepada pasangan muncul, kemudian memilih berpisah, dan mencari pasangan lain yang dirasa mampu memenuhi keinginannya. Pada level ini, manusia sejatinya bukan sedang mencintai pasangannya, melainkan sedang mengharapkan hasratnya dapat terpenuhi.
Cinta yang dibayangi keinginan belumlah mencapai level true love, dan rentan akan patah hati; konflik, kemuakan, dan kegagalan. Untuk itu manusia sepatutnya tidak membelenggu cintanya dengan berbagai keinginan atau khayalan yang ingin dimiliki. Daripada fokus pada keinginan yang khayal lebih baik untuk fokus pada ke-estetis-an cinta, seperti melihat keindahan pasangan yang nyata. "Ah, tapi, ingatlah, bahwa wajah pasti akan menua." Karena itu lebih baik fokus pada ke-etis-an cinta dengan melihat kebaikan sikap pasangan. "Namun, bagaimana jika sewaktu-waktu sikapnya berubah?"
Bahkan ke-estetis-an dan ke-etis-an dalam cinta juga masih rentan akan patah hati. Jalan selanjutnya untuk menata cinta yang sebenarnya cinta adalah melalui ke-asketis-an cinta. Membebaskan cinta dari segala keinginan dan khayalan ideal yang membayanginya, sehingga kita dapat masuk dalam kedamaian cinta. Jalan ini menuntut manusia untuk mampu menundukkan ego diri di hadapan cinta.