Mohon tunggu...
Azis Tri Budianto
Azis Tri Budianto Mohon Tunggu... Dosen - Mahasiswa | Penulis | Filsuf
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Dalam hidup kita hanya sebagai pemain, jadilah pemain yang menjalankan perannya dengan baik. _sing biasa bae

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Berdamai dengan Patah Hati dari Para Filsuf

28 Februari 2023   12:13 Diperbarui: 28 Februari 2023   12:20 2434
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bagaimana para filosof eksistensialis memaknai patah hati dan cinta?

Pembahasan patah hati memang erat hubungannya dengan cinta. Sebab, cinta merupakan sesuatu yang dapat membuat bahagia, dan sebaliknya juga dapat membuat kecewa akibat hati yang patah.

Arthur Schopenhauer berkata, "It is difficult to find happiness within oneself, but it is impossible to find it anywhere else" (Sulit menemukan kebahagiaan dalam diri sendiri, tapi tidak mungkin menemukannya di tempat lain). Artinya, bahagia itu sesungguhnya ada dalam diri kita. Tidak ada yang bisa menyakiti hati kita kalau kita tidak mengizinkannya.

Apakah cinta menjadikan hati kita patah dan sengsara atau membuat kita bahagia? Itu semua bergantung dari diri kita sendiri. Bergantung dari bagaimana kita memahami dan menyemai cintai dalam diri.

Memaknai Cinta

Dalam pandangan Soren Kierkegaard, manusia terlahir di dunia ini untuk memberi dan menerima cinta. Tanpa pengalaman cinta, hidup menjadi hampa. Namun, sebagaimana pandangan Jean Paul Sartre, cinta juga dapat membuat hidup penuh konflik, memuakkan, dan berakhir dengan kegagalan yang membuat patah hati.

Keadaan cinta sebagaimana dalam pandangan Sartre, itu terjadi karena manusia membangun cintanya di atas pondasi ego untuk saling mengobjektifikasi satu sama lain. Oleh karena setiap manusia adalah subjek, bukan objek, maka hasil dari upaya saling menaklukkan itu adalah konflik. Lambat laun menjadi nause (memuakkan). Dan, berakhir dengan kegagalan (perpisahan). Akibatnya, ya hati yang patah, rasa kecewa, dan menjadi sengsara.

Dalam bahasa Kierkegaard, cinta yang seperti itu disebut sebagai cinta romantik, yang merupakan perwujudan cinta egois dengan beragam syarat berdasarkan "produksi khayalan-khayalan" utilitarian (pemanfaatan).

Dalam cinta romantik, perempuan sebatas objek untuk hasrat seksual bagi laki-laki, sedangkan laki-laki sekadar pelengkap fungsi kehidupan sebagai pendamping dan pelanjut keturunan bagi perempuan. Cinta yang seperti ini tidak lebih dari false love semata. Bahkan daripada disebut cinta lebih tepat dikatakan sebagai proses "saling memanfaatkan".

True love tidak sekadar cinta yang dibangun di atas pondasi ego untuk saling mengobjektifikasi atau saling memanfaatkan. Bukan cinta yang didasarkan pada "daging" atau hasrat seksual semata. Melainkan, cinta yang didasarkan pada ketulusan untuk saling mencintai. Cinta yang bahkan, sebagaimana Kierkegaard, manusia rela menjalani penderitaan demi cinta itu sendiri. Bukan konflik, kemuakan, atau kegagalan yang menjadi hulu true love, melainkan, sebagaimana Kierkegaard, cinta yang benar akan membuat hidup lebih hidup.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun