Bagaimana para filosof eksistensialis memaknai patah hati dan cinta?
Pembahasan patah hati memang erat hubungannya dengan cinta. Sebab, cinta merupakan sesuatu yang dapat membuat bahagia, dan sebaliknya juga dapat membuat kecewa akibat hati yang patah.
Arthur Schopenhauer berkata, "It is difficult to find happiness within oneself, but it is impossible to find it anywhere else" (Sulit menemukan kebahagiaan dalam diri sendiri, tapi tidak mungkin menemukannya di tempat lain). Artinya, bahagia itu sesungguhnya ada dalam diri kita. Tidak ada yang bisa menyakiti hati kita kalau kita tidak mengizinkannya.
Apakah cinta menjadikan hati kita patah dan sengsara atau membuat kita bahagia? Itu semua bergantung dari diri kita sendiri. Bergantung dari bagaimana kita memahami dan menyemai cintai dalam diri.
Memaknai Cinta
Dalam pandangan Soren Kierkegaard, manusia terlahir di dunia ini untuk memberi dan menerima cinta. Tanpa pengalaman cinta, hidup menjadi hampa. Namun, sebagaimana pandangan Jean Paul Sartre, cinta juga dapat membuat hidup penuh konflik, memuakkan, dan berakhir dengan kegagalan yang membuat patah hati.
Keadaan cinta sebagaimana dalam pandangan Sartre, itu terjadi karena manusia membangun cintanya di atas pondasi ego untuk saling mengobjektifikasi satu sama lain. Oleh karena setiap manusia adalah subjek, bukan objek, maka hasil dari upaya saling menaklukkan itu adalah konflik. Lambat laun menjadi nause (memuakkan). Dan, berakhir dengan kegagalan (perpisahan). Akibatnya, ya hati yang patah, rasa kecewa, dan menjadi sengsara.
Dalam bahasa Kierkegaard, cinta yang seperti itu disebut sebagai cinta romantik, yang merupakan perwujudan cinta egois dengan beragam syarat berdasarkan "produksi khayalan-khayalan" utilitarian (pemanfaatan).
Dalam cinta romantik, perempuan sebatas objek untuk hasrat seksual bagi laki-laki, sedangkan laki-laki sekadar pelengkap fungsi kehidupan sebagai pendamping dan pelanjut keturunan bagi perempuan. Cinta yang seperti ini tidak lebih dari false love semata. Bahkan daripada disebut cinta lebih tepat dikatakan sebagai proses "saling memanfaatkan".
True love tidak sekadar cinta yang dibangun di atas pondasi ego untuk saling mengobjektifikasi atau saling memanfaatkan. Bukan cinta yang didasarkan pada "daging" atau hasrat seksual semata. Melainkan, cinta yang didasarkan pada ketulusan untuk saling mencintai. Cinta yang bahkan, sebagaimana Kierkegaard, manusia rela menjalani penderitaan demi cinta itu sendiri. Bukan konflik, kemuakan, atau kegagalan yang menjadi hulu true love, melainkan, sebagaimana Kierkegaard, cinta yang benar akan membuat hidup lebih hidup.