Sesuatu hari, Timur Lenk mendatangi desa Nasruddin Hoja. Raja Mongol ini mau berjumpa dengan orang yang diketahui sangat bijak serta berpengetahuan besar. Hingga dihadirkanlah Nasruddin Hoja yang diketahui selaku sufi jenaka, orang bijak namun kerap dikira berbuat bodoh. Candaan satirenya memiliki hikmah.
Di hadapan Nasruddin, Timur Lenk mengatakan," Seluruh orang di desa ini berkata kau merupakan orang populer serta memiliki pengetahuan besar". Perkataan tersebut ditanggapi Nasruddin dengan nada meledek," Memanglah demikianlah hamba".
Sontak Timur Lenk murka mendengar jawaban Nasruddin yang terkesan angkuh. Timur Lenk kemudian mengajukan suatu persoalan yang baginya sangat susah. Persoalan itu," Bila memanglah kau orang hebat serta berilmu besar, tunjukkan kepadaku, semacam apa wajah setan!".
Dengan tenang, Nasruddin mengambil suatu kaca serta membagikan kepada Timur Lenk. Katanya," Pasti saja aku hendak menampilkan kepada Kamu. Bila Kamu mau memandang setan, simaklah siapa yang terdapat di dalam kaca ini". Timur Lenk mengambil kaca, serta memandang wajah amarahnya.
Di balik cerita itu Nasruddin Hoja hendak menyindir kalau setan sesungguhnya terdapat di dalam diri orang yang gampang marah. Setan dalam arti kiasan merupakan keangkuhan serta watak keakuan. Manusia kerap tidak sadar kalau setan sesungguhnya berwujud ego kelewatan. Mereka hidup dengan menjadikan diri selaku pusat lintasan bumi, merasa diri sangat berarti, serta mau dirinya dijunjung besar.
Marah didorong perilaku mau menghakimi orang lain dengan sombong. Marah kadangkala dimulai oleh perilaku merasa diri lebih dari yang lain, serta mau dirinya diperlakukan semacam yang diharapkan. Kala harapannya tidak terwujud, kala dia merasa tidak diperlakukan sebagaimana yang ia dambakan, dia juga jadi marah, merasa dirinya direndahkan.
Arti yang lain yang mau ditunjukkan Nasruddin Hoja: kala marah, ambillah kaca. Bayangkan gimana raut muka di dikala marah, berpikirlah tentang betapa buruknya akibat amarah di dalam diri. Kala marah, badan manusia hadapi serangkaian respon serta pergantian pada hormon, sistem saraf, serta otot. Dikala marah, badan membebaskan adrenalin yang membuat nafas terasa sesak, wajah memerah, otot serta urat leher tegang, mata melotot, rahang menegang, tercantum perut, bahu, serta tangan.
Pergantian raga dikala keadaan marah itu kadangkala diiringi dengan mulut yang mengumpat serta mencaci maki dengan suara besar. Berkaca bisa membuat orang merenung. Dia sadar kalau di dikala marah, fisiknya menjelma semacam fauna buas yang menyalak, mengecam, serta membahayakan diri serta orang- orang di sekitarnya.
Orang yang tenang disaat amarah meledak, tiada lain meneladani akhlak mulia para Nabi serta bijak bestari. Nabi Muhammad diketahui selaku orang yang nyaris tidak sempat marah selama hidupnya. Bisa jadi cuma terdapat satu riwayat, kala Nabi memarahi teman Usamah bin Zaid bin Haritsah sebab suatu kesalahan parah di medan perang mengalami suku Juhainah.
Pasukan Islam sukses mengalahkan mereka. Tetapi terdapat seseorang musuh yang melarikan diri. Kala sukses ditangkap serta terdesak, pria itu mengucap La ilaha illa Allah. Usamah juga tidak berikan ampun serta langsung menombaknya.
Kata Nabi, apalagi dalam peperangan juga, tidak terdapat hak seorang menghabisi nyawa orang yang sudah mengucapkan syahadat, apa juga sebabnya. Usamah beralasan kalau orang tersebut cuma berpura- pura mengucap syahadat biar selamat. Nabi menyangkal," Kenapa engkau tidak sekaligus membelah dadanya biar mengenali apakah hatinya mengucapkan La Ilaha Illa Allah dengan ikhlas ataukah sebab alibi lain?"
Cuma dikala itu Nabi marah. Selebihnya, merupakan tentang akhlak memaafkan. Apalagi kepada seseorang Yahudi yang tiap hari mengusik serta melemparkan kotoran ke arahnya, Nabi Muhammad senantiasa menawarkan senyum. Kala sesuatu hari orang tersebut sakit, Nabi malah menjenguknya.
Sehabis berkaca serta menyadari betapa buruknya marah, hingga semestinya kita berupaya menyamai akhlak Nabi dalam kandungan yang semampu kita. Paling tidak, kala marah, kita sanggup menahan diri buat memadamkan bara. Kata orang bijak, dia yang ditaklukkan oleh rasa marah, hingga hasilnya merupakan penyesalan.
Kata Jalaluddin Rumi," Dalam kondisi marah serta murka, jadilah semacam mayat." Dikala emosi amarah timbul, hendaknya memilah sela waktu sejenak serta tidak melaksanakan apa juga, supaya tidak menyesal di setelah itu hari. Karena di kala marah, orang jadi lepas kendali, lisannya menghasilkan perkataan agresif. Kala marah, orang gampang mengambil aksi membahayakan, memunculkan perkelahian, menciptakan permusuhan, apalagi menyulut peperangan.
Orang marah hendaknya mengambil sela waktu buat tidak berkomentar ataupun mengambil keputusan. Nabi sempat berikan petunjuk kalau di dikala marah, hendaknya dia mengganti letaknya. Bila marah di dikala berdiri, hingga hendaknya memilah duduk. Bila masih marah, hingga hendaknya berupaya tiduran. Bila masih marah, hingga hendaknya mengambil air wudhu. Apalagi bila sehabis berwudhu masih marah, hingga disarankan shalat sunnah, supaya biar benak kembali jernih.
Berwudhu dinilai sanggup menanggulangi amarah serta menenangkan diri. Karena marah berasal dari setan yang mau tetap menjerumuskan manusia. Setan merupakan makhluk yang dibuat dari api. Bara api( marah) cuma dapat dipadamkan dengan air( wudhu). Disarankan pula buat membaca zikir serta taawudz. Teks ta' awudz bermakna memohon proteksi dari setan, karena marah tercantum godaan setan( QS. Al- A' raf[7]: 200).
Dalam riwayat Abu Hurairah, seseorang teman tiba memohon wasiat kepada Nabi. Sabda Nabi," Janganlah engkau gampang marah". Permintaan itu diulangi sebagian kali, serta Nabi mengulang jawaban yang sama( HR. Bukhari).
Mendengar jawaban itu, seseorang teman berpendapat," Sehabis kurenungkan apa yang disabdakan Nabi, saya berkesimpulan kalau marah itu menghimpun seluruh perbuatan jahat". Kalau marah merupakan pangkal dari kejahatan. Kala marah, orang dapat melontarkan serta membongkar beberapa barang di sekitarnya. Kala marah, orang dapat memukul serta menyakiti. Kala marah, orang apalagi dapat menewaskan orang lain.
Dalam riwayat Ibnu Mas' ud, Nabi sempat bertanya kepada para teman," Siapa yang kamu anggap selaku orang yang kokoh perkasa?" Para teman menanggapi kalau dia yang kokoh merupakan yang sanggup memenangkan pergulatan raga. Nabi menimpali," Bukan demikian, namun orang yang kokoh merupakan dia yang sanggup menahan dirinya kala marah"( HR. Muslim).
Latihan buat menahan marah bukanlah ringan. Sebab berat, orang yang sanggup menjalaninya diberi ganjaran surga." Janganlah kalian marah, hingga bagimu surga"( HR. Thabrani). Janji surga menampilkan betapa mulianya orang yang sanggup mengatur diri, menahan buat tidak menuruti hawa nafsu yang berasal dari setan. Jangan hingga disetir kemauan yang menjelma ketamakan serta tekad kurang baik yang lain.
Allah berfirman kalau menahan amarah ialah karakteristik orang bertakwa( QS. Ali Imran[3]: 134). Orang- orang yang mendapatkan kemuliaan, antara lain merupakan orang yang," Apabila marah, mereka berikan maaf"( QS Asy- Syura[42]: 37).
Kuncinya merupakan memaafkan. Memaafkan bila yang terjalin tidak cocok dengan kemauan kita. Emosi marah bisa diakibatkan oleh perasaan terluka ataupun oleh sikap yang tidak diharapkan dari orang lain.
Kemarahan bisa jadi emosi negatif yang membahayakan bila diumbar secara kelewatan. Seperti itu sebabnya, berarti buat belajar mengelola kemarahan. Kata Aristoteles," Siapa juga dapat marah. Marah itu gampang, namun marah pada orang yang pas, dengan kandungan yang cocok, pada waktu yang pas, demi tujuan yang benar, serta dengan metode yang baik, tidaklah perihal yang gampang".Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H