Dewasa ini, Stoicisme adalah aliran filsafat klasik yang sering dibahas dan didiskusikan. Banyak orang menulis kritik terhadap Stoicisme dan banyak juga yang memposting kutipan dari filsuf Stoic di media sosial. Setidaknya setelah penerbitan Philosophy Teras karya Henry Manampiring: Filsafat Yunani-Romawi Kuno untuk Ketahanan Hari Ini (2018), dengan lembut dan jelas menjelaskan dan mengontekstualisasikan Stoicisme di zaman modern.
Ketabahan tampaknya harus dibaca oleh mereka yang ingin belajar filsafat di Indonesia. Stoicisme, bagaimanapun, tidak kalah dengan aliran filsafat modern, postmodern, strukturalis dan poststruktural yang telah lama dicintai dan diminati oleh para mahasiswa filsafat di Indonesia.
Ketabahan tampaknya harus dibaca oleh mereka yang ingin belajar filsafat di Indonesia. Stoicisme, bagaimanapun, tidak kalah dengan aliran filsafat modern, postmodern, strukturalis dan poststruktural yang telah lama dicintai dan diminati oleh para mahasiswa filsafat di Indonesia.
Stoicisme, bagaimanapun, tidak hanya mendapat tanggapan positif. Beberapa orang mencoba menanggapi ketabahan dengan sikap skeptis. Salah satunya adalah tulisan Mochammad Aldy Maulana Adha yang skeptis terhadap ajaran Stoa. Dia menegaskan bahwa ketabahan dapat digunakan sebagai "senjata kapitalis untuk membuai hati nurani yang tertindas untuk secara sukarela menerima penderitaan mereka".
Bagi Stoicisme, tidak ada kenyataan buruk, hanya persepsi kita tentang fakta ini yang salah. Alih-alih seperti kaum Marxis yang mengaku ingin mengubah dunia, kaum Stoa justru percaya bahwa dunia sudah diatur oleh hukum alam dan karenanya kita hanya perlu menyukainya.meragukannya. Sayangnya, Aldy seharusnya juga membahas doktrin Stoic lainnya, oiekeiosis kosmologis.
Terlepas dari reaksi positif atau negatif, Stoicisme pada dasarnya mendapat tempat dalam wacana filosofis di Indonesia. Ironisnya, ketika kita berbicara tentang Stoicisme, yang tentunya juga bersinggungan dengan filsafat klasik, sepertinya kita tidak tahu atau bahkan ingin tahu tentang aliran-aliran filsafat yang berdampingan dengan Stoicisme.
Mungkin karena kita begitu asyik dengan Stoicisme, kita mengabaikan aliran pemikiran lain, seperti epikisme dan skeptisisme. Bahkan ketika kedua arus ini dihadapkan pada Stoicisme. Epicisme adalah aliran yang bersaing dengan Stoicisme. Sedangkan salah satu tokoh sinis, Crates, adalah guru dari Zeno, pendiri Stoicisme.
Oleh karena itu, artikel ini bermaksud memberikan sedikit ajaran epikisme, khususnya pembahasan soal kebahagiaan. Adapun skeptisisme---jika penulis memiliki kesempatan---akan dibahas pada kesempatan lain.
Epicureanisms adalah aliran filsafat yang didirikan oleh Epicurus pada abad ke-4 SM. Dengan kata lain, ajaran Epicureanisme didasarkan pada pemikiran Epicurus. Ajaran tersebut dipraktikkan dalam sebuah komunitas yang dikenal dengan The Garden.
Komunitas ini memiliki rumah besar yang ditempati oleh para anggotanya. Di sana mereka bisa mengolah, menggambar, menulis, membaca dan bermeditasi. Kegiatan ini dilakukan agar masyarakat dapat mencapai ketenangan jiwa.
Dengan kebebasan tersebut, epicism berhasil membuat anggotanya bahagia. Tidak diragukan lagi, epikuraisme berkembang di seluruh Mediterania dan memiliki anggota sebanyak 400.000 orang. Sayangnya, komunitas Garden ditutup oleh gereja Katolik pada abad ke-5.
Sebagai pendiri epikisme, Epicurus sangat dipengaruhi oleh gagasan Democritus. Demokritos adalah orang yang teguh. Bagi Democritus, seluruh realitas ini terdiri dari atom yang tak terhitung jumlahnya dengan berbagai bentuk dan berat. Oleh karena itu, segala sesuatu yang terjadi di dunia ini tunduk pada hukum sebab akibat yang mutlak dan pasti.
Namun, Epicurus menambahkan sesuatu pada pemikiran ini. Baginya, atom tidak selalu bergerak sesuai dengan sifatnya. Kadang tidak langsung turun dan kita tidak tahu kenapa. Gerak terjadi menyebabkan atom saling bertabrakan dan mempengaruhi. Di sinilah alam semesta lahir. Jadi, Epicurus percaya pada peristiwa yang terjadi tanpa sebab atau kebetulan. Asumsi ini jelas menggerogoti pandangan tentang keteraturan mutlak alam semesta dan akhirnya kemampuan menganalisis masa depan pun sirna. Ini dilakukan Epicurus untuk membebaskan manusia dari takdir. Pria itu bisa menentukan hidupnya sendiri tanpa percaya pada takdir. Jadi, Epicurus menuntut kehendak bebas.
Seperti takdir, manusia tidak takut pada dewa, kematian, dan akhir dunia. Para dewa tidak tertarik pada kehidupan manusia. Segala sesuatu di dunia mematuhi hukum mekanisme atom yang tidak terkait dengan gangguan mereka. Mengatur kehidupan menurut hikmat manusia dan tidak takut pada dewa adalah tindakan yang masuk akal.
Namun, Epicurus menganggap ateisme sebagai bentuk kegilaan. Mengenai kematian, Epicurus dengan tegas mengatakan bahwa ketika kita hidup, kematian tidak ada, dan ketika kita mati, kita tidak ada lagi. Jadi mengapa takut mati jika itu tidak benar-benar ada?
Kebahagiaan
Kita tahu bahwa Epicureanisme hidup pada saat filsafat memasuki era Helenistik. Era ketika filsafat menekankan gaya hidup lebih dari sekadar pemikiran teoretis. Teori filosofis digunakan sejauh itu mengarah pada kehidupan yang baik. Fisika, logika atau metafisika dibangun sebagai eksponen tujuan etis.
Pada dasarnya, daripada digunakan untuk kepuasan intelektual, filsafat lebih sering digunakan untuk memecahkan masalah kehidupan praktis. Filsafat pada saat itu mau tidak mau berkaitan dengan bagaimana orang bisa hidup bahagia.
Hedonisme menganggap kebahagiaan dapat dicapai dengan menjalankan kebajikan mencari kesenangan dan menghindari rasa sakit sebanyak mungkin. Pandangan ini sering disalahpahami oleh banyak orang. Hedonisme dituduh mengajarkan etika hedonistik mencari kesenangan sebanyak-banyaknya tanpa menghiraukan akibat yang keterlaluan.
Meskipun epikisme tidak pernah mengajarkan ini. Kebahagiaan melalui hedonisme dipahami secara negatif sebagai hilangnya rasa sakit dan kekhawatiran hidup. Seseorang perlu bebas dari penderitaan dan mencapai kenyamanan batin untuk menjadi bahagia.
Apakah dengan beberapa contoh di atas, penderitaan hidup sirna dan kemudian muncul kenyamanan batin? Tentu saja tidak. Hal sebaliknya terjadi. Oleh karena itu, untuk mencapai kebahagiaan manusia perlu mengatur keinginan. Epicureisme mengklasifikasikan tiga jenis keinginan. Pertama, keinginan-keinginan alamiah harus dipuaskan (naturally needed) seperti makan, minum, dan berteduh. Kedua, keinginan kodrati yang belum tentu terpuaskan (naturally sia-sia) seperti makanan dan rumah yang mewah. Ketiga, keinginan yang tidak wajar seperti status sosial yang tinggi dan mencari uang sebanyak-banyaknya.
Untuk mencapai kebahagiaan, seseorang harus fokus pada keinginan pertama dan mengabaikan keinginan ketiga. Sebab, dalam jangka panjang, ketiga keinginan tersebut dapat melahirkan kekecewaan, ketidakpuasan, dan kecemasan dalam hidup. Sedangkan keinginan yang kedua bisa dipuaskan asalkan tidak menimbulkan rasa sakit. Oleh karena itu, keinginan harus ditempatkan dalam konteks kehidupan manusia secara keseluruhan.
Selain itu, manusia juga perlu mengembangkan kesenangan karena itulah pintu masuk menuju kebahagiaan. Kesenangan adalah kebaikan bawaan yang tidak selalu baik dan harus dipenuhi. Kesenangan yang berakhir dengan penderitaan harus dihindari, sedangkan rasa sakit yang berakhir dengan kesenangan harus dipraktikkan. Orang perlu menahan rasa sakit untuk sementara waktu agar kesenangan bertahan lebih lama.
Pada dasarnya, kebahagiaan tidak diukur dengan intensitas, tetapi dengan waktu. Percuma ketika perasaan bahagia begitu kuat tapi waktunya singkat. Lebih baik merasa normal, tetapi dalam jangka panjang. Misalnya, kita tidak makan banyak. Perasaan kita tampak biasa saja dan tidak bertahan lama. Namun, dengan tindakan seperti itu, kita bisa terhindar dari rasa kenyang dan menjadi lebih sehat. Jadi, epikisme menambahkan satu hal pada kebahagiaan, yaitu perasaan puas. Dengan itu, kita akan mudah puas dan kita tidak akan mencari yang lain
Oleh karena itu, akan menjadi kesalahan besar jika hedonisme dipandang mempromosikan kemewahan, kemewahan, dan ketidakpuasan. Hedonisme sejati mengajarkan moderasi, pengekangan, dan pengetahuan tentang batasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H