Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Anak-anak "Millennial" dalam Pusaran Media Sosial

22 Februari 2018   16:53 Diperbarui: 22 Februari 2018   17:19 3118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nyaris bisa dikatakan,bahwa pembentukan karakter yang seharusnya menjadi project jangka panjang sekolah, sulit terakomodasi. Mengingat bahwa persoalan karakter bukanlah persoalan instan semudah membalikkan telapak tangan. Dibutuhkan metode-metode yang tak formil untuk mencapai apa yang disebut pembentukan karakter lewat proses integrasi nalar, nurani, dan pembiasaan untuk mencapai hal itu. Dan sekolah yang masih berpusat pada aktivitas formal terlalu jauh untuk bisa menyentuh hal demikian.

Karena itu, tidak salah ketika keluarga masih disebut sebagai pranata primer, sedang sekolah tetap ditempatkan sebagai pranata sekunder. Hal ini tidak lepas dari keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki sekolah dalam mengintervensi pembentukan kepribadian anak.

Pernah ada eksprimen sosial di era 1960-an di Jerman, ketika era pasca perang dunia ke-II telah berakhir. Seiring dengan munculnya perkembangan paradigma pendidikan yang anti-otoriter akibat trauma perang. Eksprimen sekolah didesain tertutup, anak-anak dididik dalam perkumpulan-perkumpulan yang sengaja dipisah dari keluarga mereka. Alasannya sederhana, keluarga dianggap sebagai faktor utama pembentukan sikap-sikap otoriter sang anak, lewat "perintah dan larangan" sebagai satu-satunya hal lazim yang dipakai keluarga dalam mendidik anak.

Sehingga keberadaan keluarga dalam mendidik dianggap membawa pengaruh buruk terhadap anak. Karena itu pertumbuhan pendidikan anak mestilah dijauhkan dari keluarga, dengan memberi kebebasan seluas-luasnya pada anak untuk membentuk kepribadiannya masing-masing secara alami tanpa terpengaruh oleh otoritas perintah-larangan orang tua.

Namun, eksprimen sosial ini juga akhirnya dianggap gagal, lantaran banyak kasus yang membuktikan bahwa moralitas anak yang tumbuh tanpa kontrol orang tua juga memperlihatkan sisi-sisi destruktif dan agresif lainnya, yang mengharuskan pendidikan kepribadian mesti kembali lagi pada orang tua.

Kuasa media sosial

Namun sekarang ini, kita masih melihat tarik ulur tentang siapa yang mesti bertanggung jawab utama dalam pembentukan karakter anak. Keluarga ataupun sekolah pada beberapa kasus terlihat seolah ingin melempar tanggung jawab ketika muncul kasus-kasus destruktif tertentu yang melibatkan anak. Apalagi ketika kita melihat sistem pengendalian sosial kita lebih banyak bersifat represif baik oleh orang tua maupun sekolah ketimbang preventif.

Padahal pengendalian sosial preventif inilah cukup fundamental dalam konteks ini, mengingat bahwa kita tak bisa mengabaikan faktor ketiga dalam kasus ini yakni media sosial. Media sosial cukup besar pengaruhnya dalam membentuk kebiasaan dan apa yang dianggap ideal oleh anak. Mengingat tingkat kedekatan anak generasi millenial terhadap apapun lebih dominan oleh teknologi gadget, android dan sejenisnya. Meskipun kita tetap percaya bahwa orang tua tetap memiliki peran sentral dalam mendidik anak, namun realitasnya bahwa arus pengaruh media sosial jauh lebih kuat dari kekuatan pranata manapun.

Di sekolah misalnya, meski beberapa sekolah telah menetapkan aturan larangan membawa HP canggih ke sekolah untuk memisahkan sejenak anak dari medsos, namun itu tidak serta merta mengalihkan lalu lintas pembicangan anak dari dinamika medsos itu sendiri.

Sekolah bahkan pranata keluarga terancam kehilangan pamor sebagai pranata nilai dihadapan teknologi media sosial yang massif mencair ke lini-lini kehidupan anak tanpa batas. Ini seperti menjadi tantangan baru generasi millenial anak yang hidup di zaman digital seperti sekarang ini.

Medsos mau tak mau akan menjadi patron utama anak menerima persepsi dengan mudah. Lantaran ia sudah menjadi bagian dari pola hidup anak. Tidak sedikit dari gaya hidup anak, dibentuk sebagai hasil imitasi yang ia dapatkan dari bermedsos. Tanpa menafikan dampak positif yang ada, sisi lain yang patut diperhatikan adalah dampak buruk pengaruh medsos yang tak terbatas ini dalam pertumbuhan kepribadian anak.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun