Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Media Sosial, Menghimpun lalu Memecah Tanpa Ampun

19 Februari 2018   13:54 Diperbarui: 19 Februari 2018   17:47 522
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi: nasional.kompas.com

KETIKA media sosial digadang-gadang sebagai teknologi manusia mempersempit dunia, ia mempertemukan banyak orang dari berbagai pelosok kehidupan yang jauh. Media sosial seperti forum reuni besar-besaran, mempertemukan kembali yang terpisah oleh jarak, juga sekaligus wadah memperlebar imajinasi dengan semangat bersosial. Mereka yang tak sempat saling menyapa di alam nyata bisa saling menyapa di media sosial tanpa mengurangi arti dari hidup yang bersosial.

Namun sekarang ini itu sudah menjadi hal lain. Semenjak keberadaannya telah ikut dikapitalisasi oleh perkara politik, media sosial justru menjadi penghubung yang perlahan-lahan memisahkan dan memecahkan soliditas yang awalnya perlahan terbangun. Media sosial seperti datang untuk menghimpung lalu memecah kembali tanpa ampun. Inilah kenyataannya.

Di lalu lintas informasi medsos, seolah kita hanya dikapitalisasi oleh narasi politik artifisial yang sempit; dukung-mendukung semata. Bahkan terlalu sulit untuk berada di tengah-tengah pertarungan itu untuk berdiri sebagai orang netral sekalipun. Logikanya kian mengerikan: A atau B, hitam atau putih. Tak ada abu-abu, pujian dan caci maki bisa berkelindang seirama dialamatkan kepada siapa saja. Selang semenit orang yang sama bisa dipuji lalu setelahnya dicaci.

Di negeri ini, sepertinya tak ada soal yang paling mendasar bagi kehidupan bersosial melebihi politik itu sendiri. Apa saja bisa dipolitisir, dan media sosial menfasilitasi hal itu. Pertandingan sepak bola dipolitisir dalam kacamata dukung-mendukung, hingga soal identitas, tuhan dan agama tak kalah ketinggalan menjadi objek yang terus dikomoditikan dalam politik.

Karena itu, ketika media sosial mempersempit batas ruang privat dan ruang publik itu sendiri, disitulah kemudian pertengkaran ruang publik merongsok masuk dalam ranah privat. Tidak hanya di Facebook yang awalnya berisi teman-teman terdekat menjadi berubah berdasarkan afiiasi politik dukung mendukung. Di group-group Whatsapp keluarga sekalipun bahkan tidak pernah benar-benar steril dari kapitalisasi politik dukung mendukung tersebut. Ini memang patut disayangkan.

Satu persatu, formulasi pertemanan perlahan berubah. Kita kedatangan teman dunia maya yang tak pernah kita kenal di alam nyata. Datang menggeser (unfollow/unfriend) teman yang bahkan mungkin bertahun-tahun sudah kita kenal. Hanya lantaran beda pilihan politik, bercampur kemuakan dukungan gila yang disebar secara gila-gilaan juga.

Ini seperti sebuah dopamin disubtitusikan oleh tubuh dan otak kita. Yang pada ujungnya membawa kita pada pertemanan palsu dan kualitas hidup yang semakin menyusut.

Kita berteman namun perlahan juga terus menerus merasakan kesepian. Kita terus menerus menderita kehilangan, lalu menghibur diri dengan keramaian politik artifisial dukung-mendukung di medsos. Ada kepuasaan aksidentil yang berusaha menutupi penderitaan kita yang menubuh itu ketika satu gerbong politik kita memberikan kita like atau pun pujian hanya lantaran kita membela toko idola politik kita yang sama sembari melemparkan caci ke toko politik seberangnya.

Media sosial yang ditopang oleh prilaku banal manusia, lalu kemudian keduanya dikoyak-koyak oleh mesin politik yang rakus. Yang tersisa adalah terjadinya pengkurusan kemanusiaan manusia millenial. Yang politis terjebak dalam fanatisme berpolitik yang sempit, sedang yang apolitis terlena dengan sikap acuh dengan mengisi media sosial dengan hal remeh-temeh.

Istilah "buzzer politik" dan "pasukan cyber politik" lalu bermunculan diikuti dengan "relawan politik medsos". Mereka bertempur. Seolah ini adalah pertempuran suci---pertempuran ideologis--padahal tidak. Yang berbayar lalu mepengaruhi yang lain, memunculkan istilah relawan politik ala medsos. Mereka mencoba menghimpung mereka secara tidak langsung dengan isu-isu altruisme; agama atau nasionalisme.

Lalu mereka para relawan-relawan tak berbayar yang kepincut inilah yang paling merasakan dampaknya. Halusinasi altruisme mengoyak-ngoyak kesadarannya, lupa bahwa ia meninggalkan hal berharga (teman/keluarga) menuju tempat abstrak yang dipenuhi idiom-idiom atruis pragmatis  yang sebenarnya tidak terpaut dengan nasib dan kehidupannya sehari-hari. Menyedihkan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun