Pertanyaannya, ketika mudik ini dipahami sebagai suatu fenomena akibat dari perubahan corak struktur sosial masyarakat kita, akankah tradisi ini akan terus waris-mewarisi ke depannya? Memang bisa dikatakan perkembangan teknologi bukanlah faktor utama yang akan menghancurkan tradisi ini, sebab kita melihat meski orang sudah bisa dan terbiasa bertatapan langsung di layar handpone, itu tidaklah mengurangi kerinduan orang untuk bisa bertatap muka secara langsung. Artinya ada kerinduan lain yang tak terpenuhi dari fenomena bertatapan muka di dunia maya tersebut.
Tapi bagaimana dengan kekhawatiran ekspansi pembangunan ala kota terhadap desa sebelumnya? Pembangunan yang tak sekadar bisa dipahami sebagai realitas yang bebas nilai, melainkan syarat dengan nilai-nilai pembangunan yang identik dengan perkotaan itu sendiri. Suatu pembangunan tidak akan berjalan sebelum akhirnya nilai pembangunan itu sendiri diterima secara kultural terlebih dahulu yang kita sebut hegemoni kultural perkotaan.
Bisa dikatakan, tradisi ini terancam berhenti kalau saja imajinasi tentang komunalistik itu yang tercerabut alias hilang. Sebab sejatinya mudik adalah ekpresi kerinduan manusia akan situasi komunalistik desa yang nyaris tidak ia temui di kota. Itulah kerinduan kodrat kita yang menuntung kita melawan macet, banjir, resiko di jalan dan keterbatasan ekonomi. Seperti kata God Bless, dalam lirik Rumah Kita: hanya bilik bambu tempat kita, tanpa hiasan tanpa lukisan, beratap jerami beralaskan tanah, namun semua ini punya kita. Ya miliki kita sendiri....
Selamat mudik.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H