Saya baru saja berkunjung ke salah satu gerai tokoh buku. Menjelang pulang saya melewati suatu gerai elektronik. Di depan gerai tertempel pengumuman lowongan kerja. “Dicari pegawai, syarat: etnis tertentu (sambil menuliskan etnis yang dimaksud)”.
Itu berarti, lowongan kerja ini praktis menerima karyawan berdasarkan kategori etnik tertentu, sembari menolak karyawan dari etnik tertentu. Identitas adalah syarat yang paling pertama untuk bisa diterimanya seseorang untuk bekerja. Kurang lebih begitu.
Kalau ada karikatur sarkasme, yang memparodikan: untuk menolong seseorang yang tenggelam mesti menanyakan dulu agama, sekte dll. Nah kalau ini, untuk bekerja harus terlebih dahulu menanyakan etnik seseorang.
Fenomena lowongan kerja dengan persyaratan etnis tertentu seperti ini, bukanlah hal langka yang saya temui di kota yang semi-metropolis, seperti Batam ini. Mungkin di kota-kota lainnya juga ada, hanya saja saya sendiri belum pernah menemukan langsung.
Padahal kalau ingin jujur, ini cukup paradoks dari keberadaan kota yang justru sangat plural. Setidaknya ini saya rasakan sejak mulai tinggal dua tahun yang lalu. Batam termasuk kota dengan lalu lintas interaksi lintas batas yang tergolong cukup tinggi. Selain sebagai kota rantau dengan pusat-pusat industri besar, tempat berkumpulnya para pekerja dari berbagai daerah (lokal) maupun ekspatriat (mancanegara), juga secara geografis merupakan satu-satunya wilayah yang memiliki akses paling tinggi dalam berinteraksi dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.
Bahkan saya bisa bilang, pengalaman saya, di antara beberapa kota yang pernah saya kunjungi, kota ini kesan saya termasuk kota dengan tingkat pembauran etnik yang cukup mencair. Cukup plural. Etnik yang mungkin sedikit-banyaknya termarjinalkan di beberapa wilayah nusantara, justru mendapatkan tempat yang layak di kota ini. Mereka memiliki akses yang sama tanpa diksriminasi sebagimana lazim dijumpai di daerah-daerah lainnya.
Namun, di tengah pluralisme pembauran itu, tampaknya gejala-gejala rasisme di tingkat sublatern pun juga masih mudah ditemui. Tak terkecuali terhadap fenomena lowongan kerja dengan persyaratan etnis tertentu yang saya sebutkan di atas. Entah, disadari atau tidak, menurut saya, fenomena iklan lowongan kerja dengan persyaratan etnik tertentu ini, cukup untuk bisa mengatakannya sebagai suatu gejala anomali sosial berselubung rasisme. Ini patut kita sesalkan. Pemerintah seharusnya melihat ini sebagai sesuatu yang kontraproduktif.
Bahkan fenomena iklan seperti ini, lazim tidak hanya dijumpai di gerai-gerai tertempel, bahkan ada yang terpublish di koran-koran lokal. Saat saya membaca salah satu koran tersebut, saya sendiri tak henti-henti bertanya, apakah tim iklan ataupun tim redaksi koran-koran bersangkutan, tidak melihat fenomena iklan seperti ini sebagai sesuatu yang pada dasarnya mengandung unsur SARA? Yang seharusnya tidak dipublish?
Realitas ini sebenarnya menjadi semiotika, bahwa rasialisme itu dekat dengan kita. Ia berada dilingkar-lingkar masyarakat kita masing-masing . Fenomena rasisme tidak hanya ada pada tataran politik struktural para elit sebagai buah dari perebutan kekuasaan, layaknya Pemilukada DKI jakarta akhir-akhir ini. Tapi juga menyentuh hingga ke fenomena kultural di tingkat masyarakat itu sendiri.
Secara normatif, mungkin kita bisa berkata apa salahnya seorang pemilik toko/gerai, atau pemilik perusahaan mencari pegawai dari kalangan seetniknya sendiri? Tentu saja tidak ada yang salah secara normatif. Tetapi kalau kita balik pertanyaan itu menjadi pernyataan. Apakah untuk mengukur kinerja seseorang atau membangun kepercayaan, mesti diukur berdasarkan standarisasi etnik seseorang? Bagi kita yang waras, tentu kita akan menjawab tidak. Sebab kinerja atau apaun yang terkait dengan pekerjaan seseorang tidak ada sangkut pautnya dengan etnik ataupun embel-embel identitas lainnya.
Begitupun kalau alasannya adalah kepercayaan. Tentu saja ini adalah cara berpikir yang sangat keliru. Sebab para rasialis macam ini, sudah mengalami ketergeliciran syaraf yang menyedihkan, sebab ia mengukur kepercayaan dia kepada sesuatu yang tidak terkait sama sekali dengan kepercayaan itu sendiri. Anda tidak bisa mengatakan bahwa semua etnik A pasti bisa dipercaya, sedangkan semua etnik B tidak bisa dipercaya semuanyakan?
Bukankah bahwa kebaikan, kejujuran, dan sifat-sifat kebaikan lainnya tidak pernah ditentukan oleh etnik dan agama seseorang? Begitupun, bahwa keburukan dan sifat-sifat tidak baik lainnya adalah sesuatu yang bersifat universal, yang bisa terjadi pada setiap manusia, tanpa memandang etnik atau agama yang bersangkutan? Kita yang waras akan mudah berkata, bahwa keburukan bisa lahir dari manusia dengan etnik atau agama apapun, begitupun terhadap kebaikan.
Apalagi, ketika perkara lowongan kerja ini praktis justru lebih dekat kepada perkara kinerja. Lantas apakah ada keterhubungan antara kinerja terhadap etnik seseorang? Saya pikir sama sekali tidak terkait.
Fenomena penyimpulan-penyimpulan tak berdasar para rasialis dalam mengkateogri etnik terhadap faktor-faktor budaya/kebiasaan yang sengaja ia lekatkan, sebenarnya adalah fenomena dari kecacatan berpikir yang fatal. Ini seperti cermin dari masyarakat kita yang sakit.
Saat sekarang ini, sangat mudah kita menjumpai secara terselubung pengkategorian-pengkategorian seperti ini. Etnik A pemalas, etnik B kapitalis/pelit, etnik C tidak bisa dipercaya, dll. Bahkan ada yang sampai samar-samar mengkategorikan etnik tertentu sebagai domain dari kriminalitas. Ini adalah penyimpulan-penyimpulan tak berdasar sama sekali.
Ini mirip dengan kasus, beberapa waktu yang lalu, ketika ramai, muncul berita-berita yang menyampaikan betapa sulitnya sodara-sodara kita yang dari Papua untuk mencari kos-kosan di kota Jogjakarta. Bukan lantaran kos-kosan sudah penuh, tapi karena ditolak lantaran streotipe rasialis yang dilekatkan terhadap mereka orang-orang papua. Dengan identitas-identitas artifisial destruktif yang dilekatkan kepadanya. Mulai dari isu pelaku kriminal,hingga isu persoalan ketidakteraturan, dsbnya.
Rasialisme tidak pernah muncul dengan sendirinya. Saya pikir, kalau kita memandang dari sudut pandang kelas, maka kemunculan rasialisme dari kalangan bawah yang berwujud kebencian tak berdasar, bisa dikata sebagai bagian dari produk struktur sosial politik yang kacau. Bagi pemikir-pemikir yang percaya pada kredo Marxisme, realitas rasialisme tidak pernah terpisah dari struktur sosial yang timpang, dengan segenap ketidakadilan yang menyertainya. Ini mudah dilihat dari hembusan anti-etnik tertentu di beberapa daerah lainnya, seperti Jakarta? Hal itu tidak lepas dari keburaman sosial yang timpang, ditambah dengan politik perebutan kekuasaan yang menggoreng segalanya.
Tapi, kalau ia dilihat dari sudut pandang kelas atas. Maka rasialisme kelas atas ini, tidak jauh-jauh dari apa yang dikatakan Chomsky, sebagai bentuk ketidakwarasan. Buah dari hasrat borjuisme dalam melanggengkan penaklukan dan penindasan itu sendiri. Fenomena rasisme berkedok lowongan kerja ini, sebenarnya tak lain adalah bentuk ketaklukan para elit mengikuti kebodohan umum yang terjadi!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H