Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Lowongan Kerja dan Rasisme di Tengah-tengah Kita

10 Maret 2017   23:56 Diperbarui: 11 Maret 2017   20:00 1179
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Saya baru saja berkunjung ke salah satu gerai tokoh buku. Menjelang pulang saya melewati suatu gerai elektronik. Di depan gerai tertempel pengumuman lowongan kerja. “Dicari pegawai, syarat:  etnis tertentu (sambil menuliskan etnis yang dimaksud)”.

Itu berarti, lowongan kerja ini praktis menerima karyawan berdasarkan kategori etnik tertentu, sembari menolak karyawan dari etnik tertentu. Identitas adalah syarat yang paling pertama untuk bisa diterimanya seseorang untuk bekerja. Kurang lebih begitu.

Kalau ada karikatur sarkasme, yang memparodikan: untuk menolong seseorang yang tenggelam mesti menanyakan dulu agama, sekte dll. Nah kalau ini, untuk bekerja harus terlebih dahulu menanyakan etnik seseorang.

Fenomena lowongan kerja dengan persyaratan etnis tertentu seperti ini, bukanlah hal langka yang saya temui di kota yang semi-metropolis, seperti Batam ini. Mungkin di kota-kota lainnya juga ada, hanya saja saya sendiri belum pernah menemukan langsung.

Padahal kalau ingin jujur, ini cukup paradoks dari keberadaan kota yang justru sangat plural. Setidaknya ini saya rasakan sejak mulai tinggal dua tahun yang lalu. Batam termasuk kota dengan lalu lintas interaksi lintas batas yang tergolong cukup tinggi. Selain sebagai kota rantau dengan pusat-pusat industri besar, tempat berkumpulnya para pekerja dari berbagai daerah (lokal) maupun ekspatriat (mancanegara),  juga secara geografis merupakan satu-satunya wilayah yang memiliki akses paling tinggi dalam berinteraksi dengan negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand.  

Bahkan saya bisa bilang, pengalaman saya, di antara beberapa kota yang pernah saya kunjungi, kota ini kesan saya termasuk kota dengan tingkat pembauran etnik yang cukup mencair. Cukup plural. Etnik yang mungkin sedikit-banyaknya termarjinalkan di beberapa wilayah nusantara, justru mendapatkan tempat yang layak di kota ini. Mereka memiliki akses yang sama tanpa diksriminasi sebagimana lazim dijumpai di daerah-daerah lainnya.

Namun, di tengah pluralisme pembauran itu, tampaknya gejala-gejala rasisme di tingkat sublatern pun juga masih mudah ditemui. Tak terkecuali terhadap fenomena lowongan kerja dengan persyaratan etnis tertentu yang saya sebutkan di atas. Entah, disadari atau tidak, menurut saya, fenomena iklan lowongan kerja dengan persyaratan etnik tertentu ini, cukup untuk bisa mengatakannya sebagai suatu gejala anomali sosial berselubung rasisme. Ini patut kita sesalkan. Pemerintah seharusnya melihat ini sebagai sesuatu yang kontraproduktif.

Bahkan fenomena iklan seperti ini, lazim tidak hanya dijumpai di gerai-gerai tertempel, bahkan ada yang terpublish di koran-koran lokal. Saat saya membaca salah satu koran tersebut, saya sendiri tak henti-henti bertanya, apakah tim iklan ataupun tim redaksi koran-koran bersangkutan, tidak melihat fenomena iklan seperti ini sebagai sesuatu yang pada dasarnya mengandung unsur SARA? Yang seharusnya tidak dipublish?

Realitas ini sebenarnya menjadi semiotika, bahwa rasialisme itu dekat dengan kita. Ia berada dilingkar-lingkar masyarakat kita masing-masing . Fenomena rasisme tidak hanya ada pada tataran politik struktural para elit sebagai buah dari perebutan kekuasaan, layaknya Pemilukada DKI jakarta akhir-akhir ini. Tapi juga menyentuh hingga ke fenomena kultural di tingkat masyarakat itu sendiri.

Secara normatif, mungkin kita bisa berkata apa salahnya seorang pemilik toko/gerai, atau pemilik perusahaan mencari pegawai dari kalangan seetniknya sendiri? Tentu saja tidak ada yang salah secara normatif. Tetapi kalau kita balik pertanyaan itu menjadi pernyataan. Apakah untuk mengukur kinerja seseorang atau membangun kepercayaan, mesti diukur berdasarkan standarisasi etnik seseorang? Bagi kita yang waras, tentu kita akan menjawab tidak. Sebab kinerja atau apaun yang terkait dengan pekerjaan seseorang tidak ada sangkut pautnya dengan etnik ataupun embel-embel identitas lainnya.

Begitupun kalau alasannya adalah kepercayaan. Tentu saja ini adalah cara berpikir yang sangat keliru. Sebab para rasialis macam ini, sudah mengalami ketergeliciran syaraf yang menyedihkan, sebab ia mengukur kepercayaan dia kepada sesuatu yang tidak terkait sama sekali dengan kepercayaan itu sendiri. Anda tidak bisa mengatakan bahwa semua etnik A pasti bisa dipercaya, sedangkan semua etnik B tidak bisa dipercaya semuanyakan?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun