Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Munir dan Imajinasi tentang HMI

7 September 2016   18:56 Diperbarui: 8 September 2016   16:01 1972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: rri.co.id

HMI tentu patut berbangga, memiliki kader militan seperti Munir. Universalitas perjuangannya dalam membela tertindas, menjadi ikon tersendiri. Ia memang layak menyandang penghormatan sebagai pejuang HAM, pejuang kemanusiaan itu sendiri.

Munir yang merupakan kader HMI ini, bagi saya merupakan suatu simbol imajinasi ideal tentang ber-HMI. Di tangan munir agama menjadi hidup dalam ruang-ruang kebenaran yang dibiarkan kosong dan terbungkam. Ia seperti memantik suatu kesadaran bahwa agama adalah kemanusiaan itu sendiri. Kesadaran beragama adalah kesadaran keberpihakan pada kemanusiaan itu sendiri: berpihak pada yang tertindas.

Cak Munir begitu kadang-kadang ia disapa, merepresentasikan totalitas perjuangan kemanusiaan universal. Tepat ketika ia disebut: “Kiri Hijau -- Kanan Merah”.  Pemahaman agama yang ia telaah dalam HMI tidaklah membuat ia larut dalam pentagliqkan buta kelembagaan.  

Ia bukan orang yang mudah terjebak dalam framing benturan kiri atau kanan. Karena itu dalam berpihak dan berjuang ia tak perlu memilah manusia dalam pengkotak-kotakan ideologi. Ideologinya melebur dalam satu praksis: berpihak pada yang tertindas!

Seperti yang sering ia ucapkan, “Kita tidak ada pertentangan agama, kita tidak ada pertentangan etnis, yang ada adalah penyalahgunaan kekuasaan yang harus kita lawan!”

Kekonsistenan Munir terhdap totalitas perjuangan kemanusiaannya membuat ia salah satu di antara banyak kader-kader HMI yang selama ini berjuang diluar garis batas kekuasaan yang muncul ke permukaan dengan ‘popularitasnya’. 

Munir seperti meruntuhkan adagium-adagium yang konstan mengasosiasikan HMI sebagai pelaku, pentagliq, bahkan pemburu kekuasaan itu sendiri dengan segenap pragmatisme yang dilekatkan.

Meski  diakui, bahwa HMI termasuk salah satu organ yang ikut membangun orde baru, tetapi bukan berarti bahwa tidak ada kader HMI yang melawan orde baru dan watak orde baru itu sendiri. Munir salah satunya. 

Perjuangan ia melawan watak orde baru lewat penolakannya  terhadap segala bentuk militerisme, membuat Munir harus rela kehilangan nyawanya. Ia diracun oleh orang tak bertanggung jawab dalam sebuah penerbangannya menuju Amsterdam (Belanda), 7 September 2004 silam.

Ia memang cukup vokal mendorong dan mendesakkan penyeleseian secara hukum kasus-kasus kejahatan kemanusiaan yang banyak melibatkan orang-orang dalam lingkar kekuasaan. Kasus –kasus seperti Tanjung Priok, Semanggi, penculikan 24 aktivis politik (1997-1998), hingga kasus-kasus pelanggaran HAM berat di Aceh, Papua, bahkan sebelumnya Timor-Timur.

Melihat jejak keberaniannya itu, saya teringat suatu pernyataan Pemimpin Revolusi Iran, Iman Khomeini, yang pernah berkata: Bahwa orang yang sudah sampai pada puncak kesadaran beragama (puncak penghambaan kepada Tuhan), maka tidak ada lagi ketakutan yang tersisa dalam dirinya melawan kedzaliman. Saya melihat bayang-bayang teologis itu nyata pada munir. Teror adalah hal yang lumrah ia temui sebelum akhirnya ia dibunuh. “Sekali berarti, sudah itu mati,” kata Charil anwar.

Keber-HMI-an Munir, seperti sebuah perjalanan intelektual sekaligus perjalanan spritual tersendiri bagi Munir. Ia salah satu di antara banyak orang yang lahir dengan membawa potensi-potensi fundamentalisme sektarian. Kedekatan simboliknya terhadap agama, tak lepas dari jejak keturunannya yang masih keturunan Indonesia-Arab. 

Tetapi perkenalannya dengan NDP HMI yang banyak dipengaruhi oleh ide-ide pembaharuan Cak Nur inilah yang cukup banyak mengubah secara dahsyat sudut padang Munir terhadap agama Islam yang dianutnya. Ia tidak cukup lahir dengan ideologi moderatnya, tetapi juga seorang yang berhasil menampakan wajah Islam yang progresif: anti penindasan.

Islam dengan wajah anti penindasan inilah yang membuat Munir dalam beberapa konteks diasosiasikan dengan salah satu arsitek revolusi Iran: Ali Syariati. Seperti kata Munir, “Islam tidak mengajarkan kita memerangi agama lain, tetapi untuk memerangi penindasan dan kemiskinan”.

Keberadaan Munir dengan segenap jejak perjuangan kemanusiaannya inilah -- bagi saya yang juga selaku kader HMI-- menunjukkan bahwa HMI saat ini masih relevan. Namun juga sekaligus tantangan bagi HMI. Tantangan dalam melahirkan kader-kader progresif.

Menjawab tantangan itu, tak ada hal yang paling penting, selain berusaha terus menerus mendorong dinamika intelektual dalam HMI. Intelektualitas harus terus dipupuk dalam arah untuk terus mencari suatu formula pembaharuan konsep dan gerakan yang tak berhenti. 

Wacana dalam HMI haruslah terus berdialektik antara nilai dasar perjuangannya dengan tuntutan akan realitas-realitas sosial yang terjadi kekinian yang tak terpisahkan dengan persoalan-persoalan sosial-politik. Karena hanya dengan demikian, arah perjuangan HMI untuk ikut menuntaskan dan merespon persoalan-persolan kebangsaan dan keummatan menjadi relevan.

Dalam konteks inilah relevan ketika saya berkata, bahwa, kita butuh suatu penafsiran-penafsiran revolusioner terhadap nilai dasar perjuangan HMI itu sendiri. Seperti halnya ketika Cak Nur pada masanya berhasil menyuntikkan suatu ‘penafsiran baru’ terhadap HMI sejak terbentuknya. Dan ketangkasan pikir yang kita miliki tentulah tidak boleh membuat kita menjadi paranoid akan realitas-realitas yang baru.

Dalam konteks sekarang, kita melihat bahwa penafsiran yang mendominasi nilai-nilai HMI saat ini hanya dan masih dominan berkutat pada ide-ide: pluralisme, moderat, dll, yang hanya mampu dominan melahirkan birokrat diam. Belum terlihat mengarah atau menanjak pada suatu penafsiran progressif atas persoalan-persoalan sosial politik. 

Genealogi dalam upaya menemukan suatu penafsiran baru menjadi penting, suatu gagasan pembaharuan yang mampu mengawinkan tesis pluralisme dan moderatisme di satu sisi, dan teologi pembebasan di sisi yang lain. Suatu ide-ide keberislaman yang tidak hanya mentok pada isu pluralisme demokratik, tapi menyentuh secara universal pada isu pembebasan yang tertindas. Konsepsi-konsepsi ini tentunya bukan lagi hal baru di tubuh HMI kekinian.

Munir lewat jalur perjuangan HAM-nya, telah mengajarkan kita akan hal itu. Bukan hanya tentang bagaimana beragama itu sendiri, juga tentang bagaimana ber-HMI. Tentang bagaimana ber-Islam, dan ber-HMI yang: anti penindasan, menghargai kemanusiaan, dan juga tentang universalitas pergerakan dan keberpihakan terhadap yang tertindas dalam ranah praksis. Kita tentu malu, ketika HMI sebagai organisasi besar ini masih bersoal dengan cara reaksioner terhadap segala isu. 

Bersoal isu phobia komunis dan sejenisnya, atau beraksi garang ketika itu hanya menyangkut lembaganya sendiri, tetapi justru membiarkan nilai-nilai NDP perjuangan HMI membeku dalam pragmatisme berorganisasi yang sempit. Marwah organisasi HMI terletak pada kejayaan nilai-nilai dasar perjuangannya, itu substansinya.

Munir telah mengajarkan kita bahwa perjuangan nilai dasar perjuangan (NDP) itu adalah perjuangan universal, lintas batas, merakyat, bersahaja, dengan kemanusiaan sebagai pangkalnya! Tujuannya hanya satu: pembebasan!

Semoga, Munir benar-benar berlipat ganda, di HMI khususnya! Yakin Usaha Sampai!

Penulis

Muhammad Ruslan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun