Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Krisis Baca dan Peran Gerakan Sipil Volunter

19 Maret 2016   22:04 Diperbarui: 19 Maret 2016   22:42 95
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Menengok sejarah-sejarah dunia, kebangkitan peradaban lampau, memperlihatkan dengan jelas pertautan kuat antara kebangkitan suatu peradaban dengan buku. Beberapa percikan sejarah menceritakan, kehancuran/penghancuran suatu peradaban yang berjalan seiring dengan sejarah tentang ‘pemusnahan buku’ yang terjadi.

Nah, bagaimana dengan sekarang? Sepertinya kita  selalu terlambat memahami hal-hal penting, dan kadang ‘gagal’ belajar dari sejarah, tentang rendahnya budaya baca di masyarakat sepertinya belum mendapat perhatian serius hingga hari ini.

Beberapa bulan silam, media kembali mengetuk akal kita untuk berefleksi, menyajikan data rendahnya minat baca masyarakat, yang terus berada diambang krisis baca. Data survei dari UNESCO, memperlihatkan, tingkat minat baca Indonesia berada di angka 0,01. Jauh lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara lain yang sudah berada diangka 0,45-0,65, negara terdekat misalnya Malaysia dan Singapura.

Jogjakarta saja yang dikenal sebagai kota pendidikan, hanya berada diangka 0,049, juga merupakan tertinggi di antara daerah lain. Angka itu menggambarkan suatu realitas bahwa, rata-rata jumlah buku yang dibaca masyarakat Indonesia per orang dalam setahun tidak cukup 1 buku, berbeda dengan Malaysia 3 buku, Jepang hingga 10 buku per orang dalam setahun. Atau paling ekstrim disebut bahwa, dari 10.000 orang Indonesia, hanya satu orang saja yang dianggap ‘serius’ membaca.

Dan ironis, ketika realitas itu, justru tidak mendapatkan respon yang serius. Sebuah gambaran bangsa seperti apa yang kita bayangkan ke depan, dari generasi yang lahir dari keterasingan terhadapbuku? kita terlalu serius memperkecil makna ‘pembangunan’ pada hal yang bersifat struktur tapi cenderung melupakan perbaikan kultur (kesadaran/kebiasaan) masyarakat itu sendiri, padahal kita tahu struktur tidak bisa berjaan sempurna tanpa diimbangi dengan kesadaran penerimaan di tingkat kulutur.

Bagaimana dengan sekolah/kampus?

Rendahnya minat baca, tidak hanya terjadi di kalangan masyarakat secara umum, tapi juga terjadi di lingkungan-lingkungan pendidikan seperti sekolah dan kampus. Padahal, lembaga pendidikan inilah yang seharusnya menjadi mesin roda penggerak perubahan, merombak dan mencairkan budaya beku membaca masyarakat, tapi justru keburu terinfeksi dengan penyakit yang sama.

Hal ini menjadi kontradiksi, dengan kebijakan Dikti yang ingin mendorong peningkatan publisitas karya ilmiah di kampus yang selama ini rendah. Rendahnya publisitas karya ilmiah, tidak bisa lepas dari rendahnya budaya baca kita, dibandingkan dengan Malaysia saja publisitas kita tertinggal jauh, dengan perbandingan 1:4.

Dengan kondisi seperti ini, sekolah dan kampus, sepertinya lambat kalau tidak ingin dikatakan ‘gagal’, membangkitkan budaya baca siswa/mahasiswa. Proses birokratisasi formal penyelenggaran pendidikan, meneggelamkan hal-hal substansial pendidikan. Saat proses pendidikan, justru tak mampu menumbuhkan curusiotas, apalagi menciptakan rasa haus akan ilmu bagi pelajar.

Apa lagi, di zaman media sosial sekarang, perangkat informasi instan dengan penyajian informasi seefisien (sesedikit) mungkin, cukup memanjakan nalar baca pembaca, yang berpotensi semakin mengasingkannya terhadap buku. Terlepas apa yang menjadi sebab desain medsos dengan karakter efisiensi baca itu, mungkin adalah jawaban dari kebutuhan akan realitas rendahnya minat baca masyarakat, anak muda pada khususnya.

Hanya saja, kegandrungan terhadap bacaan medsos yang tidak seimbang terhadap buku, berpotensi kontraproduktif. Dalam arti, kalau kita menempatkan bahwa informasi medsos adalah informasi permukaan, sedangkan buku adalah pendalaman, konsep dan landasan nilai.  Kontraproduktif yang dimaksud, adalah berpotensi lahirnya generasi yang berpemahaman permukaan, hingga dengan peran aktifnya menyebar informasi/data semata, tanpa pemahaman memadai terhadap pokok persoalan, akibatnya informasi tanpa dasar yang kadang berujung ’kebencian/fitnah’, memenuhi beranda medsos, disebar dari tangan anak muda yang ‘miskin’ bacaan buku.

Mengingat bahwa pengguna medsos, juga tergolong banyak dari kalangan anak muda, yang umumnya berstatus sebagai pelajar/mahasiswa. Miskinnya bacaan buku yang melanda pelajar/mahasiswa, semua saling terkait, termasuk dengan realitas sekolah/kampus yang kadang lamban memperlihatkan kepedulian terhadap buku dan budaya baca, hal itu cukup mudah dilihat saat buku-buku perpustakaan perguruan tinggi sekalipun jarang diupdate, buku-buku yang sebenarnya sudah ‘kadarluarsa’ dari sisi perkembangan, tidak menarik sama sekali curosiotas siswa/mahasiswa.

Fenomena medsos di tengah rendahnya minat baca, kemunculannya seperti sebuah anomali perkembangan adaptasi kebudayaan dalam masyarakat yang mengalami satu lompatan tahap, dari budaya bertutur lisan, gagal masuk dalam budaya literasi (bertutur tulis-baca), justru jatuh dalam ‘perangkap’ teknologi dengan karakter instan.

Gerakan sipil volunter

Di tengah persoalan tersebut, saat ini munculnya banyak komunitas-komunitas baca dan literasi, seolah menjadi secercah cahaya tersendiri, di tengah rendahnya budaya baca masyarakat. Kehadiran komunitas-komunitas gerakan sipil yang berbasis volunter ini, digerakkan oleh anak-anak muda energik dengan penuh kepedulian akan pentingnya melek baca. Suatu langkah kecil yang kehadirannya seperti melucuti kemapanan sekolah/kampus yang selama ini belum mampu menjadi motor penggerak revolusi budaya baca.

Upaya para komunitas sipil tadi untuk mendekatkan masyarakat dengan buku, sekaligus masyarakatkan buku, dengan mendistribusikan buku-buku dari pusat kota ke daerah, dan dari kota ke desa, adalah jalan keluar dari ketimpangan akses buku antar pusat-daerah dan kota-desa selama ini. Ini adalah jawaban saat UU No. 6 Tahun 2014 Tentang Desa, yang mengamanatkan pemassifan pembangunan perpustakan desa, seperti menemui jalan berliku, kalau bukan jalan buntu. Dan juga menjadi alternatif di tengah gempuran produksi buku yang kian mahal.

Fenomena gerakan sipil volunter ini, menjadi suatu babak baru, yang patut didorong bersama. Saat program ‘Gemar Membaca’ pemerintah tidak memperlihatkan lompatan-lompatan pencapaian, maka  sipil pun harus bergerak sendiri, ‘mengambil alih’ sebagian fungsi pemerintah yang selama ini lamban dalam mendorong budaya baca, demi tujuan bernegara: mencerdaskan kehidupan berbangsa!

Muhammad Ruslan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun