Mohon tunggu...
Muhammad Ruslan
Muhammad Ruslan Mohon Tunggu... Penulis - Pemerhati Sosial

Mengamati, Menganalisis, dan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Tanggapan atas Sinisme Demo Guru: Suatu Fallacy

15 Februari 2016   03:05 Diperbarui: 15 Februari 2016   14:57 738
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Sumber Foto: sinarharapan.co"][/caption]Tiga hari berpeluh kesah di jalan, tepat di depan istana kekuasaan. Tangis dan "histeris" sekitar 442 ribu guru honorer K2, tak kunjung mampu mengetuk nurani kuasa. Apa boleh buat, pulang tanpa kejelasan, justru dibuai dengan cibiran sinis, sebuah cibiran seolah ingin memaksakan kredo bahwa guru sudah seharusnya miskin. Dan demo dianggap sebagai perilaku tidak terpuji.

Nasib yang didaku “pahlawan”, dipaksa menerima imajinasi tentang kemuliaan status, di saat yang sama juga harus menerima kesialan dalam nasib. Tak hanya berusaha melawan kekuasaan yang ingkar, tapi juga harus menepis tudingan cibiran dari sebangsanya yang terjebak dalam kesalahan berpikir. Salah satunya, tulisan yang katanya dari mantan guru honorer, menganggap demo guru sebagai tindakan memalukan! (baca: Guru Demo, Memalukan! Surat Terbuka Seorang Mantan Guru Honorer). Cukup naïf bukan?.

Cibiran dan sinisme terhadap demo guru, mulai yang menganggap demo guru sebagai perilaku tidak terpuji hingga yang menganggapnya sebagai "memalukan", tak lain merupakan tuduhan-tuduhan yang sebenarnya lahir dari cara berpikir yang keliru (fallacy). Di antaranya:

Kesalahan berpikir pertama, adalah mengaggap demo guru sebagai bentuk pengemisan kepada negara. Jelas, cara berpikir ini keliru secara fatal. Kenapa?. Karena guru datang untuk menuntut hak, bukan meminta welas asih. Itu karena, relasi guru dan negara, seperti dengan relasi sipil dan kekuasaan, yakni ada hak dan kewajiban yang harus saling memenuhi. Hidup layak adalah hak semua warga negara tanpa terkecuali, tentu itu amanah bernegara yang termaktub dalam Undang-Undang 1945 Pasal 27 ayat 2.

Guru dan buruh tentunya sama dalam konteks ini, demonstrasi buruh adalah bentuk tuntutan akan hak, bukan welas asih. Ada hak yang tidak terdistribusikan dengan adil oleh pengusaha dan negara.  Mengingkari pemenuhan penghidupan layak bagi warganya, sama halnya dengan mengingkari konstitusi. Apalagi konkret, kehadiran guru untuk berdemo, juga dipicu oleh janji politik yang bertebaran saat pencapresan sebelumnya. So, apa yang salah?.

Kesalahan berpikir kedua, adalah memaksakan cara berpikir asketis yang berkarater penghisapan (bukan asketis yang berkarakter revolusioner). Seolah tugas yang dianggap “mulia” itu, harus miskin dan penuh penderitaan. Penderitaan-penderitaan harus diterima dengan lapang dada. Ironisnya, penderitaan-penderitaan itu diharuskan diterima bukan karena pilihan, tapi lebih ke paksaan.

Kesalahan berpikir ini sama kalau ada orang datang dan berkata, “Saya miskin”, “Itu karena kamu malas”, “Lho, gimana malas, tiap hari saya bekerja dari pagi sampai malam?”, “Berarti itu karena kamu hidup, coba tidak hidup, kemiskinan kamu hilangkan?”. Sama dengan cibiran yang menganggap, “Kalau kamu mau hidup berkecukupan, ya jangan jadi guru!”. Seolah-olah guru harus ditakdirkan miskin. Padahal persoalan miskin, tidak miskinnya guru, bukan terletak pada profesi guru itu sendiri, tapi lebih ke sistem yang memiskinkan profesi itu. Sistem inilah yang dilawan para guru. Tentu guru juga bukan menuntut untuk kaya, tapi setidaknya hak untuk membeli buku, itu penting!.

Logika tersebut sama halnya kalau ada yang orang yang datang dalam keadaan lapar, lalu dijawab dengan menyuruh mereka ibadah. Lapar dihakimi sebagai nafsu, padahal ia realitas alami. Lalu diambillah kesimpulan, “Cepat lapar, karena kurang berdzikir!, makanya perbanyak dzikir!”.

Cara berpikir asketis berkarater penghisapan inilah, yang melanda dan merundung bangsa kita hari ini, yang membuat kita terus berada di garis terbelakang (kondisi-kondisi ini pula yang mendorong Tan Malaka menulis Madilog, untuk meluruskan cara berpikir bangsa ini!) .

Ada kecenderungan menerima suatu kenyataan, tapi tidak mampu menemukan sebab konkrit antara kenyataan yang dialami dengan realitas sosial yang terjadi. Contoh lainnya, sama halnya kalau ada yang berkata, “Biarkanlah pejabat korupsi, peduli amat!, toh nantinya juga dia masuk neraka”. Meminjam istilah Cak Nur, kesalahan berpikir ini, karena meng-ukhrawikan dunia, tidak bisa membedakan dunia dan akhirat. Korupsi persoalan dunia, dan neraka persoalan akhirat, lalu persoalan dunia ingin diseleseikan dengan jawaban akhirat.

Alasan untuk terlepas dari persoalan sosial dianggap sebagai kebaikan, tercandukan dengan hipokrisi imajinasi tentang yang abstrak, sebagai alasan untuk berpaling menolak yang rill. Ibaratkan kakinya di bumi, tapi tangannya dilangit. Menggelantung!.

Hal itu sama kalau ada orang berkata, “Biarkanlah kita jadi guru dengan upah yang tidak memanusiakan (atau ditindas), nanti di surga kita rasakan manfaatnya!”. “Semakin ditindas, semakin membuat kita mulia, kita mulia karena ditindas”. Logika seperti ini, saya bisa bilang, adalah bentuk nyata bahwa pembodohan ala kolonial masih bercokol di pikiran masyarakat sampai saat ini.

Ini mirip dengan perkataan yang menganggap penderitaan (meskipun bukan karena pilihan, melainkan paksaan), penderitaan adalah bentuk kedekatan dengan Tuhan, semakin menderita semakin dekat dengan Tuhan. “Toh, semuanya juga karena Tuhan, kita miskin karena dicoba Tuhan, kita kaya juga karena dicoba Tuhan”. Menurut saya kesalahan berpikir tersebut, alih-alih mentauhidkan diri, justru sebaliknya, mensyirikkan diri. Kenapa?. Karena menganggap derita (karena ditindas) pun dari Tuhan! (maha suci Tuhan dari segala tudingan miring seperti itu!).

Yang saya ingin katakan, bukankah agama justru diutus untuk mengajak manusia berpikir, dan menemukan akar persoalan kemanusiaan yang terjadi, lalu diwajibkan manusia untuk menyeleseikan persoalannya sendiri, itulah agama yang saya pahami. Apa artinya?,  kalau persoalan sosial terjadi, itu berarti itu juga harus ditemukan sebabnya di kehidupan itu sendiri. Guru tidak diupah dengan layak, itu bukan takdir yang harus diratapi dengan kegembiraan, tapi itu penindasan yang harus dilawan. Penindasan itu persoalan kemanusiaan. Itu berarti, persoalan guru adalah persoalan kemanusiaan.

Jadi, apakah tindakan guru berdemo adalah perilaku tidak terpuji?. Menurut saya, itu langkah konkrit untuk menjalankan perintah agama, mencari jalan atas persoalan sosial, dan bergerak untuk menuntut karena hak. Justru ketika tidak ada riak untuk mempersoalkan ketidakadilan yang terjadi, disitulah pertanda bahwa agama telah membeku dalam pikiran, yang tertinggal hanya hafalan. Kenapa?. Karena membiarkan ketidakadilan dan perampasan adalah bentuk nyata pengingkaran terhadap agama!.

Meski terlalu jauh berbicara agama. Tanpa membincangkan agama pun, kita bisa menerima pengwajaran atas demo guru. Ini saya singgung, karena banyak yang sinis, justru menggunakan argumen-argumen keagamaan, yang menurut saya cukup dangkal.

Cukuplah sejarah masa lalu yang menjadikan agama sebagai alat untuk menindas, menindas sejak dalam pikiran!. Saatnya harus menjadi kekuatan pembebas, membebaskan sejak dalam pikiran!.

Kesalahan berpikir ketiga, menganggap demo adalah tindakan tidak terpuji dihadapan siswa?. Justru saya ingin katakan, bukankah sebaliknya?. Membiarkan ketidakadilan adalah justru perilaku tidak terpuji di hadapan siswa.

“Realitas demo dianggap tidak terpuji dimata siswa”, sebenarnya adalah pemikiran yang lahir sebagai buah dari sistem pendidikan yang nyata terlepas persoalan kehidupan saat ini. Moral yang disemai di sekolah selama ini, memang bias dengan karakternya yang elit borjuis. Moralitas pentaklikan terhadap otoritas, yang dianggap terpuji. Karkater yang penuh kepatuhan (beda sedikit dengan kesialan) yang dianggap terpuji. Ini sama dengan banyaknya orang yang beranggapan bahwa, tipikal siswa yang dianggap terpuji di sekolah, adalah yang bisa diam, tidak banyak protes, menerima segala sesuatunya dengan lapang dada, meski itu adalah kesalahan. Guru adalah kebenaran, meskipun guru tidak benar, ia harus diterima sebagai benar, menolaknya adalah perilaku tidak terpuji.

Buah dari kesalahan itulah yang membuat kita memposisikan, bahwa demo guru tidak terpuji.

Padahal sebaliknya, ini adalah bentuk pembelajaran terbaik kepada siswa, akan bagaimana agar pemahaman hak dan kewajiban yang dilafalkan tidak sekadar mengendap dan membeku dalam kepala. Bahwa butir-butir pancasila, tentang keadilan dan kesejahteraan bukan sesuatu yang terberi, melainkan realitas yang harus diperjuangkan terus menerus. Seperti halnya para pendiri bangsa yang berjuang menegakkan pancasila, kita pun sama, hari ini berjuang agar pancasila dijalankan, dari banyaknya orang yang ingin merongrong keberadaannya, salah satunya lewat pengingkaran kekuasaan terhadapnya.

Kesalahan berpikir keempat, cibiran lahir, karena sang pencibir terlalu naïf, sulit membedakan mana kebaikan dan mana keadilan. Kebaikan dan keadilan, dicampurbaurkan, seperti tidak bisa menarik garis pembeda di antaranya. Contohnya: guru yang menuntut keadilan, justru dihakimi secara moral, dengan mengaggap itu memalukan, tidak terpuji dan sejenisnya. Mirip dengan kebiasaan sebagian masyarakat, yang ketika ada perdebatan-perdebatan objektif, justru dihakimi dengan penilaian-penilaian subjektif. Perbincangan persoalan sosial justru dibalas dengan caci maki personal. Mirip kebiasaan sebagian politisi kita, saat suasana debat gagasan, ketidakmampuan untuk memberikan respon logis, justru akan berujung pada peghakiman personal.

Kita harus paham bahwa, kebaikan itu pilihan, ia realitas subjektif yang melekat, dan dipilih secara sadar tanpa paksaan. Kalau Anda, membantu orang lain, tapi karena dipaksa, maka apa yang Anda lakukan belumlah bisa disebut wujud hakiki dari kebaikan. Atau yang kedua, membantu karena motif yang terselubung, juga belum bisa disebut kebaikan.

Sedangkan keadilan dan ketidakadilan, ranah pembincangannya adalah hak. Kalau Anda menyumbang, memberikan hak Anda dengan ikhlas, itu kebaikan. Tapi kalau Anda bekerja selama 5 bulan tapi tidak diupah, itulah ketidakadilan. Kenapa?. Karena ada hak yang tidak didistribusikan. Ada keringat yang yang terhambat, sebab Anda bekerja untuk bertahan hidup bukan?

Kalau buruh bekerja berbulan-bulan tapi tidak diupah, dan menerima itu dengan lapang dada, apakah karena ia baik? Tidak, itu kebodohan namanya, ia harus disadarkan. Kenapa? Karena ia datang untuk bekerja, dan dari bekerja untuk bertahan hidup dan menghidupkan!. Berarti membiarkan buruh dan guru dengan upah yang tidak memanusiakan, sama halnya dengan membunuh mereka secara perlahan-lahan, atau membunuh kemanusiaan itu sendiri. Bukankah hak untuk hidup, adalah hak asasi?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun