Mohon tunggu...
Charvienli Pudji Merzhindi
Charvienli Pudji Merzhindi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Menulis untuk ilmu

Selanjutnya

Tutup

Parenting Pilihan

Gentle Parenting Vs Pola Asuh Tradisional, Mitos dan Realistis

7 Desember 2024   09:20 Diperbarui: 7 Desember 2024   12:05 96
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: https://vt.tiktok.com/ZSjc3TYJM/

Gentle parenting sedang ramai-ramainya dibahas dikalangan para ibu, mulai generasi ke generasi ramai membahas apasih gentle parenting itu. Ada pula yang membahas dengan nada cemooh "halah, nanti pasti gedenya lembek", ada pula yang membandingkan dengan pola asuh jaman dahulu yang identik dengan hukumun secara fisik maupun verbal. 

Sebenarnya menerapkan parenting itu juga memerlukan situasi dan kondisi yang pas, jadi tidak melulu harus tegas dan keras yang harapannya dari parenting yang identik dengan tegas dan keras itu menumbuhkan jiwa anak yang tahan banting serta tidak manja.

Sedikit bumbu percikan diatas yang menjadi gerbang untuk kita menyelami tatanan parenting yang baik untuk diterapkan di masa kini. Berbicara tentang masa kini, di era digital yang marak sekali informasi yang sangat beragam melalui media sosial bahkan tidak sedikit influencer yang membahas tentang ilmu parenting yang digunakan. Banyak sekali deretan influencer bahkan artis Indonesia yang membahas tentang parenting. 

Dhannisa Dwilagustino atau kerap disapa momma eji yang sekarang aktif membuat konten tentang gentle parenting yang diterapkan untuk anak laki-lakinya yang kita kenal Seiji Makaio Pradana. Dalam konten ini https://vt.tiktok.com/ZSjc3TYJM/ . Dalam konten ini, Eji berbicara kalau laki-laki tidak boleh sedih tapi momma bilang kamu kan juga punya hati, Eji yang saat ini berusia 3 tahun, dimana pada usia tersebut sudah selayaknya untuk dikenalkan bagaimana cara mengelola emosi dan pemahaman diri.

 Dalam konten tersebut juga Eji bercerita dengan momma kalau Eji bingung, boleh nangis atau enggak, ketika mengetahui hal tersebut momma memberikan cara sederhana untuk meregulasi emosinya dengan mengatur nafas agar tenang dan coba pelan-pelan untuk membuat Eji terbuka berbicara Momma Eji sedih. Anak sekecil Eji sudah mulai kebingungan dengan hal-hal yang dianggap biasa oleh orang tua jaman dahulu "halah laki-laki kok nangis. 

laki-laki itu harus kuat gaboleh nangis". Dari kedua hal tersebut pasti kita dapat perbandingannya bagaimana orang tua zaman dulu mencoba untuk meregulasi emosi atau simple nya orang tua zaman dulu itu membiasakan anak laki-lakinya untuk selalu kuat yang akhirnya berdampak untuk keberlangsungan hidupnya yakni ia tidak bisa meregulasi emosi dan malah memendam emosi yang berdampak menjadi anak yang keras bahkan cuek dengan lingkungan sekitar. 

Berbanding terbalik dengan parenting yang diterapkan di masa kini dengan bahasa kerennya gentle parenting ini merupakan metode pengasuhan yang menekankan komunikasi penuh empati, pengendalian emosi dan menghormati kebutuhan anak. 

Bener nggak sih gentle parenting itu bikin anak jadi lembek? Kita akan bahas satu persatu ya tentang kritik tersebut.

Faktanya gentle parenting menerapkan tiga prinsip utama yakni kesadaran emosi, empati, dan pengajaran tanpa hukuman fisik. 

Mitosnya anak jadi lembek dan tidak disiplin, kita berbicara dua sisi ya mitos dan fakta. Kritikus gentle parenting beranggapan bahwa anak yang tidak dihukum ketika melakukan kesalahan ia akan tumbuh tanpa rasa tanggung jawab, faktanya bukan berarti gentle parenting ini tidak memiliki batasan. 

Bahkan dalam metode ini, anak diajarkan untuk memahami konsekuensi dari tindakan yang mereka lakukan dengan cara positif dan membangun. 

Misalnya, daripada memberikan hukuman lebih baik orang tua menjelaskan dampak dari tindakan yang dilakukan anak dan memberikan solusi. Hal tersebut justru membantu anak belajar berpikir kritis dan bisa membuat keputusan secara mandiri. 

Mitos anak jadi manja, sebagian orangtua beranggapan bahwa memberikan pilihan kepada anak berarti memanjakan anak. Faktanya dengan memberikan anak pilihan sesuai dengan usianya dapat membantu anak untuk belajar mengenali keinginan dan tanggung jawab. 

Beralih ke pola asuh tradisional yang dianggap disiplin tapi juga ada resiko, mari kita simak pembahasannya. 

Pengasuhan masa lampau yang seringkali melibatkan hukuman fisik atau kekerasan verbal, yang bertujuan agar anak jera dan disiplin. Resiko dari pola asuh tradisional ini diantaranya:

1. Trauma emosional, dari hukuman fisik dan verbal sering meninggalkan luka emosional yang memunculkan rasa rendah diri, kecemasan bahkan ketakutan.

2. Hubungan orangtua dan anak menjadi jauh, anak yang terlalu sering dihukum cenderung akan merasa tidak aman atau nyaman untuk berbicara dengan orangtua tentang masalah mereka.

3. Meniru kekerasan, anak yang tumbuh di lingkungan yang keras memiliki presentase lebih tinggi untuk meniru pola kekerasan tersebut dalam hubungan mereka di masa depan. 

Tentu ada kelebihan dari pola asuh tradisional ini, dapat menanamkan jiwa disiplin dan rasa hormat kepada orang tua. Dan dapat membentuk pola pikir bahwa konsekuensi diperlukan ketika melanggar aturan. Paradoks dari disiplin versi pola asuh tradisional ini adalah hukuman keras memang dapat memberikan efek jera dalam jangka pendek, namun seringkali gagal dalam menanamkan pengertian yang mendalam tentang mengapa tindakan tertentu itu salah. 

Setelah mengetahui fakta dan mitos dari kedua pola asuh diatas, maka kita sebagai orang tua atau calon orang tua tidak melulu harus memilih gentle parenting atau parenting tradisional. Parenting yang ideal bukanlah tentang memilih mana yang baik dan mana yang buruk, namun dengan menggabungkan aspek-aspek terbaik yang ada diantara keduanya dengan cara sebagai berikut:

1. Disiplin secara positif dengan menekankan empati, berikan aturan yang jelas dan tegas keada anak sambil tetap menjalankan komunikasi. Ketika anak memecahkan gelas "pecahan gelas itu berbahaya. ayo kita bersihkan sama-sama biar aman yaa"

2. Mengenali batasan usia anak, orang tua dapat memberikan pilihan dan kebebasan sesuai dengan kemampuan anak untuk bertaggungjawab tentunya sambil memastika mereka memahami konsekuensinya.

3. Menghindari kekerasan fisik, hukuman fisik harus diganti dengan metode yang lebih mendidik, seperti pengalihan perhatian, penerapan logika konsekuensi, dan waktu refleksi (time-out). 

Gentle parenting dan pola asuh tradisional memiliki kekurangan dan kelebihan masing-masing. Gentle parenting dapat membangun hubungan yang kuat antara orang tua dan anak serta mendukung kemandirianpada anak jika diterapkan dengan batasan yang jelas. Sementara itu, pola asuh tradisional dapat menanamkan disiplin, tetapi beresiko meninggalkan dampak emosional negatif jika dilakukan secara berlebihan. 

Parenting yang seimbang yakni mendidik dengan empati sambil menentapkan batasan yang tegas merupakan kunci untuk menciptakan anak yang disiplin, mandiri dan memiliki emosional sehat.

Sumber rujukan:

1. https://edu.pubmedia.id/index.php/paud/article/view/934

2. https:/ejournal.ac.id/v3/index.php/article/view/52476/44674/

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Parenting Selengkapnya
Lihat Parenting Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun