Ari menjelaskan, museum ini berdiri sekitar tahun 70-80 an. “Awalnya, museum ini bertempat di garasi rumah orang. Terus, pindah di Griya Shanta. Dan akhirnya tahun 2016 pindah ke sini”
Dimulai dari hobi Hengki Herwanto - pendiri museum - mengumpulkan piringan hitam. Hengki tidak sendiri, ia bersama teman-teman komunitasnya berinisiatif untuk menyatukan koleksi mereka dan membentuk sebuah komunitas. Di tahun 2019 terbentuklah komunitas bernama Galeri Malang Bernyanyi, lalu berkembang menjadi museum dan banyak mendapat sumbangan.
“Museum ini milik yayasan, makanya belum diakui pemerintah. Yang mengurus pun masih saya dan yayasan, sama Pak Hengki juga. Karena namanya itu yang mahal, mbak. Jadi orang mengira ini museum penghargaan. Padahal, sebenarnya ya bukan” jelas Ari. “Pendirinya ya teman-teman lama Pak Hengki. Punya ide, lalu terbentuklah museum ini”
Terbentuknya museum ini juga karena gagasan dari Hengki dan kawan-kawan komunitasnya. “Iseng-iseng awalnya. Saya dan teman-teman mengumpulkan koleksi pribadi masing-masing. Lalu, tahun 2009 kami bikin sebuah komunitas, namanya Galeri Malang Bernyanyi” Hengki turut menambahkan. “Lama-lama komunitas ini berkembang di Malang, terus ke Jakarta, sampai Nasional. Terus, komunitas yang dari kota lain mengumpulkan semua koleksi mereka sebagai bentuk simpatinya. Koleksi pun bertambah.”
Tak hanya koleksi dari komunitas, museum ini juga mendapat sumbangan koleksi dari warga. Sebut saja koleksi radio dan tape recorder kuno yang ada di museum ini. Sebagian koleksi tersebut merupakan koleksi dari warga Malang yang merasa sudah tidak membutuhkan barang tersebut, mengingat jaman sekarang adalah era digital.
Musik Indonesia sebagai Warisan Sosial Budaya
Bicara tentang jaman sekarang, musik tradisional dan musik lawas sudah tidak banyak dilirik oleh anak muda. Di era modernisasi ini, anak muda lebih tertarik untuk mendengarkan musik luar negeri ketimbang musik Indonesia. Hal ini sangat disayangkan oleh Hengki. Mengingat ia adalah penikmat musik keroncong.
“Pilihan genre sekarang cukup banyak dan beragam. Jadi seleranya pun berbeda-beda. Beda dengan anak jaman dahulu. Tahunya dangdut, keroncong. Musik karawitan juga. Kalau jaman dulu rock metal itu sudah paling keren” kenangnya. “Sebenarnya, ya, sayang. Kita punya warisan musik juga tapi tidak banyak yang tertarik. Tidak usah jauh-jauh. Komunitas musik tradisional di Malang saja sudah mulai jarang.”
Hengki bukan satu-satunya orang yang menyayangkan hal tersebut. Bambang Hermanto – pemilik Sanggar Karawitan Indonesia (SKI) – juga menyayangkan hal yang sama. Meski saat ini ia berprofesi sebagai guru MAN Kota Batu, ia masih sering mengajar karawitan di sanggar miliknya. Tidak hanya mengajar, ia juga terkadang mengikuti pementasan dan juga bermusik bersama seniman musik jalanan.
Bambang sudah tertarik untuk mempelajari seni sejak ia masih duduk di bangku sekolah dasar. Berkat hasil didikan orang tuanya yang juga merupakan pelaku seni, ia tertarik untuk mendalami musik karawitan dan seni ukir pahat kayu ornamen Jepara.
Seperti yg kita ketahui, sekarang genre musik sudah berkembang dan makin beragam. Namun, Bambang masih merasa musik tradisional Jawa masih melekat dalam hatinya. Berkat usaha dan inovasinya, Bambang berinisiatif untuk mendirikan SKI yang bertujuan untung menampung anak generasi muda yang masih tertarik dengan musik dan kebudayaan Jawa.