Kesehatan mental merupakan bagian penting dari kesehatan secara keseluruhan. Namun, stigma terhadap kesehatan mental masih sangat kuat di kalangan masyarakat. Stigma atau pandangan ini yang kerap kali muncul sebagai penghambat bagi seseorang yang mengalami gangguan mental untuk mencari bantuan dan mendapatkan penanggulangan secara tepat bagi mereka yang membutuhkan. Kesehatan tidak hanya berbicara mengenai penyakit fisik semata, namun gangguan kesehatan mental ini merupakan masalah yang cukup serius jika tidak ditagani dengan tepat. Â
Kesehatan mental yang baik adalah kondisi di saat batin kita berada dalam keadaan tentram dan tenang, sehingga memungkinkan kita untuk menikmati dan menjalani kehidupan sehari-hari dan dapat menghargai orang lain di sekitar. Sebaliknya, gangguan kesehatan mental akan mengalami gangguan pada suasana hatinya, kemampuan berpikir, serta kendali emosi yang pada akhirnya dapat mengarah ke perilaku yang buruk. Gangguan mental lebih sulit untuk diamati sehingga sering kali kurang mendapatkan perhatian dari lingkungan atau masyarakat, bahkan bagi mereka yang sudah bekerja di bidang kesehatan.
Kesehatan jiwa menurut UU No. 17 Tahun 2023 Pasal 74 ayat (1) " Kesehatan jiwa merupakan kondisi dimana seseorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan , dapat bekerja secara produktif, dan mampu untuk memberikan kontribusi untuk komunitasnya." Upaya pencegahan gangguan kesehatan mental yang dilakukan pemerintah yaitu: Program edukasi dan kampanye kesadaran mengenai pentingnya kesehatan mental, akses yang mudah dan terjangkau ke layanan kesehatan mental, pelatihan yang memadai untuk menangani kesehatan mental bagi para tenaga medis, tenaga kesehatan, dan termasuk dokter psikologi, Layanan konseling dan dukungan bagi individu yang mengadakan program pencegahan bunuh diri, dan terakhir mendorong masyarakat untuk berperan aktif dalam upaya pencegahan masalah kesehatan mental.
Penderita gangguan mental semakin hari semakin bertambah yang membuat permasalahan mengenai kesehatan mental ini semakin kompleks karna para pengidap penyakit gangguan mental ini tidak hanya mendapatkan masalah akibat gejala dari penyakit, tetapi juga karna adanya stigma yang selalu muncul dimasyarakat terhadap kesehatan mental. Kondisi ini memiliki efek yang buruk bagi penderita gangguan mental yang membuat semakin berkurangnya rasa percaya diri hingga mengalami diskriminasi.
Pandangan atau stigma terhadap kesehatan mental ini sangat berhubungan erat dengan hak asasi manusia, gambaran stigmatisasi pada orang dengan gangguan kesehatan mental menimbulkan rasa malu, didiskriminasikan, dikucilkan, dan tidak dapat berpartisipasi dengan baik dalam lingkungan masyarakat.
Stigma menjadi hal yang penting untuk dibahas. Menurut World Health Organization (WHO), lebih dari 800 orang meninggal setiap tahunnya atau sekitar 1 orang setiap 40 detik karena bunuh diri. Kemudian dari data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2018, menunjukkan bahwa 7 dari 1.000 rumah tangga terdapat anggota keluarga dengan psikosis/skizofrenia, lebih dari 19 juta penduduk usia di atas 15 tahun terkena gangguan mental emosional, dan lain sebagainya.
Stigma pada orang dalam gangguan kejiwaan adalah realitas, sesuatu yang nyata dan ditemui setiap hari di tengah masyarakat. Hal ini muncul di seluruh lapisan masyarakat tidak hanya masyarakat awam, bahkan dalam profesi antar dokter pun menganggap ini masih menjadi stigma.
Beberapa faktor mengenai stigma gangguan kesehatan mental yaitu, gila adalah aib, mitos gangguan jiwa, kurangnya pengetahuan tentang gangguan jiwa, tidak ada dukungan keluarga, dan perasaan malu. Dampak yang diakibatkan juga cukup besar, seperti harga diri dan kepercayaan diri berkurang, mengucilkan diri yang akhirnya enggan mencari informasi yang benar, terisolasi secara sosial sehingga bisa meningkatkan beban pikiran dan perasaan, serta tidak dianggap layak menerima pendidikan dan pekerjaan.
Gangguan kesehatan merupakan sebuah sindrom perilaku yang dimiliki seorang secara khas yaitu, fungsi psikologi, perilaku, biologi dan gangguan tersebut tidak berhubungan dengan orang tersebut akan tetapi dengan masyarakat. Secara umum, klasifikasi gangguan kesehatan menurut hasil Riset Kesehatan Dasar tahun 2013 dibagi menjadi dua yaitu, gangguan kesehatan berat atau psikosa dan gangguan kesehatan ringan meliputi semua gangguan mental emosional yang berupa kecemasan, panik, gangguan alam perasaan, dan sebagainya.
Kesehatan mental merupakan aspek penting dari kesejahteraan individu yang sering kali diabaikan. Meskipun kesadaran akan pentingnya kesehatan mental semakin meningkat, stigma negatif terhadap gangguan mental masih sangat kuat di masyarakat. Stigma ini dapat berdampak buruk pada individu yang mengalami gangguan mental, serta menghambat upaya untuk mendapatkan perawatan yang diperlukan.
Dalam tulisan ini, kita akan menjelajahi akar masalah stigma ini dan bagaimana kita sebagai masyarakat dapat membantu menciptakan lingkungan yang lebih peduli dan inklusif terhadap mereka yang memerlukan dukungan dalam masalah kesehatan mental
POKOK MASALAH MUNCULNYA STIGMA
Stigma yang sering muncul di dalam masyarakat kerap berasal dari ketidaktahuan atau misskonsepsi dengan apa yang dinamakan dengan gangguan kesehatan mental. Kata stigma berasal dari bahasa inggris yang artinya noda atau cacat. Menurut the american heritage dictionary stigma adalah sebuah aib atau ketidaksetujuan masyarakat dengan sesuatu, seperti tindakan atau kondisi. Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Goffman menghasilkan suatu kesimpulan bahwa seseorang yang dikenai stigma tidak diperlakukan sama dengan orang lain. Hal ini merupakan sebuah bentuk diskriminasi yang membuat orang lain kehilangan kesempatan penting dalam hidup sehingga tidak leluasa untuk berkembang. Selama ini, ada beberapa mitos gangguan kejiwaan yang akhirnya menjadi stigma, yakni orang yang memiliki gangguan kejiwaan adalah orang yang pribadinya lemah, kurang ibadah, risiko melakukan kekerasan, orang yang memiliki gangguan jiwa harus minum obat seumur hidup, atau mereka hanya pura-pura
Â
PENYEBAB STIGMA
Stigma dibagi menjadi beberapa tingkatan, terdapat 4 tingkat utama terjadinya stigma :
1.Diri, berbagai mekanisme internal yang dibuat diri sendiri, yang disebut dengan stigmasi diri sendiri
2.Masyarakat : gosip, pelanggaran, dan pengasingan ditingkat budaya dan masyarakat
3.Lembaga : perlakuan prefensial atau diskriminasi dalam lembaga lembaga
4.Struktur : lembaga-lembaga yang lebih luas seperti kemiskinan, rasisme, serta kolonialisme yang terus mendiskriminasikan suatu kelompok tertentu.
Menurut dr. Widea membagikan pengalaman di balik ruang praktiknya "seorang pasien yang masih remaja dengan sabar berkonsultasi tentang kejiwaannya. Hal itu sangat ditentang oleh keluarga karena anggapan kurang ibadah, sampai obatnya dibuang oleh ibunya. Untungnya kejadian tersebut tidak membuatnya menciut, ia kembali lagi berkonsultasi dan mendapatkan solusi yakni perlunya dukungan dari sahabat."
Kejadian tersebut membuktikan bahwa stigma tentang kejiwaan di masyarakat masih sangat kuat bahkan hingga sekarang. Benar ketika berbicara tentang gangguan kejiwaan, kita tidak bisa sendirian, butuh sistem karena ini merupakan sesuatu yang complicated.
UPAYA MENGATASI MASALAH STIGMA
Berbagai upaya dilakukan untuk mengatasi masalah mengenai stigma yang muncul terhadap kesehatan mental seperti; membangun semangat bersama untuk menghentikan stigma pada pasien gangguan jiwa, membangun semboyan utama bagi keluarga untuk mengawali upaya kesehatan mental dimulai dari diri mereka sendiri dengan semboyan "Mental Health, Begins With Me...". Upaya selanjutnya adalah menegakkan berbagai kebijakan mulai dari kebijakan global dunia yang dimonitori oleh WHO sebagai lembaga kesehatan dunia, bahwa masalah gangguan kesehatan adalah sesuatu yang sangat penting.
Di Indonesia, mengatasi masalah stigma terhadap kesehatan mental dilakukan melalui kebijakan hukum yang merupakan langkah penting untuk menciptakan masyarakat yang lebih inklusif dan peduli. Berikut beberapa upaya yang dapat dilakukan.Â
1. Peningkatan Akses Layanan Kesehatan Mental
2. Perlindungan Hukum
3. Mewujudkan Standar Layanan Melalui Regulasi dan Pendidikan
4. Meningkatkan Edukasi dan Kesadaran
Para ahli psikologi, pemerintah, dan generasi muda (terutama Gen Z) dapat berperan aktif dalam kampanye ini. Misalnya, Gen Z yang sangat akrab dengan media sosial dapat menggunakan platform ini untuk berbagi informasi dan pengalaman tentang kesehatan jiwa. Konten edukatif yang menarik, seperti infografis, video pendek, dan cerita interaktif, dapat membantu menyampaikan pesan bahwa kesehatan jiwa adalah bagian integral dari kesejahteraan seseorang dan bukan sesuatu yang memalukan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H