Mohon tunggu...
Putri Lestari Tambunan
Putri Lestari Tambunan Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasisawa Fakultas Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara

Saya memiliki minat terhadap gerakan feminisme dan pemberdayaan perempuan serta anak muncul dari keinginan untuk menciptakan masyarakat yang lebih adil, di mana setiap individu, tanpa memandang gender, memiliki hak dan kesempatan yang sama untuk berkembang dan berkontribusi. Saya percaya bahwa pemberdayaan perempuan dan anak adalah langkah penting untuk mengatasi berbagai isu sosial, seperti ketidakadilan, kekerasan, dan diskriminasi, yang sering kali menghambat kemajuan masyarakat secara keseluruhan.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Panduan Legal Prosedur Aborsi bagi Korban Kekerasan Seksual

7 Oktober 2024   23:47 Diperbarui: 7 Oktober 2024   23:47 70
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Beberapa waktu lalu Masyarakat Ternate Utara digegerkan dengan Kasus Aborsi yang melibatkan sepasang mahasiswa berinisial ILE (pria) dan MU (wanita), keduanya berusia 22 tahun. Mereka ditangkap polisi setelah melakukan aborsi terhadap janin yang berusia sekitar lima bulan. Aborsi dilakukan dengan mengonsumsi obat penggugur kandungan yang dipesan melalui aplikasi belanja online. 

MU mengalami sakit hebat setelah meminum obat, dan akhirnya janin dikeluarkan dengan bantuan ILE. Karena panik, ILE kemudian menguburkan janin tersebut di belakang rumah warga di Kelurahan Salero, Ternate Utara. 

Polisi kemudian menemukan janin tersebut setelah laporan dari warga, dan keduanya kini ditetapkan sebagai tersangka. Mereka dikenai pasal terkait dengan undang-undang kesehatan dan perlindungan anak.

Yang mana proses aborsi menggunakan obat merupakan prosedur yang illegal dimata hukum dan sangat berbahaya bagi manusia. Metode aborsi bervariasi tergantung pada usia kehamilan, kondisi kesehatan pasien, dan kebijakan hukum setempat. Secara umum, metode aborsi dapat dibagi menjadi dua jenis utama:

1. Aborsi Medis (Aborsi dengan Obat)

Aborsi medis menggunakan obat-obatan untuk mengakhiri kehamilan tanpa operasi. Ini umumnya dilakukan pada awal kehamilan (hingga 9 minggu). Yaitu menggunaka Mifepristone maupun Misoprostol yang diambil 24--48 jam setelah mifepristone, yaitu dengan cara dimasukkan melalui vagina. Ini menyebabkan perdarahan dan kram, yang mirip dengan menstruasi berat. Proses ini biasanya selesai dalam beberapa jam atau beberapa hari.

2. Aborsi Bedah (Aborsi dengan Prosedur Operasi)

Aborsi bedah melibatkan prosedur fisik untuk mengakhiri kehamilan. Metode bedah yang digunakan tergantung pada usia kehamilan. Ada 2 cara pembedahan yang pertama ialah Kuretase Aspirasi (Suction Curettage), Dokter akan memasukkan alat penghisap melalui serviks untuk mengangkat jaringan kehamilan dari Rahim, yang kedua ialah Dilatasi dan Evakuasi (D&E) Prosedur ini melibatkan pelebaran serviks dan penggunaan alat bedah serta penghisap untuk mengangkat janin dari Rahim.

Aborsi menurut hukum kesehatan di Indonesia diatur dalam UU No. 36 Tahun 2009 dan PP No. 28 Tahun 2024. Aborsi legal hanya diizinkan dalam situasi tertentu, seperti untuk melindungi kesehatan ibu atau jika kehamilan akibat perkosaan. Prosedur aborsi harus dilakukan oleh tenaga kesehatan yang kompeten di fasilitas kesehatan yang memenuhi standar. 

Keselamatan dan kesehatan mental pasien menjadi prioritas utama dalam pelaksanaannya. Aborsi yang dilakukan secara tidak aman dapat menyebabkan berbagai komplikasi berbahaya, termasuk infeksi serius, pendarahan hebat, kerusakan organ reproduksi, hingga risiko kematian. Selain dampak fisik, aborsi juga bisa meninggalkan efek psikologis, seperti depresi dan trauma berkepanjangan.

Kasus aborsi yang melibatkan sepasang mahasiswa ILE dan MU menunjukkan betapa krusialnya pendidikan seks dan akses terhadap layanan kesehatan reproduksi yang aman. Tindakan mereka mencerminkan tantangan yang dihadapi oleh banyak individu dalam situasi sulit, serta konsekuensi dari kurangnya informasi dan dukungan. Ini juga menyoroti perlunya kebijakan yang lebih inklusif dan sosialisasi mengenai hak-hak reproduksi untuk mencegah situasi serupa di masa depan. Kejadian ini perlu ditangani dengan pendekatan yang empatik dan edukatif, bukan hanya hukuman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun