Mohon tunggu...
Gray Anugrah Sembiring
Gray Anugrah Sembiring Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar Hukum

MAHASISWA FH USU

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahkamah Konstitusi dan Ahistoris Presidential Treshold

22 Juli 2023   20:09 Diperbarui: 22 Juli 2023   20:21 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

            Mahkamah Konstitusi (MK) sejatinya merupakan pelindung konstitusi (Guardian of the constitution) bagi segenap warga Indonesia. Eksistensi MK begitu penting karena memiliki peranan yang sangat besar dalam mewujudkan negara hukum demokratis. Namun, apakah demokratisasi hukum akan terwujud apabila Mahkamah Konstitusi terjebak pada Formalisme/Dogmatisme Hukum?

            Terjebaknya MK dalam formalisme hukum dapat dilihat dalam beberapa putusan terkait pengujian ambang batas pencalonan presiden (Presidential Treshold). Ihwal Presidential Treshold telah diuji sebanyak 27 kali dengan lima amar putusan ditolak dan sisanya tidak dapat diterima. Dengan banyaknya pengujian yang dilakukan, menjadikan pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) menjadi pasal yang paling banyak diuji sepanjang sejarah Mahkamah Konstitusi berdiri.

            Agar tidak bias, pasal 222 UU Pemilu menyatakan "Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya".

            Ketentuan pasal tersebut kemudian menjadi problematik apabila dikontekstualisasikan dengan dinamika ketatanegaraan. Banyaknya Judicial Review yang dilakukan oleh beberapa elemen masyarakat membuktikan ada masalah konstitusional terkait penerapan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden.

            Kendati demikian, dalam beberapa putusannya Mahkamah selalu terjebak dalam formalisme hukum yang positivis-legalistik sebagaimana dijelaskan sebelumnya. Mahkamah kerap kali memagar diri dengan alasan legal standing dan kebijakan hukum terbuka (Open Legal Policy). Paradigma Mahkamah yang cenderung positivistik membuat putusan yang dikeluarkan dari ruang sidang tidak memenuhi keadilan substantif yang lebih demokratis.

            Misalnya dalam Putusan MK Nomor 66/PUU-XIX/2021, Mahkamah berpendapat pemohon tidak memiliki legal standing karena pemohon merupakan warga negara yang mewakili dirinya sebagai pribadi; bukan perwakilan partai. Hal ini koheren dengan Putusan Nomor 74/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan bahwasanya hanya partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu yang memiliki kedudukan hukum untuk pengajuan norma. Ketentuan yang secara eksplisit tertuang dalam pasal 6A Ayat (2) UUD 1945.

            Namun, dalam putusan tersebut, Ihwal kedudukan hukum Hakim Konstitusi Manahan M.P. Sitompul, Enny Nurbaningsih, Suhartoyo dan Saldi Isra memiliki pendapat berbeda (dissenting opinion) perihal kedudukan hukum Pemohon yang konsisten dengan pendapat berbeda sebelumnya dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 74/PUU-XVIII/2020.  Keempat Hakim Konstitusi berpendapat, Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 mengandung right to vote bagi setiap warga negara yang mempunyai hak untuk ikut memilih dalam kontestasi pemilihan Presiden dan Wakil Presiden. Dalam batas penalaran yang wajar, pendapat tersebut tidak terlepas dari hakikat konstruksi normatif Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 yang meletakkan dua kepentingan secara berbarengan, yaitu hak untuk memilih dan hak untuk dipilih (right to vote and right to be candidate) sebagai hak konstitusional warga negara yang selama ini menjadi roh pertimbangan-pertimbangan hukum Mahkamah Konstitusi dalam pengujian norma undang-undang dalam ranah pemilihan umum.

Berdasarkan argumentasi tersebut, pemohon memiliki kedudukan hukum. Karena itu, seharusnya Mahkamah Konstitusi memberikan kedudukan hukum bagi Pemohon untuk mengajukan permohonan a quo. Dengan diberikannya kedudukan hukum bagi Pemohon, Mahkamah Konstitusi seharusnya mempertimbangan pokok permohonan yang diajukan Pemohon.

Apabila kita mengikuti alur pemikiran Mahkamah, dengan menyatakan hanya parpol yang memiliki kedudukan hukum serta dirugikan hak konstitusionalnya, anggapan tersebut justru tidak tepat. Sudah dijelaskan sebelumnya, tafsir pasal 6A ayat (2) juga mengandung hak memilih setiap warga. Parpol jelas bukanlah orang/naturleijk person, tetapi badan hukum. Karenanya, yang memiliki kedudukan hukum menguji pasal tersebut adalah orang/warga negara yang mempunyai hak untuk memilih yang karena pemberlakukan presidential treshold, hak konstitusionalnya dirugikan. Oleh karena itu, dalam konteks tersebut sebenarnya ada perluasan makna kerugian konstitusional yang ditafsir keempat hakim tersebut. Penafsiran lebih luas terhadap kondisi sosial-politik yang belum tersentuh oleh hakim konstitusi lainnya.

Ahistoris

Apabila kita napak tilas, ketentuan Presidential Treshold tidak memiliki landasan historis yang rasional. Logika-logika yang dibangun oleh pembentuk undang-undang juga sangat a contrario dengan semangat amandemen konstitusi. Misalnya, ada anggapan bahwa Presidential Treshold memperkuat sistem pemerintahan presidensial. Anggapan tersebut justru sangat keliru.

Amandemen Konstitusi sejatinya telah memperkuat desain sistem pemerintahan presidensial melalui mekanisme Check and Balances. Sebab, UUD NRI 1945 telah melakukan perombakan yang cukup signifikan dalam struktur dan fungsi lembaga eksekutif dan legislatif. Jualan memakai Presidential Treshold dalam penguatan sistem presidensial juga tidak disusun berdasarkan argumen yang kuat dalam konteks kedaulatan rakyat dan daya tawar presiden itu sendiri.

Pasca amandemen ketiga UUD 1945, Khususnya dalam ketentuan Pasal 7A dan 7B, Presiden tidak bisa lagi dilengserkan secara serampangan. Ada syarat dan mekanisme yang cukup ketat untuk melakukan impeachment terhadap presiden. Dalam hal ini, daya tawar presiden justru lebih kuat apabila dikomparasikan dengan regulasi sebelumnya yang lebih menguatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Peristiwa seperti pelengseran Gusdur karena perbedaan pandangan politik semata dengan MPR tidak bisa menjadi alasan pemakzulan presiden kini.

Kembali ke Putusan MK Nomor 66/PUU-XIX/2021, pendapat Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra menguatkan ketidakcocokan penerapan Presidential Treshold di Indonesia dengan logika sistem pemerintahan presidensial. Kedua hakim konstitusi berpendapat, mempergunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai persyaratan dalam mengisi posisi eksekutif tertinggi (chief executive atau Presiden) jelas merusak logika sistem pemerintahan presidensial.

Menggunakan hasil pemilu legislatif guna mengisi posisi pemegang kekuasaan eksekutif merupakan logika dalam pengisian posisi pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dalam sistem parlementer. Artinya, dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan ambang batas (presidential threshold) dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial. Padahal, salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan presidensial Indonesia.

Bahkan, studi komparasi menujukkan, misalnya Amerika Serikat, negara yang selalu menjadi rujukan utama praktik sistem pemerintahan presidensial sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon Presiden (dan Wakil Presiden). Begitu pula di negara penganut sistem presidensial lainnya seperti Brazil, Peru, Mexico, Chile, dan bahkan Timor Leste tidak memberlakukan Presidential Treshold.

Praktik yang jamak dilakukan oleh negara-negara penganut sistem presidensial adalah pemberlakukan ambang batas minimum keterpilihan presiden. Konteks Presidential Treshold bilamana hendak digunakan pun bukan untuk membatasi pencalonan presiden, melainkan menentukan presentase suara minimum keterpilihan presiden. Pasal 6 ayat (3) amandemen Konstitusi mengamanatkan, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

Membaca kembali sejarah agaknya menjadi hal krusial yang harusnya dipertimbangkan Hakim Konstitusi dalam putusannya. Penguatan sistem presidensial tidak pelak dimaknai dengan memasukkan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Pun daripada itu, apabila membaca risalah pembentukan pasal 6A ayat (2) UUD 1945, sejatinya merupakan sikap kompromistis antara kelompok yang ingin mengajukan calon presiden dan wakil presiden oleh MPR dengan kelompok yang tidak setuju dengan penentuan calon presiden dan wakil presiden oleh MPR.

Oleh karenanya, diambil jalan tengah hak mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden diberikan kepada partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilu. Justru dengan ketentuan Presidential Treshold, partai politik yang memiliki hak konstitusional kemudian diberangus haknya. Secara lebih lanjut, perdebatan-perdebatan sejarah yang terjadi dalam merumuskan pasal 6A ayat (2), kemudian diabaikan dengan ketentuan Presidential Treshold.

Semoga dalam pengujian terkait Presidential Treshold kedepan, mahkamah kemudian mempertimbangkan konteks sejarah dan semangat amandemen konstitusi tersebut. Dengan demikian, sulit diterima dengan pikiran jernih apabila terjadi penyimpangan konstitusi namun Mahkamah berdalil hal tersebut adalah Open Legal Policy. Justru, dalam beberapa putusan terdahulu, Mahkamah bisa membatalkan tembok Open Legal Policy apabila norma suatu undang-undang telah melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Ketentuan Presidential Treshold secara sahih telah melanggar ketiga hal tersebut.

Sejalan dengan pendapat mahaguru Prof. Dr. Satjipto Rahardjo dalam bangunan argumentasi Hukum Progresif, menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan, melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam dari undang-undang. Hukum tidak hanya dijalankan dengan kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Menjalankan hukum haruslah dengan determinasi, empati, dedikasi, dan komitmen terhadap penderitaan bangsa untuk berani mencari jalan lain guna mensejahterakan rakyat. Hukum harus ditempatkan pada tujuannya yaitu untuk manusia.

Berangkat dari hal tersebut, alangkah lebih arif apabila mahkamah keluar dari zona formalisme yang mengungkung dirinya sendiri dan memisahkan diri secara eksklusif dengan masyarakat. Dengan mencabut ketentuan Presidential Treshold, mahkamah bukan hanya memajukan semangat demokrasi-partisipatoris, tetapi mentransformasikan teks konstitusi menjadi konstitusi yang hidup. Konstitusi yang selaras dengan amanat para Founding-Fathers, menjadikan konstitusi yang benar-benar menjamin keberlangsungan penyelenggaraan negara yang demokratis dan melaksanakan daulat rakyat.

Kini, harapan semua tertuju pada Mahkamah Konstitusi. Semoga, memberikan putusan yang adil, arif, dan bijaksana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun