Mohon tunggu...
Gray Anugrah Sembiring
Gray Anugrah Sembiring Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar Hukum

MAHASISWA FH USU

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Mahkamah Konstitusi dan Ahistoris Presidential Treshold

22 Juli 2023   20:09 Diperbarui: 22 Juli 2023   20:21 247
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Amandemen Konstitusi sejatinya telah memperkuat desain sistem pemerintahan presidensial melalui mekanisme Check and Balances. Sebab, UUD NRI 1945 telah melakukan perombakan yang cukup signifikan dalam struktur dan fungsi lembaga eksekutif dan legislatif. Jualan memakai Presidential Treshold dalam penguatan sistem presidensial juga tidak disusun berdasarkan argumen yang kuat dalam konteks kedaulatan rakyat dan daya tawar presiden itu sendiri.

Pasca amandemen ketiga UUD 1945, Khususnya dalam ketentuan Pasal 7A dan 7B, Presiden tidak bisa lagi dilengserkan secara serampangan. Ada syarat dan mekanisme yang cukup ketat untuk melakukan impeachment terhadap presiden. Dalam hal ini, daya tawar presiden justru lebih kuat apabila dikomparasikan dengan regulasi sebelumnya yang lebih menguatkan MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Peristiwa seperti pelengseran Gusdur karena perbedaan pandangan politik semata dengan MPR tidak bisa menjadi alasan pemakzulan presiden kini.

Kembali ke Putusan MK Nomor 66/PUU-XIX/2021, pendapat Hakim Konstitusi Suhartoyo dan Saldi Isra menguatkan ketidakcocokan penerapan Presidential Treshold di Indonesia dengan logika sistem pemerintahan presidensial. Kedua hakim konstitusi berpendapat, mempergunakan hasil pemilu anggota legislatif sebagai persyaratan dalam mengisi posisi eksekutif tertinggi (chief executive atau Presiden) jelas merusak logika sistem pemerintahan presidensial.

Menggunakan hasil pemilu legislatif guna mengisi posisi pemegang kekuasaan eksekutif merupakan logika dalam pengisian posisi pemegang kekuasaan eksekutif tertinggi dalam sistem parlementer. Artinya, dengan logika sistem pemerintahan, mempertahankan ambang batas (presidential threshold) dalam proses pengisian jabatan eksekutif tertinggi jelas memaksakan sebagian logika pengisian jabatan eksekutif dalam sistem parlementer ke dalam sistem presidensial. Padahal, salah satu gagasan sentral di balik perubahan UUD 1945 adalah untuk memurnikan (purifikasi) sistem pemerintahan presidensial Indonesia.

Bahkan, studi komparasi menujukkan, misalnya Amerika Serikat, negara yang selalu menjadi rujukan utama praktik sistem pemerintahan presidensial sama sekali tidak mengenal aturan ambang batas dalam pengusulan calon Presiden (dan Wakil Presiden). Begitu pula di negara penganut sistem presidensial lainnya seperti Brazil, Peru, Mexico, Chile, dan bahkan Timor Leste tidak memberlakukan Presidential Treshold.

Praktik yang jamak dilakukan oleh negara-negara penganut sistem presidensial adalah pemberlakukan ambang batas minimum keterpilihan presiden. Konteks Presidential Treshold bilamana hendak digunakan pun bukan untuk membatasi pencalonan presiden, melainkan menentukan presentase suara minimum keterpilihan presiden. Pasal 6 ayat (3) amandemen Konstitusi mengamanatkan, pasangan calon presiden dan wakil presiden yang mendapatkan suara lebih dari lima puluh persen dari jumlah suara dalam pemilihan umum dengan sedikitya dua puluh persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia, dilantik menjadi presiden dan wakil presiden.

Membaca kembali sejarah agaknya menjadi hal krusial yang harusnya dipertimbangkan Hakim Konstitusi dalam putusannya. Penguatan sistem presidensial tidak pelak dimaknai dengan memasukkan ketentuan ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden. Pun daripada itu, apabila membaca risalah pembentukan pasal 6A ayat (2) UUD 1945, sejatinya merupakan sikap kompromistis antara kelompok yang ingin mengajukan calon presiden dan wakil presiden oleh MPR dengan kelompok yang tidak setuju dengan penentuan calon presiden dan wakil presiden oleh MPR.

Oleh karenanya, diambil jalan tengah hak mengajukan calon Presiden dan Wakil Presiden diberikan kepada partai politik yang telah ditetapkan sebagai peserta pemilu. Justru dengan ketentuan Presidential Treshold, partai politik yang memiliki hak konstitusional kemudian diberangus haknya. Secara lebih lanjut, perdebatan-perdebatan sejarah yang terjadi dalam merumuskan pasal 6A ayat (2), kemudian diabaikan dengan ketentuan Presidential Treshold.

Semoga dalam pengujian terkait Presidential Treshold kedepan, mahkamah kemudian mempertimbangkan konteks sejarah dan semangat amandemen konstitusi tersebut. Dengan demikian, sulit diterima dengan pikiran jernih apabila terjadi penyimpangan konstitusi namun Mahkamah berdalil hal tersebut adalah Open Legal Policy. Justru, dalam beberapa putusan terdahulu, Mahkamah bisa membatalkan tembok Open Legal Policy apabila norma suatu undang-undang telah melanggar moralitas, rasionalitas, dan ketidakadilan yang intolerable. Ketentuan Presidential Treshold secara sahih telah melanggar ketiga hal tersebut.

Sejalan dengan pendapat mahaguru Prof. Dr. Satjipto Rahardjo dalam bangunan argumentasi Hukum Progresif, menjalankan hukum tidak sekedar menurut kata-kata hitam-putih dari peraturan, melainkan menurut semangat dan makna lebih dalam dari undang-undang. Hukum tidak hanya dijalankan dengan kecerdasan intelektual, melainkan dengan kecerdasan spiritual. Menjalankan hukum haruslah dengan determinasi, empati, dedikasi, dan komitmen terhadap penderitaan bangsa untuk berani mencari jalan lain guna mensejahterakan rakyat. Hukum harus ditempatkan pada tujuannya yaitu untuk manusia.

Berangkat dari hal tersebut, alangkah lebih arif apabila mahkamah keluar dari zona formalisme yang mengungkung dirinya sendiri dan memisahkan diri secara eksklusif dengan masyarakat. Dengan mencabut ketentuan Presidential Treshold, mahkamah bukan hanya memajukan semangat demokrasi-partisipatoris, tetapi mentransformasikan teks konstitusi menjadi konstitusi yang hidup. Konstitusi yang selaras dengan amanat para Founding-Fathers, menjadikan konstitusi yang benar-benar menjamin keberlangsungan penyelenggaraan negara yang demokratis dan melaksanakan daulat rakyat.

Kini, harapan semua tertuju pada Mahkamah Konstitusi. Semoga, memberikan putusan yang adil, arif, dan bijaksana.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun