Â
Perkembangan gerakan sosial (social movement) saat ini semakin masif dan meluas seiring dengan perubahan sosial dalam tatanan masyarakat Indonesia. Gerakan sosial dalam upaya menuntut dan mendorong pemerintah terutama mengenai pemenuhan hak-hak sebagai warga negara semakin berkembang
Pasca reformasi, gerakan sosial terus bertransformasi dan semakin berkembang serta dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, pada pasal 24 ayat 1 serta tertera juga pada pasal 28 ayat 3 UUD 1945 yang mengatur mengenai kebebasan untuk berekspresi, berkumpul dan mengemukakan pendapat.Â
Masuknya era baru reformasi memunculkan pula sebuah gerakan sosial di tengah masyarakat. Salah satu gerakan masyarakat untuk memperjuangkan gerakan sosial yang dapat dijumpai di Indonesia pasca reformasi yaitu aksi kamisan.
Adalah aksi kamisan yang dikenal pula dengan istilah Black Umbrella Protest yang pada 18 Januari 2022 sudah berumur 15 tahun. Layaknya remaja yang pada hakikatnya sudah cukup lama berdiri untuk menunggu sebuah kepastian ditengah ketidakpastian negara.
Terhitung sejak 2007 sampai pada 20 Januari 2022 sudah tercatat 714 kali aksi di depan istana presiden. Hal yang cukup melekat menandai aksi ini adalah memakai seragam berwana hitam dan payung hitam.
Berawal dari bu Sumarsih yang merupakan Ibu dari korban peristiwa semanggi I dimana anaknya hilang dan diduga tewas ditembak aparat dalam perjuangan reformasi. Berdiri didepan istana dan bertanya "anak saya mana?".
Seiring berjalannya waktu dan semakin banyak korban-korban pelanggaran HAM berat masa lalu, semakin banyak pula masyarakat yang bergabung dalam aksi kamisan tersebut. Aksi kamisan menjadi sebuah wadah bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu yang mempunyai tuntutan yang sama terhadap penuntasan kasus pelanggaran HAM berat di masa lalu.
Sampai saat ini aksi kamisan telah menyebar luas di setiap daerah di Indonesia. aksi kamisan kerap dipandang sebagai simbol belum adanya keadilan bagi para korban pelanggaran HAM masa lalu di Indonesia.Â
Seiring berjalannya waktu gerakan aksi kamisan di Jakarta maupun di berbagai daerah tidak hanya melakukan tuntutan atas pelanggaran HAM di masa lalu yang dibawa oleh para korban, aksi kamisan juga membawa isu tuntutan pelanggaraan HAM yang terus terjadi hingga saat ini, seperti konflik penggusuran lahan, tindakan kekerasan aparat kepada masyarakat sipil, serta pelanggaran-pelanggaran HAM lainnya yang terjadi terus menerus di tengah masyarakat.
Fakta diatas seolah menggambarkan adanya sebuah upaya yang dilakukan pemerintah untuk melakukan impunitas terhadap penyelesaian kasus HAM. Ada ketidakoptimalan penanganan dari pemerintah sebagai lembaga peradilan dalam menangani kasus-kasus HAM berat di masa lalu.Â
Penanganan HAM berat yang bersifat politis, diduga karena masih bertahannya aktor politik yang terseret kasus HAM masa lalu, yang masih berada dalam pemerintahan saat ini. Kekuatan politik yang dimiliki aktor-aktor tersebut secara power bisa mempengaruhi politik dan hukum yang berjalan. Sehingga dugaan impunitas dalam penanganan kasus HAM cukup terasa, terlebih bagi korban dan keluarga korban yang belum mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.
Aksi kamisan yang berlangsung tak kunjung mendapatkan respon nyata baik implementatif maupun regulatif dari pemerintah. Belum ada kemajuan dari pemerintah dalam proses penyelesaiannya untuk membuat regulasi yang dapat memberikan titik terang atas tuntutan massa aksi kamisan.Â
Begitupun dengan Presiden sebagai kepala negara dengan segala kewenangan dan otoritasnya masih belum terlihat adanya upaya political will dalam penyelesaian kasus HAM tersebut. Tidak adanya pengadilan HAM ad hoc menjadi acuan bahwa memang belum ada political will presiden. Political will merupakan adanya kemauan politik dari negara (Ferguson, 1977).
Mengingat belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc, para korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam aksi kamisan masih menanti kebijakan dari Presiden. Hal tersebut menandakan bahwa selama aksi kamisan terus berlangsung, peradilan terhadap kejahatan Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh negara belum tertuntaskan. Ketika ada komitmen political will dari Presiden untuk membuat pengadilan HAM ad hoc melalui Keppres (Keputusan Presiden), maka penyelesaian kasus HAM bisa terselesaikan, namun kondisi saat ini sebaliknya.
Persoalan Ham Hari Ini
Setelah sekian lama aksi kamisan itu terus dilakukan para keluarga korban yang menuntut hak-haknya. Seiring waktu berjalan, aksi kamisan tidak hanya menuntut kasus peristiwa yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya saja seperti kasus Tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok saja, tetapi menjalar kepada kasus peristiwa pelanggaran HAM lainnya seperti Tragedi 65, lalu ada beberapa tokoh yang dianggap pahlawan revolusioner oleh berbagai kalangan seperti Munir, Marsinah, dan lainnya. Kegelisahan akan ketidakpastian pemerintah menangani berbagai macam kasus dan pelanggaran HAM yang dahulu pernah terjadi menimbulkan tanda tanya besar terhadap masyarakat banyak.
Berbagai asumsi dan opinipun bermunculan kurun waktu beberapa tahun terakhir. Tahun 2014 dan 2019 adalah tahun dimana Indonesia menyelenggarakan pesta demokrasi dengan diadakannya pemilu serentak. Hal politik dan kekuasaan pun seakan menjadi bumbu utama pada kasus pelanggaran HAM, dimana kasus pelanggaran HAM selalu disertakan dalam berbagai kampanye, pada kenyataannya tidak ada satupun kasus yang tertuntaskan sampai saat ini.
Pengabaian agenda penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat menjadi catatan terhadap pemerintahan hari ini. Jangankan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, pelanggaran HAM berat pada era reformasi ini pun tetap bukan menjadi agenda utama.
Misalnya Kontras menyoroti pengembalian berkas penyelidikan kasus Paniai tahun 2014 oleh Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM dengan alasan berkas belum lengkap. Sementara, Komnas HAM telah menetapkan peristiwa Paniai yang terjadi pada 7-8 Desember 2014 sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat.
Menurut Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, dalam Peristiwa Paniai terjadi kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk. Kemudian, 21 orang lainnya mengalami luka penganiayaan. Ketua Tim Ad Hoc, Choirul Anam mengatakan, peristiwa Paniai memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan. Artinya ada tindakan pembunuhan dan penganiayaan secara sistematis atau meluas yang ditujukan pada penduduk sipil.
Mengurung Harapan
Ditengah Inkonsistensi negara dalam menyelesaikan dan menjaga harapan para korban dan keluarga korban, tentunya berdiam diri dan mengurung harapan bukanlah solusi. Pun tonggak resolusi masih dibawah awang-awang dengan berbagai penunjukan terduga pelanggar HAM dalam posisi strategis negara.
Misalnya pengangkatan Mayor Jenderal (Mayjen) TNI Untung Budiharto sebagai Pangdam Jaya yang memicu banyak polemik. Aktivis HAM menilai keputusan tersebut tidak menghormati Putusan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta. Untung merupakan eks anggota Tim Mawar, satuan kecil yang bertugas memburu dan menangkap aktivis prodemokrasi di era Presiden Soeharto.
Meskipun demikian, adalah penting untuk tetap memelihara harapan ditengah absennya negara menangani persoalan Hak Asasi Manusia. Aksi kamisan kiranya terus tetap konsisten menjadi wadah dan pionir untuk menyampaikan aspirasi publik. Kiranya melalui gerakan sosial ini kesadaran pemerintah untuk menyelesaikan berbagai macam polemik HAM akan segera dieksekusi dengan baik.
Panjang umur untuk segala perjuangan dan pengorbanan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H