Mohon tunggu...
Gray Anugrah Sembiring
Gray Anugrah Sembiring Mohon Tunggu... Mahasiswa - Pembelajar Hukum

MAHASISWA FH USU

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Aksi Kamisan: Antara Keadilan, Payung Hukum, dan Inkonsistensi Negara

14 Februari 2022   15:50 Diperbarui: 14 Februari 2022   15:56 1239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Penanganan HAM berat yang bersifat politis, diduga karena masih bertahannya aktor politik yang terseret kasus HAM masa lalu, yang masih berada dalam pemerintahan saat ini. Kekuatan politik yang dimiliki aktor-aktor tersebut secara power bisa mempengaruhi politik dan hukum yang berjalan. Sehingga dugaan impunitas dalam penanganan kasus HAM cukup terasa, terlebih bagi korban dan keluarga korban yang belum mendapatkan hak-haknya sebagai warga negara.

Aksi kamisan yang berlangsung tak kunjung mendapatkan respon nyata baik implementatif maupun regulatif dari pemerintah. Belum ada kemajuan dari pemerintah dalam proses penyelesaiannya untuk membuat regulasi yang dapat memberikan titik terang atas tuntutan massa aksi kamisan. 

Begitupun dengan Presiden sebagai kepala negara dengan segala kewenangan dan otoritasnya masih belum terlihat adanya upaya political will dalam penyelesaian kasus HAM tersebut. Tidak adanya pengadilan HAM ad hoc menjadi acuan bahwa memang belum ada political will presiden. Political will merupakan adanya kemauan politik dari negara (Ferguson, 1977).

Mengingat belum terbentuknya pengadilan HAM ad hoc, para korban pelanggaran HAM yang tergabung dalam aksi kamisan masih menanti kebijakan dari Presiden. Hal tersebut menandakan bahwa selama aksi kamisan terus berlangsung, peradilan terhadap kejahatan Hak Asasi Manusia yang dilakukan oleh negara belum tertuntaskan. Ketika ada komitmen political will dari Presiden untuk membuat pengadilan HAM ad hoc melalui Keppres (Keputusan Presiden), maka penyelesaian kasus HAM bisa terselesaikan, namun kondisi saat ini sebaliknya.

Persoalan Ham Hari Ini

Setelah sekian lama aksi kamisan itu terus dilakukan para keluarga korban yang menuntut hak-haknya. Seiring waktu berjalan, aksi kamisan tidak hanya menuntut kasus peristiwa yang terjadi di Jakarta dan sekitarnya saja seperti kasus Tragedi Semanggi I, Semanggi II, Trisakti, Tragedi 13-15 Mei 1998, Talangsari, Tanjung Priok saja, tetapi menjalar kepada kasus peristiwa pelanggaran HAM lainnya seperti Tragedi 65, lalu ada beberapa tokoh yang dianggap pahlawan revolusioner oleh berbagai kalangan seperti Munir, Marsinah, dan lainnya. Kegelisahan akan ketidakpastian pemerintah menangani berbagai macam kasus dan pelanggaran HAM yang dahulu pernah terjadi menimbulkan tanda tanya besar terhadap masyarakat banyak.

Berbagai asumsi dan opinipun bermunculan kurun waktu beberapa tahun terakhir. Tahun 2014 dan 2019 adalah tahun dimana Indonesia menyelenggarakan pesta demokrasi dengan diadakannya pemilu serentak. Hal politik dan kekuasaan pun seakan menjadi bumbu utama pada kasus pelanggaran HAM, dimana kasus pelanggaran HAM selalu disertakan dalam berbagai kampanye, pada kenyataannya tidak ada satupun kasus yang tertuntaskan sampai saat ini.

Pengabaian agenda penuntasan kasus pelanggaran hak asasi manusia (HAM) berat menjadi catatan terhadap pemerintahan hari ini. Jangankan untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, pelanggaran HAM berat pada era reformasi ini pun tetap bukan menjadi agenda utama.

Misalnya Kontras menyoroti pengembalian berkas penyelidikan kasus Paniai tahun 2014 oleh Kejaksaan Agung kepada Komnas HAM dengan alasan berkas belum lengkap. Sementara, Komnas HAM telah menetapkan peristiwa Paniai yang terjadi pada 7-8 Desember 2014 sebagai peristiwa pelanggaran HAM berat.

Menurut Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, dalam Peristiwa Paniai terjadi kekerasan terhadap penduduk sipil yang mengakibatkan empat orang berusia 17-18 tahun meninggal dunia akibat luka tembak dan luka tusuk. Kemudian, 21 orang lainnya mengalami luka penganiayaan. Ketua Tim Ad Hoc, Choirul Anam mengatakan, peristiwa Paniai memenuhi unsur kejahatan kemanusiaan. Artinya ada tindakan pembunuhan dan penganiayaan secara sistematis atau meluas yang ditujukan pada penduduk sipil.

Mengurung Harapan

Ditengah Inkonsistensi negara dalam menyelesaikan dan menjaga harapan para korban dan keluarga korban, tentunya berdiam diri dan mengurung harapan bukanlah solusi. Pun tonggak resolusi masih dibawah awang-awang dengan berbagai penunjukan terduga pelanggar HAM dalam posisi strategis negara.

Misalnya pengangkatan Mayor Jenderal (Mayjen) TNI Untung Budiharto sebagai Pangdam Jaya yang memicu banyak polemik. Aktivis HAM menilai keputusan tersebut tidak menghormati Putusan Mahkamah Militer Tinggi II Jakarta. Untung merupakan eks anggota Tim Mawar, satuan kecil yang bertugas memburu dan menangkap aktivis prodemokrasi di era Presiden Soeharto.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun