Budaya patriarki telah membangun kontruksi sosial yang berbeda secara dominan atas laki-laki dan perempuan. Dampak negative dari budaya ini telah menimbulkan salah satu masalah dalam ketidaksetaraan gender, khususnya bagi pihak perempuan. Realitasnya, laki-laki masih begitu mendominasi (control utama) di dalam masyarakat, sedangkan perempuan masih tergolong minim pengaruh serta hak pada wilayah-wilayah umum dalam masyarakat (Sakina & Siti, 2018). Alasan inilah yang kerap kali menjadikan posisi perempuan kurang dihargai dan rentan akan berbagai sstereotip negatif dibanding laki-laki. Stereotip sendiri merupakan prasangka yang didasarkan pada penilaian pada suatu individu/kelompok.
Salah satu stereotip yang ditujukan pada perempuan pernah berkembang di masyarakat ialah stereotip negative mengenai perawan tua. Stereotip ini sempat menjadi isu yang begitu popular di negara china. Perawan tua atau wanita yang melajang seumur hidup di china pada saat itu disebut sebagai “wanita sisa” , “leftover woman” atau “shengnii”. Para perempuan secara tidak sadar dianggap sebagai barang sisa yang tidak laku akibat tidak menikah. Ini merupakan konstruksi pemikiran yang sangat menekan sisi psikologis/mental dan sosial para perempuan, di china maupun diseluruh dunia. Hal yang sama sebenarnya terjadi pada masyarakat kita (Indonesia) dan masih begitu mengakar dalam budaya kita.
Perempuan atau wanita merupakan bagian penting didalam masyarakat. Sama halnya dengan laki-laki, perempuan juga memiliki peran yang penting. Namun, fungsi yang selalu dikontruksikan masyarakat pada perempuan hanyalah sebatas peran domestic (rumah tangga). Perempuan mampu melahirkan anak sehingga dituntut untuk mampu merawat, menyusui, mengasuh, memberi kasih sayang dengan naluri keibuan adalah fungsi nyata perempuan bagi masyarakat (Lestari, 2011). Fungsi yang dikontruksikan secara absolut bagi perempuan ini akan menimbulkan kesempatan untuk menekan kemerdekaan perempuan. Anggapan bahwa wanita harus memiliki sikap lemah lembut dan penurut (feminim) sebagai bagian dari perasaan keibuan, membuat perempuan semakin sulit untuk merubah kondisinya. Perempuan pada akhirnya hanya akan bersikap pasrah ketika pendapatnya tidak dipedulikan di keluarga maupun dalam ruang-ruang publik: sosial, ekonomi, politik.
Masih banyak perempuan yang beranggapan bahwa pernikahan dan membina sebuah rumah tangga merupakan bentuk keberhasilan dalam hidup. Anggapan bahwa pernikahan adalah hal yang penting serta diasumsikan sebagai sumber dukungan sosial dari pasangan (Srimaryono & Nurdibyanandaru, 2013) sehingga membuat semangat untuk menikah kembali menyeruak. Pernikahan sendiri merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan perempuan yang telah resmi baik melalui sudut pandang keluara, hukum dan agama. Pernikahan sebenarnya tidak hanya menjadi harapan bagi seorang perempuan maupun laki-laki melainkan juga menjadi harapan orangtua dan keluarga. Umumnya pernikahan tidak berjalan ideal jika hanya didasarkan pada rasa cinta, relativisme usia, pekerjaan dan asset yang dimiliki juga menjadi alasan ideal seseorang melakukan pernikahan. Kebanyakan masyarakat mematok batas usia dalam pernikahan. Ada yang mengedialkan pernikahan diusia kepala dua, maupun dikepala tiga. Namun, hal ini justru menjadi boomerang bagi setiap perempuan dan laki-laki yang memiliki usia cukup untuk menikah namun, belum siap untuk pernikahan. Hal ini bisa saja dikarenakan masalah psikologis (belum siap untuk menikah), finasial yang belum mencukupi, maupun nyaman akan kesendiriannya.
Di zaman ini, tingkat pemikiran setiap orang sudah semakin maju, termasuk kaum perempuan yang mulai mengaktualisasikan dirinya dalam bidang public yang sejajar dengan laki-laki. Fungsi perempuan yang selalu dikontrusikan masyarakat hanya dalam domestic (rumah tangga), kini berhasil didekonstruksi para perempuan-perempuan kritis melalui tingkat pendidikan serta status pekerjaan di ranah publik. Perempuan kini memiliki peran dan fungsi dalam pembangunan, hal ini sejalan dengan fakta yang dapat kita lihat bahwa banyak perempuan-perempuan menyandang pendidikan tinggi, berprestasi diberbagai bidang, bekerja di kantor maupun menduduki jabatan kepemimpinan (Lestari, 2011). Ini begitu menunjukan adanya kemajuan pada perempuan. Banyak wanita yang kemudian mengejar dan fokus pada karirnya, sehingga mengesampingkan mendapatkan teman hidup. Perempuan yang terbiasa mandiri dan bekerja keras untuk dirinya kebanyakan mengganggap sebuah pernikahan menjadi pilihan yang kesekian. Kenyamanan yang telah dijalaninya kemudian membuat perempuan memutuskan untuk hidup melajang. Perempuan yang tidak menikah, baik karena alasan belum menemukan jodoh maupun karena alasan pekerjaan dan lainnya telah menimbulkan pandangan yang negative dari masyarakat. Salah satu istilah yang popular di china mengenai perempuan yang belum menikah diusia matang (dipenghujung kepala dua) disebut dengan shengnii.
Di china wanita sisa atau leftover women ini merupakan kosakata yang dianggap merendahkan perempuan-perempuan yang belum menikah setelah usia 25 tahun. Makna istilah ini sama halnya dengan makanan sisa.
Ketika sebuah makanan disajikan, tentunya begitu menggoda, namun ketika sudah kenyang maka tidak akan ada yang ingin menyentuhnya (Rudy, 2021).
Selain itu, konotasi lain dari istilah wanita sisa disamakan juga dengan barang sisa. Ada hal yang membuat fenomena ini begitu tragis. Salah-satunya bagaimana posisi perempuan yang dipojokan ketika tidak menikah (terlambat menikah). Pria sering kali tidak mendapat perlakuan yang sama, bahkan tetap dianggap normal sekalipun usianya sudah siap menikah namun, masih tetap melajang. Selain aspek usia menikah, wanita sisa juga direndahkan secara fisik.
Dapat dilihat dari anggapan bahwa
“Perempuan cantik tidak butuh pendidikan tinggi untuk menjadi istri (dinikahi) pria dari keluarga kaya dan berkuasa,” dan “Perempuan tidak cantik berharap untuk berpendidikan tinggi dan bekarir bagus untuk bisa mendapatkan lelaki baik, namun mereka tidak sadar waktu yang terbuang hanya akan menjadikan mereka Mutiara yang menguning,”
Pernyataan ini secara langsung dipublikasikan oleh situs Pemerintah, All-Chins Federztion of Woman. Pernyataan tersebut memang ditujukan untuk mengatasi masalah demogfrafis negara china yang terus menurun, namun tetap saja kesan dari pernyataan itu memberikan stigma yang merendahkan pada perempuan. Stigma wanita sisa juga membuat seorang perempuan menjadi aib keluarganya. Banyak orang tua yang berusaha dan memaksa anak perempuannya agar menikah sebelum mencapai usia diatas 27 tahun. Para orangtua selalu berharap untuk dapat melihat anaknya menikah sebelum mereka mati. Tentu saja, dengan tekanan ini banyak perempuan memaksakan diri untuk menyetujui pernikahan meskipun menyadari tidak akan nyaman dengan hal itu.
Fenomena seperti sengnu pada dasarnya juga berkembang pada masyarakat Indonesia. Meskipun, banyak orang tua dan anak muda yang lebih terbuka dalam hal pemikiran, namun masih saja dibeberapa masyarakat menggangap fenomena telat menikah pada perempuan merupakan sebuah aib bagi keluarga.
Perempuan yang semakin berpikir realistis dalam kehidupan sering kali dianggap terlalu tinggi kriteria atau pilih-pilih lelaki untuk dijadikan teman hidup. Salah satu pengalaman video di you tube yang berjudul Marriage Market Takeover yang menjudge kriteria seorang perempuan. Perempuan yang menginginkan laki-laki berpendidikan, menghormati perempuan dan mau berbagi peran dalam rumah tangga dianggap sebagai kriteria yang berlebihan. Padahal, kriteria seperti itu merupakan kriteria yang dasar yang memang seharusnya dimiliki laki-laki ketika menjadi seorang pasangan. Perempuan terkadang terpojokan dengan kriteria mereka sendiri, padahal tujuan mereka sebenarnya ingin membina sebuah keluarga yang lebih baik.
Marching dalam (Marsya & Mayasari, 2019) berargumen bahwa di Indonesia sendiri, konsep gender masih dipandang secara biner antara laki-laki dan perempuan. Maksudnya, masih ada pemahaman yang menetapkan posisi laki-laki dan perempuan pada tingkatan inferior dan superioer. Ini terlihat dari pemahaman masyarakat masing-masing dalam memposisikan gender dalam sebuah ruang. Stigma negative yang masih melekat dalam masyarakat memang menjadi tekanan sosial bagi perempuan. Perempuan yang terlalu dikonstruksikan sebagai peran utama dalam kelaurga membuatnya sulit terlepas dari stigma tersebut.
Seperti yang dijelaskan bahwa pada dasarnya peran perempuan dalam keluarga begitu primer dan terkait dengan peran yang intim seperti pemberian afeksi, dukungan dan cinta, memproduksi dan mengasuh anak, mengembangkan kepribadian, meneruskan norma-norma, nilai kebudayaan, agama dan moral pada anaknya (Lestari, 2011). Hal ini menjadi salah-satu alasan mengapa perempuan sangat diperlukan dalam masyarakat dan dituntut untuk menikah.
Meskipun demikian, perempuan harus tetap dihargai terlepas dari apapun pilihannya. Baik yang memutuskan untuk menikah, maupun untuk melajang. Perempuan tidak seharusnya dikategorisasikan sebagai sebuah barang, karena pada dasarnya semua perempuan itu bebas dan kuat. Konsep ini pula yang diusung para feminis china dalam menentang stigma wanita sisa pada mereka. Perempuan-perempuan yang tidak menikah atau telat menikah bukanlah wanita sisa yang tidak pantas, atau dibuang dalam masyarakat. Mereka juga menjadi bagian penting dalam wilayah public dimasyarakat yang berhati baja. Oleh karennya, mereka menyebut diri mereka sebagai perempuan perkasa, sebagai bukti perlawanan akan stigma wanita sisa. Setiap perempuan harus berani melawan stigma yang mematahkan keberadaan mereka. Subordinasi, diskriminasi yang membekas dalam kehidupan masyarakat harus didobrak mulai saat ini. Laki-laki dan perempuan pada dasarnya memiliki tempat yang sama dalam masyarakat.
Konstruksi sosial yang melekat dalam budaya patriaki telah membuat konsep kesetaraan gender menjadi kaku. Oleh karenanya, pemikiran-pemikiran yang dinamis dan positif perlu ditekankan bagi setiap masyarakat agar terhindar dari bias gender.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H