Fenomena seperti sengnu pada dasarnya juga berkembang pada masyarakat Indonesia. Meskipun, banyak orang tua dan anak muda yang lebih terbuka dalam hal pemikiran, namun masih saja dibeberapa masyarakat menggangap fenomena telat menikah pada perempuan merupakan sebuah aib bagi keluarga.Â
Perempuan yang semakin berpikir realistis dalam kehidupan sering kali dianggap terlalu tinggi kriteria atau pilih-pilih lelaki untuk dijadikan teman hidup. Salah satu pengalaman video di you tube yang berjudul Marriage Market Takeover yang menjudge kriteria seorang perempuan. Perempuan yang menginginkan laki-laki berpendidikan, menghormati perempuan dan mau berbagi peran dalam rumah tangga dianggap sebagai kriteria yang berlebihan. Padahal, kriteria seperti itu merupakan kriteria yang dasar yang memang seharusnya dimiliki laki-laki ketika menjadi seorang pasangan. Perempuan terkadang terpojokan dengan kriteria mereka sendiri, padahal tujuan mereka sebenarnya ingin membina sebuah keluarga yang lebih baik.
Marching dalam (Marsya & Mayasari, 2019) berargumen bahwa di Indonesia sendiri, konsep gender masih dipandang secara biner antara laki-laki dan perempuan. Maksudnya, masih ada pemahaman yang menetapkan posisi laki-laki dan perempuan pada tingkatan inferior dan superioer. Ini terlihat dari pemahaman masyarakat masing-masing dalam memposisikan gender dalam sebuah ruang. Â Stigma negative yang masih melekat dalam masyarakat memang menjadi tekanan sosial bagi perempuan. Perempuan yang terlalu dikonstruksikan sebagai peran utama dalam kelaurga membuatnya sulit terlepas dari stigma tersebut.Â
Seperti yang dijelaskan  bahwa pada dasarnya peran perempuan dalam keluarga begitu primer dan terkait dengan peran yang intim seperti pemberian afeksi, dukungan dan cinta, memproduksi dan mengasuh anak, mengembangkan kepribadian, meneruskan norma-norma, nilai kebudayaan, agama dan moral pada anaknya (Lestari, 2011). Hal ini menjadi salah-satu alasan mengapa perempuan sangat diperlukan dalam masyarakat dan dituntut untuk menikah.Â
Meskipun demikian, perempuan harus tetap dihargai terlepas dari apapun pilihannya. Baik yang memutuskan untuk menikah, maupun untuk melajang. Perempuan tidak seharusnya dikategorisasikan sebagai sebuah barang, karena pada dasarnya semua perempuan itu bebas dan kuat. Konsep ini pula yang diusung para feminis china dalam menentang stigma wanita sisa pada mereka. Â Perempuan-perempuan yang tidak menikah atau telat menikah bukanlah wanita sisa yang tidak pantas, atau dibuang dalam masyarakat. Mereka juga menjadi bagian penting dalam wilayah public dimasyarakat yang berhati baja. Oleh karennya, mereka menyebut diri mereka sebagai perempuan perkasa, sebagai bukti perlawanan akan stigma wanita sisa. Setiap perempuan harus berani melawan stigma yang mematahkan keberadaan mereka. Subordinasi, diskriminasi yang membekas dalam kehidupan masyarakat harus didobrak mulai saat ini. Laki-laki dan perempuan pada dasarnya memiliki tempat yang sama dalam masyarakat.
Konstruksi sosial yang melekat dalam budaya patriaki telah membuat konsep kesetaraan gender menjadi kaku. Oleh karenanya, pemikiran-pemikiran yang dinamis dan positif perlu ditekankan bagi setiap masyarakat agar terhindar dari bias gender.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H