“Mera, Mera, sadarlah!”
Tepukan lembut menyadarkanku. Ternyata aku bermimpi buruk lagi. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk membenarkan pandanganku. “Kau, baik-baik saja?” Tanya suara asing itu tiba-tiba. Dia kini berada disampingku. Menatapku penuh kasih, lalu tersenyum. Tangan kasarnya mengusap rambutku lembut dan penuh sayang. Aku tidak mengenalinya, dia bukan Bobi, Alga atau Atma. “Kau, siapa?” Tanyaku pelan. “Aku?” Tanyanya kembali. Aku mengangguk pelan penuh penasaran. Dan selanjutnya, dia menjawabku dengan jawaban yang tak kumengerti. “Aku, adalah takdir yang memberimu pilihan sulit dalam hidup,” jawabnya.
Sekarang, aku benar-benar tersadar. Setelah kisah dua puluh tahun silam yang mewarnai mimpiku, akhirnya aku menemukan dia. Pelaku yang berhasil mengotak-atik hidupku. Dia bukan Bobi, Ayahku tersayangku. Atau Alga, cinta pertamaku. Dia hanya penulis cerita dari setiap kisah manusia. Ya, dia adalah Tuan Takdir. Penulis yang melabeli dirinya sebagai Tuan takdir. Menulis kisah hidup yang tidak selalu dalam kemasan epik dan indah bak kado istimewa. Mungkin, Tuan Takdir memang tidak adil memberi peran untukku, tetapi berkat peran itu, aku tahu bahwa dunia tidak selalu penuh adiwarna. Terkadang, dunia juga memberimu candala rasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H