“Aku membenci takdir. Ia memberikanku pilihan sulit dalam hidup yang tiada habisnya.”
Aku seperti cakra dan dia seperti bangsi.
Mungkin sulit diartikan, tapi itulah pikiran-penuh kerumitan padahal sebenarnya begitu sederhana. Andaikan waktu bisa diperbaharui sesuka hati, mungkin aku akan hidup tanpa perlu bolak-balik melihat kebelakang, melihat kepingan masa laluku, yang terdampar di lautan bebas tanpa tujuan dan makna-Bergelayut menikmati tiap serangan gelombang tanpa berniat melawannya. Dua puluh tahun silam. Aku beradu mesra terhadap keindahan asmara tanpa niatan serius. Kupikir, diumur yang belia, niatan komitmen belum bersarang didalamnya. Sudah kubilang, pilihan hidup berhasil dipermainkan oleh kehadiran takdir. Usia belia yang penuh kelabilan ternyata mengada-ada. Aku yang harusnya tumbuh tanpa pikiran dewasa diusia itu, harus menerimanya ketika semua masalah muncul ke duniaku.
Kebangkrutan usaha Bobi, Ayahku, menjadi awal duniaku rubuh. Ibu yang tidak kuat untuk hidup susah bersama Bobi, memutuskan melarikan diri dari rumah. Aku tidak khawatir tentang itu, yang kukhawatirkan hanya tentang Bobiku yang semakin kurus. Bobi selalu melewatkan jam makannya atau istirahatnya, dia selalu berkutat didepan kertas yang penuh dengan cetakan tinta, yang tidak kutahu itu apa. Selain itu, Bobi juga selalu membeli berbagai pil obat yang ia sembunyikan dibalik laci meja kerjanya. Aku mengetahui obat itu penting, tapi melihat Bobi mengonsumsinya setiap hari, membuat hatiku teriris.
Bagian buruk dari takdir itu membuatku semakin gila. Aku harus menerima fakta, bahwa sekolah memecatku karena tunggakan SPP lima bulan terakhir disemester ini. Aku menerima surat pemecatan itu, dan langsung menaruhnya disisi kanan tasku tanpa berbasa-basi meminta belas kasihan Kepala sekolah. Karena, aku tahu itu sia-sia. Setelahnya, aku berlari meninggalkan sekolah. Menyusun rancangan agar aku bisa kembali mengenyam pendidikan. Aku berpikir harus menemui Bobi. Meminta-Nya berbicara kepada Kepala Sekolah agar aku diterima kembali di sekolah itu. Aku mengencangkan langkahku, menahan rasa perih yang melilit lambung yang tidak ku isi sejak kemarin malam.
Aku memangkas waktu perjalanan menuju rumah yang harusnya lima belas menit menjadi sembilan menit, melupakan rasa lapar dan letih dibawah teriknya hari demi menemui Bobiku. Namun, suara teriakan dari gang rumahku berhasil membuatku terpaku. Aku semakin mengencangkan langkah, memaksa sisa tenaga yang kupunya untuk bertaruh. Kulihat, rumahku terlihat ramai. Sangat ramai, bahkan. Namun, satu hal yang membuat nyawaku terasa putus, ketika bus putih bersirene tajam berhenti tepat didepan rumahku. Beberapa petugas berpakaian cokelat juga turun dari sana menghalangi orang-orang yang mencoba masuk ke dalam rumah.
Aku berteriak histeris, saat melihat Bobiku yang berlumuran darah akan dipindahkan ke atas brankar bus putih itu. Wajahnya pucat pasi, meski kulitnya masih terasa hangat saat kusentuh. Hanya jeritan yang kulakukan saat itu, merapalkan doa tidak terlintas dibenakku. Aku menepuk kedua pipi tirusnya, meski petugas berpakaian putih terus meleraiku, tapi aku tidak berhenti. Aku memanggil Bobiku sekuat mungkin. Tidak ada yang bisa mengambilnya dariku bahkan, Dewa sekalipun! “Ayah, kumohon!”
“Mera, Mera, sadarlah!”
Suara berat Alga memenuhi alam sadarku. Kulihat wajahnya dipenuhi rasa khawatir. “Kau, baik-baik saja?” Tanyanya lembut. Aku hanya tersenyum membalasnya. Pikiranku masih dipenuhi oleh kebingungan. “Kau, bermimpi buruk, lagi?” Tanyanya lagi. Kali ini aku mengangguk, tidak mengeluarkan sepatah kata pun. Alga duduk disampingku, kemudian menatap lekat tangan kiriku. Dia menunduk lesu membiarkan tiap helai rambutnya dipermainkan angin malam yang masuk sesuka hati melalui jendela kamar yang terbuka lebar. Sesaatnya, Alga mengukir senyum. Namun, senyuman itu terlihat pahit ditengah air mukanya yang masam.
Aku melupakan takdir ini. Takdir yang sedari awal ingin kuceritakan pada kalian. Alga, seseorang yang berhasil membuatku terlepas dari jeratan ingatan buruk tentang Bobiku. Dia 0rang yang memberiku warna baru dari gelapnya masa lalu. Dia manusia kedua yang membuatku ingin terus hidup dan berjuang saat itu. Semenjak kepergian Bobiku, aku dikirim ke rumah sahabatnya, Atma ke desa kecil di seberang kota. Di desa ini, aku bertemu Alga dan kembali mengenyam pendidikan, meski sembari bekerja untuk membantu keluarga Atma sebagai wujud rasa tahu diri.
Pertemuanku dengan Alga sederhana. Kami tidak lebih dari dua anak muda yang dipertemukan karena lingkungan tempat tinggal dan pendidikan yang sama. Alga menjadi teman pertama bagiku di desa dan sekolah. Kami mulai mengakrabkan diri sejak kedatangannya ke rumah, untuk membagikan ikan hasil tangkapannya pada Atma. Saat itu dia minim bicara dan sulit mengutarakan perasaanya. Kerap kali, Alga hanya menjawab pertanyaanku dengan anggukan atau senyuman syadu yang baru kutemukan dari seorang yang asing. Meskipun demikian, sikapnya yang seperti itu hanya sementara. Seiring berjalannya waktu, sikap Alga mulai berubah sepenuhnya-dari yang minim bicara jadi banyak bertuturkata, kadang-kadang ia juga lebih banyak bicara dari padaku.
Dari pertemuan itu, kami semakin dekat. Perbincangan semakin membawa kami pada hubungan yang lebih intens. Alga kerap mengajakku mengitari tepi pantai, dan memintaku menceritakan semua hal mengenai diriku. Aku juga demikian—memintanya bercerita semua hal mengenai dirinya.
Takdir berhasil menggunakan waktu untuk mengikat kami. Aku merasa beruntung dan bahagia menemukan Alga, meski tidak tahu, apakah Alga juga demikian. Jawaban akan kebahagian tidak menjadi hal penting bagiku, saat ini. Hal terpenting saat ini, Alga memintaku menjadi kekasih pertamanya. Tentu, Aku bersedia. Kami mengaku saling memahami dan bahagia ketika bersama—seperti perasaan kasmaraan. Meski, sering kali Alga mengingatkanku pada kemungkinan buruk dari hubungan anak muda, diusia kami yang baru mengenal dunia asmara. Kisah asmara dimasa muda rawan atas perubahaan rasa, katanya. Itu tidak akan selalu sama. Jadi, jika suatu saat kami kehilangan rasa itu dalam perjalanan waktu, maka kami harus selalu siap dengan kata perpisahaan dan merelakan.
Waktu berjalan cepat, dua tahun kami bertahan. Ucapan Alga tidak sepenuhnya benar. Waktu tidak memudarkan rasa bahagia dan ketertarikanku padanya—malah rasa itu semakin pekat. Aku tidak bisa membohongi pandanganku bahwa Alga juga tampak demikian. Dia tetap membawaku bercerita di tepian pantai, membawa ikan tangkapannya ke rumah Atma, atau menolongku menyelesaiakan hukuman membersihkan gudang selama seminggu di sekolah. Aku tidak membual. Alga selalu penuh canda tawa saat bersamaku. Dia benar-benar Alga yang masih pekat akan rasa kasmarannya.
Di tahun ini, kami bersiap pada tahun kelulusan sekolah yang membuat siapapun berdebar. Yang ku tahu, Alga berhasil lulus seleksi perguruan tinggi luar negeri dengan beasiswa penuh. Selain tampan dan berasal dari keluarga yang terpandang di desa, Alga juga langganan juara olimpiade antarsekolah sejak duduk di kelas menegah pertama. Jadi, tidak mengherankan jika Alga bisa melanjutkan studinya hingga ke luar negeri dengan beasiswa penuh. Disisi lain, aku merasa berbeda dengan Alga. Aku tidak seperti dirinya yang mampu melanjutkan pendidikan hingga ke perguruan tinggi. Uang menjadi alasan utama. Aku hanya memiliki satu pilihan saat lulus sekolah nanti, yakni bekerja di pabrik sepatu kota sebelah.
Langit sore ini lebih indah dari biasanya, meski hanya aku yang menatapnya dari tepian. Alga tidak bersamaku. Yang kudengar dia cukup sibuk mengurus berkas-berkas pendidikan dan keberangkatanya. Mendengar itu, aku berdoa agar Alga menjadi lelaki sukses karena kecerdasaannya dalam berpendidikan. Aku juga berdoa agar dia tidak melupakanku dan menemuiku di tempat favorit kami berdua. Berharap sepuluh tahun kedepan kami akan bercerita tentang semua hal dari pengalaman hebat selama tidak bersama. Alga akan terkesima dengan pekerjaanku selama di pabrik sepatu dan aku juga akan terkesima dengan pengetahuan Alga selama duduk dibangku Universitas.
Aku termenung cukup lama. Malu-malu tersenyum dibalik harapan masa depan yang belum tiba. Telingaku bahkan, terasa tuli saat memikirkan semua itu, sampai-sampai tidak menyadari suara berat Alga memanggilku berkali-kali dari pondok pantai.
Tentu saja, aku terkejut bukan main. Alga menemuiku meskipun ia sibuk.
“Alga,” sapaku padanya.
“Kau, penipu, Ra! Teganya, Kau mengkhianatiku.”Alga malah menatapku dingin.
Aku mengeleng kuat. Menatap air muka Alga penuh masam. Aku tidak menipunya bahkan, hingga saat ini aku terus menantinya. Alga menitikan air mata dan menghapusnya berkali-kali dengan kasar. Aku ikut menangis melihatnya, rasanya begitu berdosa melukai orang terpenting dalam hidupku. “Sedari awal kita memang berbeda. Aku memang bukan cakra yang kau ceritakan, tapi percayalah, pengkhianatan yang Kau lakukan padaku akan menjadikanmu sebagai wanita terendah yang pernah kukenal.” Aku tersungkur mendengar ucapanya. Alga berhasil mematahkan hatiku. Ini bukan perkara perbedaan, seperti yang Alga utarakan. Ya, bukan perkara bahwa kami terlahir dari kelas berbeda. Yang kutahu, ini hanya perkara balas budi. Aku dan Alga memang ditakdirkan berpisah dengan jalan ini. Dan aku tidak kuasa untuk menghentikannya. Hanya satu hal yang kuyakini saat itu, bahwa takdir memang menghancurkan harapanku dan menusukku dengan brutal.
Di kamar ini. Alga menatapku sekilas, kemudian menyentuh lembut cincin yang melingkar di jari manisku. Tatapannya beralih pada kedua mataku. “Kau, tidak pernah sendirian, Ra” ucapnya lembut. Perlahan tubuhnya melebur mengikut rupa angin—terbawa derai angin menuju alam bebas dari jendela kamarku yang terbuka lebar. Aku menjerit memanggil namanya. Berlari menutup jendela, melarang Alga pergi bersama angin meninggalkanku sendirian . Namun, itu sia-sia. Alga seperti ilusi yang mempermainkanku. Dia sama seperti Bobi—meninggalkanku tanpa sapaan yang berarti. “ALGA! Kumohon,”
“Mera, Mera, sadarlah!”
Tepukan lembut menyadarkanku. Ternyata aku bermimpi buruk lagi. Aku mengerjapkan mata beberapa kali untuk membenarkan pandanganku. “Kau, baik-baik saja?” Tanya suara asing itu tiba-tiba. Dia kini berada disampingku. Menatapku penuh kasih, lalu tersenyum. Tangan kasarnya mengusap rambutku lembut dan penuh sayang. Aku tidak mengenalinya, dia bukan Bobi, Alga atau Atma. “Kau, siapa?” Tanyaku pelan. “Aku?” Tanyanya kembali. Aku mengangguk pelan penuh penasaran. Dan selanjutnya, dia menjawabku dengan jawaban yang tak kumengerti. “Aku, adalah takdir yang memberimu pilihan sulit dalam hidup,” jawabnya.
Sekarang, aku benar-benar tersadar. Setelah kisah dua puluh tahun silam yang mewarnai mimpiku, akhirnya aku menemukan dia. Pelaku yang berhasil mengotak-atik hidupku. Dia bukan Bobi, Ayahku tersayangku. Atau Alga, cinta pertamaku. Dia hanya penulis cerita dari setiap kisah manusia. Ya, dia adalah Tuan Takdir. Penulis yang melabeli dirinya sebagai Tuan takdir. Menulis kisah hidup yang tidak selalu dalam kemasan epik dan indah bak kado istimewa. Mungkin, Tuan Takdir memang tidak adil memberi peran untukku, tetapi berkat peran itu, aku tahu bahwa dunia tidak selalu penuh adiwarna. Terkadang, dunia juga memberimu candala rasa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H